Sabtu, 18 Juli 2020

Gus Baha dan Kebijaksanaan Ilmunya



Seusai istirahat sesaat dikamar, beliau memanggil kami (beberapa pendamping Pesantren Bayt Al-Qur’an) untuk menemani beliau berbincang pagi (dan setiap perkataan beliau adalah ilmu), beliau meminta saya (Munthaha) untuk mengambil kitab yang memang khusus beliau bawa untuk oleh-oleh Pesantren Bayt Al-Qur’an (BQ) dan juga untuk Habib Ali Ibrahim pengasuh pesantren tersebut di mobil, beliau berpesan agar kardus atas nama Habib Quraish jangan diambil. Itu nanti diturunkan ketika beliau sampai Ndalem Habib Quraish.

Setelah kitab yang semula berada didalam kardus hadiah beliau untuk BQ dibuka, beliau dawuh “tentang orang kafir yang akan masuk islam”. Mula-mula beliau menanyakan sesuatu yang hanya menjadi pancingan bagi kami untuk menjawabnnya,- orang kafir masuk islam masuknya harus baca apa? Syahadat, jawab kami bersamaan dengan beliau yang menjawab pertanyaannya sendiri. Lalu mandinya bagaimana? Kalau melihat dia pernah berhubungan badan dan lain sebagainya. (Maka seharusnya dia wajib mandi) tapi kalau diwajibkan “khawatir memberatkan dia” padahal Allah berfirman : Setiap orang kafir masuk islam maka semua kewajibannya zaman kafir gugur, dia tidak wajib meng-qada’ shalat, puasa dan lainnya. Tapi kalau kita tidak mewajibkan mandi, bukankah dia nanti mau shalat atau apa-apa yang salah satu syaratnya harus bersih dari (hadats besar dan kecil) dan juga najis.

Lalu beliau bercerita bahwa beberapa kali ada orang kafir asli yang masuk islam dihadapan beliau, beliau berkata “akhirnya kita ngakali (dia) mas Munthaha” (akhirnya kita harus –menyiasatinya- red) barakahnya ‘Alim kita bisa ngakali kata beliau, meskipun kita (atau paling tidak yang hadir saat itu) tentu akan sepakat bahwa ini adalah kearifan beliau mengawal kebenaran. Beliau berkata pada muallaf tersebut setelah menuntunnya untuk bersyahadat “pak, jenengan mempunyai komitmen nanti kalau mandi niatkan bahwa mandi tersebut untuk menghilangkan kotoran baik yang kita lihat maupun yang tidak”. Kalau dibahasakan “Hadast” nanti malah dia tanya hadast itu apa tidak selesai-selesai, mendingan saya merayu Tuhan, “Tolong ini dianggap cukup” timpal beliau diselingi gelak tawa beberapa hadirin.

Karena bahasa arab itu memang misteri, Kalau orang tidak terbiasa berbahasa arab meskipun dia cerdas, dia juga kesulitan, apalagi yang tidak cerdas. Coba kita lihat menteri-menteri itu bertemu kiyai atau orang ‘alim kan sering, tai sering juga kita dengarkan (warahmatallahi),- artinya begini “Bahasa arab itu mempunyai gengsi, kalau dia akrab ya akan bisa kalau tidak akrab ya tidak bisa”.


Aqiqah Anak


Saat aqiqah dan pemberian nama anak yang baru lahir, orangtua biasa membopongnya ke luar kamar untuk disaksikan di hadapan para tamu undangan yang membaca Marhaban. Tradisi ini pada dasarnya mengikuti praktek para sahabat yang buru-buru membawa anak bayinya pasca kelahiran ke hadapan Rasulullah Saw.

Sahabat Nabi bernama Abu Thalhah sewaktu dikaruniai seorang putra, beliau segera bergegas membawa bayinya itu kepada Rasulullah Saw. Bayi itu diletakkan di pangkuan Rasulullah dan beliau pun menerimanya seraya meminta Abu Thalhah agar diambilkan sebiji kurma.

Kurma itu dikunyah Rasulullah sampai benar-benar halus, kemudian baru diluluhkan (tahnik) ke mulut bayi yang kelihatan tolah-toleh menginginkan asupan makanan. Oleh Rasulullah bayi itu diberi nama Abdullah.

Hal yang sama juga dilakukan Asma binti Abu Bakar saat melahirkan putranya, Abdullah bin Zubair. Putri Abu Bakar itu mengandung sejak masih tinggal di Mekkah. Beliau ikut hijrah bersama sahabat-sahabat yang lain ke Madinah. Setibanya di daerah Quba’, Asma binti Abu Bakar melahirkan seorang bayi berjenis kelamin laki-laki.

Masa persalinan tak membuatnya lemah. Beliau buru-buru menghampiri Rasulullah dengan membawa serta bayinya dengan tujuan tabarrukan kepada Nabi Muhammad. Bayinya yang baru saja lahir itu dipangku Rasulullah, mulutnya diluluh (tahnik) dengan kurma; sehingga tidak ada benda yang pertama kali masuk ke dalam perut bayi itu terkecuali kurma kunyahan Rasulullah sendiri.

Apa yang dilakukan para sahabat seperti Abu Thalhah dan Asama binti Abu Bakar itu merupakan bentuk tabarruk (mendapatkan keberkahan) dari tokoh yang dikaguminya, yakni Rasulullah Saw. Tabarruk kepada Nabi, wali, dan ulama yang wara pewaris Nabi sangat dianjurkan berdasarkan hadits itu.

Bahkan karena alur kejadian dalam hadis itu, sebagian ulama berpendapat bahwa tahnik tidak dapat dilakukan sembarang orang. Hanya orang-orang yang benar-benar wara’ dan saleh yang boleh melakukannya. Pertimbangan lainnya adalah bahwa memberikan air susu ibu (ASI) ekslusif kepada bayi lebih baik daripada asupan saru kurma dari orang biasa.

Dengan tujuan tabarrukan kepada Nabi Muhammad saW, umat Islam membiasakan mengadakan pembacaan al-Barzanji saat aqiqah dan pemberian anak mereka yang baru lahir.

Jangan katakan Rasulullah saw tiada! Beliau selalu menjawab salawat dan salam yang dikumandangkan umatnya hingga akhir kiamat. Kalau Nabi Muhammad sendiri menjawab salawat yang kita kumandangkan, bukankah beliau “Rawuh” saat pembacaan Marhaban dalam acara aqiqah dan pemberian nama?

Kewajiban Orang Tua Terhadap Anaknya

Keharmonisan dalam kehidupan akan senantiasa terjaga jika tepat dalam penggunaan dalil-dalil agama, proporsional dan bukan dalam rangka membela diri. Dan akan sangat tidak harmonis jika penggunaan dalil tidak proporsional atau hanya sebagai tameng pembelaan bagi dirinya semata. Sebagai contoh dalam berumah tangga akan harmonis jika seorang istri mengetahui mana dalil yang seharusnya menjadi pegangan sang istri dan mana dalil yang harus diketahui oleh suami. Misalnya tentang “ما أكرم النّساء إلّا كريم وما أهانهنّ إلّا لئيم (tak ada yang menghargai perempuan kecuali orang yang mulia dan tak ada yang melecehkannya kecuali orang yang hina) dalil ini akan membuat kehidupan keluarga harmonis jika diterapkan oleh suami terhadap istrinya, dan akan terjadi ketimpangan jika dalil ini digunakan hanya sebagai pembela diri istri untuk dirinya sendiri.

Pun juga dalil tentang orang tua terhadap anaknya dan anak terhadap orang tuanya. Jika keduanya tahu tentang hak dan kewajibannya masing-masing, maka akan berjalan harmonis sebuah keluarga.

Tanpa seperti itu, tidak sedikit yang salah faham dan menganggap anak adalah sepenuhnya miliknya dan memperlakukan sekehendak hatinya, tanpa menyadari bahwa itu adalah titipan dari Allah. Sebagaimana titipan, maka wajb menjaganya bagi yang di titipi itu.

Ada beberapa kewajiban orang tua terhadap anak yaitu: pertama, memilihkan ibu yang baik untuk anaknya. ada sebuah kisah yaitu Umar ibn al-Khattab pernah di sowani seseorang dan mengadukan perihal anaknya yang bandel. Lalu ketika sang anak itu di hadapkan kepada Umar dia bertanya “apakah anak tidak memiliki hak atas orang tuanya?” maka umar pun menjawab “iya, ada. Satu, memilihkan ibu yang baik, jangan sampai kelak terhina akibat ibunya. Kedua, memberikan nama yang baik dan mengajarkannya (mendidiknya) al-Qur’an.”

Kedua, memberi nama yang baik. Dalam pemberian nama, sangat dianjurkan memberikan nama yang baik karena kelak di akhirat semua orang akan di panggil dengan namanya. Dan nama yang paling baik dan paling disukai Allah adalah abdullah, abdurrahman dsb. Sebagaimana sabda nabi Muhammad saw :
إِنَّ أَحَبَّ أَسْمَائِكُمْ إِلَى اللَّهِ عَبْدُ اللَّهِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ

Ketiga, memberi makanan yang halal. Karena kita tahu bahwa apa yang kita makan adalah sesuatu yang menjadi energi bagi kita untuk kita melakukan suatu pekerjaan. Maka barang siapa memakan yang halal, maka insyaallah ia akan di mudahkan langkahnya dalam ketaatan kepada Allah swt. Dan jika makanan yang halal yang kita asupkan kepada anak dan keluarga kita maka ketenangan dan ketentramanlah yang ada dalam keluarga.

Keempat, mengajarkan al-Qur’an. Salah satu kewajiban orang tua terhadap anaknya adalah mengajarkan akhlak dan juga agama.

أدبوا أولادكم على ثلاث خصال: حب نبيكم, وحب أهل بيتـه, وقراءة القران.

Ajarkanlah kepada anak-anakmu tiga perkara. Cinta terhadap nabi, dan mencintai ahlul bayt serta ajarkan membaca al-Qur’an.
Selanjutnya adalah menikahkan sang anak ketika sudah saatnya.

Sabtu, 09 Mei 2020

“Nuzul al-Qur’an”


Kultum 17 Ramadhan 1441, “Nuzul al-Qur’an”

Dalam usia pernikahan Kanjeng Nabi Muhammad ke sepuluh, dia mengalami peristiwa yang besar yaitu persekutuan kepala-kepala suku yang berebut untuk memasang Hajar Aswad. Mereka bersepakat untuk menjadikan hakim mereka siapapun orang yang pertama kali memasuki masjid, Kanjeng Nabilah orang-orang yang mereka tunggu. Mereka menyerahkan masalah persekutuannya kepada Kanjeng Nabi, dengan kebijaksanaannya Nabi menggelar sorban dan meletakkan batu tersebut diatasnya dan mempersilahkan kepala suku tadi memegang ujungnya untuk didekatkaan ke tempat dimana hajar aswad itu akan dipasang, karena peristiwa tersebut Kanjeng Nabi mendapatkan julukan “al-Amin”.

Di usia-usia demikian beliau mengalami gundah atas apa yang terjadi kepada kaumnya, baik dari segi paganis, perampasan hak perempuan dan lain sebagainya. Karena kondisi tersebut beliau menyendiri atau yang sering kita kenal dengan istilah tahannust, untuk memikirkan kaumnya dan mencari jarak agar tidak terlalu sering mengalami langsung hiruk pikuk kehidupan tersebut yang dikenal dengan masa jahiliyyah.

Pada kondisi usia yang matang, yaitu empat puluh tahun[1] beliau menerima wahyu yang pertama saat beliau bertahannust di Gua Hira. Malaikat Jibril datang menemui beliau dan memerintahkan kepadanya “Bacalah!” “aku tidak pandai membaca,” jawab Kanjeng Nabi. Lalu Jibril memeluknya hingga Kanjeng Nabi mengalami kepayahan yang sangat, hal itu terulang sebanyak tiga kali. Kali ke empat malaikat jibril membacakan Q.S al-‘Alaq 1-5, ayat ini disepakati para ulama’ sebagai ayat yang pertama diterima oleh Kanjeng Nabi.


Seusai peristiwa tersebut beliau pulang menemui istrinya lalu berkata “selimuti aku,”. Setelah kepayahan itu berakhir, Kanjeng Nabi bercerita kepada istrinya dan istrinya menguatkannya bahwa “Tidak, Demi Allah. Dia tidak akan pernah merendahkanmu, engkaulah orang yang akan menyatukan dan mempersaudarakan manusia, memikul beban penderitaan orang lain, bekerja untuk orang yang papa, menjamu tamu dan menolong orang-orang yang menderita demi kebenaran”.
Khadijah mengajaknya sowan ke rumah pamannya yaitu Waraqah bin Naufal, Waraqah adalah pengikut sekaligus seorang pendeta nasrani sekaligus penafsir bibel; taurat dan injil. Setelah mendengarkan cerita dari Kanjeng Nabi Muhammad dengan seksama, beliau mengatakan bahwa “Itulah Namua yang pernah datang kepada Nabi Musa as. Engkau pasti akan menjadi seorang utusan Tuhan. Kau akan di sakiti,di usir, di dustakan dan dibunuh. Andai kata aku masih hidup saat kaummu mengusirmu, aku akan membelamu”. “aku akan di bunuh?” kata Kanjeng Nabi. “Iya, tidak ada yang sanggup menjalani itu kecuali yang telah dipilih oleh Tuhan”.

Terkait tanggal terjadinya peristiwa tersebut yang selanjutnya kita sebut “Nuzul al-Qur’an” ulama’ berbeda pendapat, syaikh safiyyurrahman al-Mubarakfuri mengetakan hal tersebut terjadi pada tanggal 21 ramadhan, yang lain mengatakan tanggal 25, 27 dan 17 ramadhan, sedangkan tanggal 17 di dukung dengan Q.S al-Anfal :
إِن كُنتُمْ آمَنتُم بِاللَّهِ وَمَا أَنزَلْنَا عَلَىٰ عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ

Artinya : Jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba kami (Muhammad) di hari furqan yaitu hari bertemunya dua pasukan.

Dan tanggal ini yang merupakan kesepakatan mayoritas, termasuk ulama-ulama indonesia. 
Dalam perjalanan waktu ada yang bertanya seperti pertanyaan kaum kafir quraisy di awal penurunan al-Qur’an, mengapa al-Qur’an harus diturunkan secara bertahap? Sikap mempertanyakan hal demikian (dahulu) merupakan sikap mengukur sumber turunnya teks. Karena mereka menyaksikan atau paling tidak mengetahui bahwa Nabi Musa menerima suhuf atau papan berisi kitab suci yang utuh.

Diantara alasan diturunkannya al-Qur’an secara bertaap yaitu :

  • Pemantapan Hati

Sebagaimana di jelaskan dalam Q.S al-Furqan 32
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلَا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً ۚ كَذَٰلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ ۖ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلًا

Artinya : Berkatalah orang-orang kafir: “Mengapa al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?”; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan kami membacanya secara tartil (teratur dan benar).

Tentunya pemantapan hati yang disinggung diatas mengindikasi bahwa kondisi penerima pertama yaitu Rasulullah ikut dipertimbangkan sebab proses komunikasi baginya amat sulit, karena kita tahu Kanjeng Nabi juga manusia biasa dan berbeda dengan malaikat, keduanya mempunyai dimensi yang berbeda.

Dan juga jika al-Qur’sn turun dalam setiap peristiwa maka hal tersebut akan lebih memantapkan hati dan lebih memberikan perhatian terhadap Raul. Dan hal ini mengharuskan malaikat sering turun kepadanya dan memperbaharui pertemuan dengannya dengan membawa risalah suci dari yang mahakuasa, kondisi demikian akan memberikan kegembiraan kepada Rasul yang tidak dapat di lukiskan.




  • Mengindikasikan adanya dialektika antara Teks dan Realitas


    1. Selanjutnya yang perlu kita ketahui tentang hikmah dari penurunan al-Qur’an secara bertahap selanjutnya adalah supaya kita mengetahui adanya dialektika antara teks (dalam hal ini al-Qur’an) dan realitas pada waktu al-Qur’an di turunkan. Hal ini juga bisa menolong kita dalam mengkontekstualisasikan ayat al-Qur'an karena mengetahui apa yang melatarbelakagi turunnya ayat. Diantara contohnya adalah kita mengetahui banyak ayat yang merespon peristiwa dalam masyarakat waktu itu dan juga menjawab pertanyaan yang di tanyakan kepada Nabi Muhammad. Hal ini yang belakangan kita dengan kenal dengan istilah “Asbabun Nuzul”.

      Hal ini juga bisa menolong kita dalam mengkontekstualisasikan ayat al-Qur'an karena mengetahui apa yang melatarbelakagi turunnya ayat.

      Contohnya Q.S al-Baqarah 189, salah satu kebiasaan bangsa arab waktu itu tidak mau memasuki rumah dari pintu depan setelah menunaikan ibadah haji atau pulang dari perjalanan jauh, mereka menganggap hal tersebut adalah sesuatu yang tabu, maka datanglah ayat tersebut sebagai pembatalan dari anggapan masyarakat waktu itu.

      Atau bisa juga sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan oleh orang baik muslim maupun non muslim. Misalnya terkait cerita tentang orang quraisy yang menanyai Nabi Muhammad terkait roh, maka al-Qur’an menjawabnya dengan Q.S al-Isra’ 85.

      • Karena masih adanya Naskh dan Mansukh

      Kita mengetahui konsep dari Naskh dan Mansukh menuntut adanya ayat yang turun terlebih dahulu dan ayat yang datang belakangan sebagai ayat yang me-Naskh, hak ini tentu tidak bisa terlaksana jika al-Qur’an turun sekaligus dalam satu waktu.

      Tentu masih banyak hikmah-hikmah lainnya yang perlu kita pelajari terkait penurunan al-Qur’an yang bertahap, untuk mempertebal iman kita dan memahami pola al-Qur’an sejak turunnya sehingga memudahkan kita dalam interpretasi tafsir kelak.
      Kami memohon maaf jika terdapat kesalahan,
      AM



      [1] Sebagaimana dilukiskan dalam al-Qur’an Q.S al-Ahqaf 15.

      Kamis, 07 Mei 2020

      Tangisan rindu bumi Pertiwi....


      Tangisan rindu bumi Pertiwi....



      Mungkin kau lihat aku menengguk madu bahagia,
      berhiaskan rajutan sutra

      tapi ketahuilah hati ini selalu di sana
      Kota tercinta sejuta pesona

      disana aku di tempa
      dari nadir terendah menuju mulia
      di yakinkan gapai cita sebelum cinta

      Kotaku tercinta,
      disana ayah ibuku berada,
      disana keluarga setia,
      inginku selalu bersua,
      tapi jarak menghalangi kita
      semoga bisa kembali bersama,
      merajut cita, meramu cinta
      Berjuang bersama di persada bunda

      Oh bumi Pertiwi, ijinkan aku menempa diri,
      Berharap didikan suci,
      Bekal nan abadi


      AM

      Rabu, 06 Mei 2020

      Perjalanan yang dirindukan, part 3


      Perjalanan yang dirindukan, 

      Mas balya selaku tuan rumah mengajakku dan beberapa teman-teman senior di pesantren untuk keluar sekedar mencari angin dan sharing di warung nasgor. Terima kasih mas balya dan teman-teman semuanya.

      Setelah menulis beberapa rencana di laptop saya memutuskan merobohkan badan untuk istirahat sejenak agar tidak kelelahan dalam melanjutkan perjalanan berikutnya yaitu Jakarta. Keesokan harinya saya diantarkan mas adib ke Stasiun Kota Tegal karena sudah merasa pesan tiket yang akan berangkat pada pukul delapan lewat setengah jam, sesampainya di stasiun saya persilahkan mas-nya untuk kembali ke pesantren. Terima kasih mas Adib.

      Satu jam menjelang jadwal keberangkatan, saya cetak tiket dan “Deg” panik ternyata e-boarding pass yang dikirim pihak KAI tidak bisa dicetak. Setelah berkali-kali dicoba tidak bisa, saya disarankan satpam untuk bertanya ke Custemer Service. “Mas salah menentukan stasiun keberangkatan, ini stasiun prupuk itu paling selatan Tegal dekat Purwokerto mas,” kata mba CS-nya menjelaskan. “Pantesan”, bathinku. “saya harus bagaimana mba?” pertanyaanku cari aman. “mas dapat cancel atau resschedul,”. Singkat cerita saya ressched meskipun harus ada potongan sekian persen dan itu kali ke berapa saya lupa dalam kecerobohan memilih perjalanan.

      Setelah urusan dengan CS usai dan saya memilih perjalanan pukul sebelas lewat setengah karena dengan estimasi sampai stasiun pasar senen jakarta jam empat tiga puluh sore hari. Masih ada waktu satu jam untuk perjalanan menuju ciputat, tempat acara akan dilangsungkan.

      Saya sangat menikmati perjalanan siang menuju sore tersebut, meskipun semburat matahari belum kuning sempurna tetapi posisi matahari sudah condong ke barat yang artinya menemani orang yang perjalanan menuju arah barat seperti aku ini, eh meskipun baratnya bukan amerika L.... Saya menikmati dengan mendengarkan musik shalawat kesukaan oleh-oleh dari Lek Nafeez sebelum saya merantau ke jakarta tahun 2014 serta buku bacaan yang saya tidak ingat judulnya, tentunya lagu-lagu yang lain juga mengema ditelinga, saya menyukai perjalanan, karena dalam perjalanan kita bisa menikmati imajinasi liar tentang apapun atau juga bisa memutar ulang memori yang pernah kita lalui, and i like it.

      Tepat pada jam estimasi yang tertera di tiket saya sampai di jakarta dalam keadaan terlelap, saya dibangunkan petugas saat penumpang yang lain sudah tidak terlihat lagi berhamburan keluar, (ah, kamu ini (*_*)).

      Dari stasiun pasar senen saya melanjutkan perjalanan menuju stasiun pondok ranji yang saya tidak hafal persis rutenya, yang saya ingat setelah sampai st. Pasar tanah abang saya salah mengambil jurusan. Saya sadar salah tujuan saat ada pengumuman “st. duri”. Saya harus kembali ke st. Pasar tanah abang dan mengoreksi dengan teliti jurusan yang harus saya tuju.



      Saya order grab sesaat setelah sampai st. Pondok ranji, kita menyepakati tempat untuk saling bertemu karena dia bercerita tidak boleh mengambil penumpang dari stasiun. Setengah jam menuju maghrib saya bisa bergabung bersama teman-teman JHQ atas nama Bukber yang dinamai Buser; Buko Sareng JHQ dengan mengangkat Tema “Temu Kangen di Momentum Ramadhan” itulah perbincangan tentang HBH dibicarakan dengan serius sekitar H-32 hari menjelang acara akan diselenggarakan itupun belum kepotong lebaran.



      Saya haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh sedulur yang terlibat suksesnya acara tersebut. Terima kasih teman BPH yang selalu tidak pernah terlihat damai meskipun nyata dedikasinya, terima kasih dan maaf kepada seluruh teman panitia HBH yang lebih sering di semprot daripada di apresiasi. Terima kasih dan maaf untuk semuanya, semoga perseduluruan ini abadi.




      Oh ya, jika ada yang tanya kenapa saya tulis di tanggal ini karena hari ke 14 adalah setahun persis bukber diselenggarakan. Hehe, tahun ini kita tidak bisa bukber karena masih ada Pandemi, semoga sedulur semua dan keluarga di lindungi oleh Allah SWT. 

      Terima Kasih.....

      Perjalanan yang dirindukan, part 2


      Perjalanan yang dirindukan, 

      Sesampainya di pesantren, saya menggebyur tubuh yang telah seharian melawan teriknya matahari dan polusi udara kota. Seusai berbuka bersama saya melaksanakan shalat magrib yang saya gabung diwaktu isya’ lalu ikut menjadi santri melaksanakan shalat tarawih berjama’ah putra-putri, hal tersebut membuatku menerawang jauh entah kemana membayangkan asyik ya menjadi santri yang bisa shalat bersama putra-putri hanya dipisahkan satir kain yang digantung mirip gorden, dalam benak mungkin ada juga yang sudah berlangganan meletakkan surat “cinta” disuatu tempat yang akan diambil oleh kekasihnya seusai shalat tarawih itu, eh itu hanya khayalan ya, jangan baper...

      Malam itu saya mengira tidak akan bisa sowan kepada yai karena kabarnya beliau sedang tidak di Ndalem (rumah, penyebutan jawa halus). Meskipun tetap berharap bisa sowan secepat mungkin agar bisa langsung on the way ke Jakarta karena ada acara di sore harinya.


      Gayung pun bersambut, menjelang pukul sepuluh malam saya ditimbali (dipanggil) oleh yai untuk sowan ke Ndalem, dengan diantar mas balya saya menuju kediaman beliau dan ternyata beliau sudah menunggu di ruang tamu. Seusai memperkenalkan diri, Setelah menyampaikan salam dari teman-teman JHQ, sesudah yai menanyakan kabar JHQ, saya menyampaikan niat bahwa “kami bermaksud ingin menyelenggarakan acara HBH JHQ di pesantren Al-Hikmah ini yai”, kataku. Beliau menyahut, “kalian serius? Ini sudah tinggal satu bulan lo, bagaimana persiapan disana?” setelah bercerita persiapan disana dan untuk meyakinkan pak yai juga akhirnya pak yai dawuh (berkata) “Sudah dua kali JHQ rencana mengadakan acara HBH disini dan dua-duanya gagal, kalau kamu gagal juga JHQ tidak usah kesini lagi”. “Insyaallah yai,” jawaban yang saya mantap-mantapkan meskipun masih antara harap dan cemas, itu agar tidak terlihat sedikitpun keraguan dari ketum saat itu. Hal itu pula mungkin yang menjadikan teman-teman JHQ sangat bersemangat untuk mensukseskan acara ini,- terima kasih semua sedulur JHQ yang tak bisa saya sebut namanya satu persatunya, kalian is the best. Sowan telah cukup dan saya langsung sekalian meminta untuk pamit ke jakarta esok harinya karena ada acara yang lain, acara tersebut ditutup dengan doa oleh pak yai. Semoga yai beserta keluarga besar selalu diliputi dengan rahmat Allah dan senantiasa diberikan kesehatan.

      to be continue

      Perjalanan yang diridukan, Part 1


      Perjalanan yang diridukan,

      Salah satu kegelisahan di kepengurusan kami (JHQ 2018-2019) adalah Halal Bi Halal Jam’iyyah Hafazhah Al-Qur’an yang sering disebut HBH JHQ yang seringkali dilaksanakan di daerah seputar Jawa Tengah -sebagai sesuatu yang menyatukan kita selain Hifdz al-Qur’an- dengan berbagai tujuan diantaranya mendakwahkan Al-Qur’an kepada masyarakat luas dan juga memperkenalkan kampus tercinta kami yaitu Institut PTIQ Jakarta dan IIQ-nya. Pasalnya kegiatan rutin tersebut sudah tidak terealisasikan selama sepuluh periode kepengurusan.

      Bertepatan dengan mengkatnya kiyai-ku (Mun), pada hari kedelapan Ramadhan 1441 saya harus pulang ke pesantren di kudus. Setelah puas meluapkan kerinduan kepada kudus dan semua yang meliputinya, saya sempatkan diri mampir ke rumah untuk sekedar meluapkan kerinduan kepada kedua orang tua-ku dan juga meminta restu mereka. Selain juga menyambung silaturrahim kepada sanak saudara meskipun dengan waktu yang minim.

      Dihari keenam semenjak meninggalkan jakarta, saya harus melanjutkan perjalanan ke Pemalang untuk sowan (menghadap) ke Ndalem KH. Mustofa hadna dan keluarga besar karena pesantren tersebut (Al-Hikmah) yang kita pilih untuk mengadakan HBH JHQ. Waktu itu tanggal 13 Ramadhan.
      Saya memulai perjalanan dengan mampir ke kudus dulu sebagai kebiasaan perjalanan selalu saya mulai dari kota kecil nan asri tersebut. Saya harus memesan tiket kereta karena bus yang saya andalkan berangkat lebih pagi dari yang saya duga. Setelah melaksanakan shalat zuhur di stasiun poncol Semarang, saya memasuki ruang tunggu sambil menunggu panggilan bahwa kereta api jurusan Semarang Tegal akan segera diberangkatkan. Saya berangkat jam satu siang dan sampai di stasiun Pemalang jam empat sore.

      Selanjutnya saya harus menaiki becak sebelum naik Bus yang melewati Randudongkal, saya tidak ingat apakah jurusan Pemalang-Tegal atau entah. Mungkin sudah terlalu ngantuk dan lelah, saya menaiki bus yang keseringan ngetem untuk menunggu penumpang, saya sangat menikmati perjalanan tersebut, melewati RS Ashari, melewati hutan jati-jati nan indah yang saya kira terlalu jauh antara Pemalang kota dengan tempat yang akan saya tuju. Tepat saat adzan magrib bersahut-sahutan aku turun di lampu merah dekat masjid besar di Randudongkal untuk menunggu mas santri yang diutus mas balya untuk menjemputku ke pesantren Al-Hikmah yang terletak di Warungpring, dalam perjalanan aku mengenalnya bernama mas fikri yang sampai saat tulisan ini dituangkan kami masih akrab. Terima kasih mas fikri, semoga selalu mendapatkan ridha dari Allah dan menjadi hamba yang pandai bersyukur, anggap saja saya menulisnya dengan penuh senyum yang merekah, eh memang iya kok.... hehehe  


      to be continue ya..... 

      Sabtu, 04 April 2020

      Laki-laki Unik itu Ayah

      Catatan Perjalanan,- 

      Aku beberapa kali mengalami kejadian yang membuat saya (Mak Deg) Terhenyak. Kejadian yang menyayat hati dan meluluh lantakkan kesombongan serta kemager-mageran. Kisah tersebut adalah tentang perjuangan seorang ayah, perjuangan seorang laki-laki yang meminta wanita sebagai tanggung jawabnya, kisah seseorang yang hanya memilih halal untuk anak dan istrinya, mungkin juga perjuangan seorang anak untuk membahagiakan orang tuanya. 

      Pertama, saat aku nongkrong di Warung Kopi daerah Ciputat, aku memesan Kopi hitam dan bubur kacang hijau serta mencamil beberapa gorengan untuk menghangatkan tubuh sambil menunggu air kecil yang jatuh dari langit segera mereda. Dalam kesempatan santai, seorang bapak-bapak mencolekku untuk izin duduk disamping kiriku yang memang masih lega. "Monggo pak," ucapku dalam bahasa Jawa. 

      Bapak itu memesan bubur kacang hijau, sambil menunggu pesanannya datang bapak tersebut mengipaskan topinya untuk mencegah kegerahan yang bertambah parah. Pelayan pun dengan sigap menyuguhkan bubur pesanannya dan air putih hangat. Dengan lahap bapak tersebut menikmati buburnya yang saya perkirakan bapak itu sangat lapar karena kebetulan jam makan siang atau mungkin tergesa khawatir langganannya segera keluar dari sekolahnya, saya analisis kemungkinan dia tukang becak yang sedang menunggu langganannya diantar pulang ke rumah. 

      Setelah buburnya lenyap, pikirku masih mengiang-ngiang, apakah hidupnya harus begitu? "Berapa mas?" Tanya bapak kepada penjaga warung, "enam ribu pak", katanya. Bapak itu merogoh sakunya dan mengeluarkan beberapa uang receh segenap itu. 

      Aku melihat berapa sulitnya tanggung jawab seorang suami dan ayah dari anak-anaknya, hingga seyogyanya kita sebagai anak harus menghormati orang tua karena perjuangannya tidak hanya itu. Sebagai seorang istri harus bisa menjadi rumah yang benar-benar menentramkan melebihi kamar hotel bintang lima, jangan menjadi beban kesekian setelah beban dari luar. 

      Ayah itu unik, dia harus tetap tegar didepan anak-anaknya, urusan nantinya sulit, dia siap. Urusan nanti harus nangis, dia akan nangis tetapi tidak didepan anaknya. Dia lebih sedikit bicaranya tetapi perhatian, dia akan menyembunyikan semua yang tidak mengenakkan untuk anak-anaknya. 

      Jadi, jangan pernah membuat tangis orang tuamu kecuali tangisan bahagia. Doakan mereka semoga Allah selalu menjaganya dan memberikan kemudahan bagi setiap episode kehidupannya... 

      Ayah dan ibu,- Alfatihah

      AM 
      04 April 2020 

      Jumat, 03 April 2020

      Pengalaman Ngaji Bil Ghaib Pada Abah



      Setelah perjalanan panjang di pesantren ar-Roudlotul Mardliyyah, setelah beratus liter air pesantren diminum, setelah entah berapa kali mengunjungi Menara kudus untuk ziarah sekaligus Nderes (mengulang hafalan) dan minum air barokahnya, setelah sekiranya tiga ratus lebih bertatap muka –talaqqi- (megklarifikasi bacaan al-Qur’an dan membenarkan dihadapan Guru/Kiyai) kepada Abah Munir Allahu Yarham. Nama asli beliau yaitu Muhammad Munir Hisyam, putra ketiga dari Mbah yai Hisyam Hayat murid Mbah Munawwir Yogyakarta dan juga murid Mbah Arwani Kudus.

      Setelah usai setoran bin Nadzar (dengan melihat mushaf) ku putuskan untuk setoran bil Ghaib kepada Abah Munir, meskipun terkenal galak dan ketat dalam mengawal bacaan al-Qur’an. Aku tekat bulatkan niatku, aku kumpulkan keberanianku untuk setoran bil Ghaib,[1] pada waktu yang telah ditentukan oleh Abah.

      Pada setoran sekira ke-tiga saya membaca halaman ke-enam dalam mushaf pojok kudus, ayat ke 30 surat ke-dua dalam urutan mushaf. Dalam halaman tersebut paling tidak ada Mad (bacaan panjang) Jaiz dan Wajib dua puluh satu tempat yang lumayan menguras nafas ditambah rasa deg-degan saat setoran pasti menyertai.

      وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ
      Abah menggedor meja sebagai tanda peringatan ayat yang saya baca ada yang kurang atau salah…. Dengan gemetar saya ulangi ayat tersebut dan Plaaaakkkkk…. Saya masih belum sadar apa kesalahan saya, hadduaahh… saya ulangi sekali lagi ayat tersebut dengan terbata-bata فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ …… dowooooo (panjang) Ngendikan Abah.[2] Saya tak ingat betul yang saya baca dan kurang panjang yang mana, yang pasti saya membacanya kurang panjang. lalu aku membaca Shadaqallahul ‘Adzimmm, sebagai tanda undur diri (menyerah) hehe….

      Saya tulis ini bukan niat apapun kecuali kerena rindu Abah,-

      Hal ini mirip dengan kisah sahabat Musa bin al-Kndiy r.a berkata: ketika sahabat Ibnu Mas’ud mengajar kepada seseorang, maka orang itu membaca (إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ) dengan bacaan yang polos Ibnu Mas’ud menegurnya : tidak begitu Nabi Saw. membacakannya kepadaku, “bagaimana Rasul membacakannya kepadamu?” lalu Ibnu Mas’ud membacakannya dengan memanjangkan (إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ) (lil Fuqoro___i) lima harakat.

      Ibnu Mas’ud mrngingkari dan tidak memberikan keringanan bagi orang yang membaca dan tidak memanjangkannya. Padahal hal tersebut tidak mempengaruhi kalimah dan maknanya. Akan tetapi karena bacaan al-Qur’an adalah Sunnah Muttaba’ah orang yang akhir harus mengikuti bacaan orang sebelumnya. Maka Ibnu Mas’ud mengingkari bacaan yang tidak sama dengan bacaan Nabi.[3]

      Hal ini menunjukkan kewajiban mempelajari ilmu tajwid dan menerapkannya dalam bacaan al-Qur’an. Abah, Ngapunten dan terima kasih. Al-fatihah...





      [1] Saya menggunakan istilah setoran karena kata itu lebih populer dikalangan pesantren al-Qur’an tua daripada Talaqqi, meskipun secara substansi sama. Ini hanya berkaitan dengan pemilihan diksi semata.
      [2] Kata Abah
      [3] Maftul Basthul Birri, Tajwid Jazariyyah.

      Kamis, 09 Januari 2020

      Engkau Zulaikha-ku




      Bermula dari dekat dengan bundamu
      Hingga akhirnya takdir mengharuskan kita dekat
      Dengan kedekatan yang entah seperti apa
      Dekatnya tuan putri pada sahayanya
      Hampir sama kisah Yusuf Zalikha
      Membuat yusuf mendekap dipenjara
      Akupun demikian,
      Mendekap dipenjara moral sekian lama
      Membuatku delusi meski kini telah sirna

      Sebuah pelajaran amat sangat berharga
      Jangan asal-asalan melabuhkan hati
      Pada yang bukan dermagamu
      Melihatlah bagaimana seharusnya
      Cinta terbangun atas dasar setara
      Sebagaimana ajaran rasul kita

      Kini jarak telah pisahkan kita
      Engkau dengan hidupmu dan aku pada suka cintaku
      Aku ikhlas atas semua yang telah terjadi
      Harapanku engkaupun begitu
      Biarkan takdir berjalan sebagaimana mestinya
      Hidup tetap harus berjalan
      Dengan atau tanpa kebersamaan kita

      Maafkan daku

      Harapanku Untukmu,-


         Harapanku,


      Mengenalmu hal terindah dalam hidupku
      Melihatmu hal yang menanangkan hatiku, meski aku tak tahu itu kamu
      Menyapamu kebahagiaanku, meski tiada keberanian melakukannya
      Mencintaimu harapanku, walau entah bagaimana kamu
      Menjadikanmu Khadijah dalam hidupku inginku, walau entah bagaimana dirimu

      Nalar Naluriku ingin ku bangun denganmu
      Apakah engkau punya naluri yang sama
      Atau justru kau akan mendatangi istana lain
      Jika bersamaku kita akan bangun istana bersama
      Bukan engkau aku jemput untuk sebuah istana
      Aku juga tak akan menjemput tuan putri dari istana
      Melainkan meminang putri untuk diajak membangun istana bersama

      Apakah harus kita mulai dengan bercanda
      Cara-cara klasik pedekate cinta
      Atau cukup satu nama Ta’ruf
      Cara cinta modern ala anak-anak hijrah

      Kutunggu momentum tepat untuk mengungkapkannya
      Atau ku tunggu kode etik para pecinta
      Entah apakah engkau merasa atau justru mati rasa

      23.21 Bayt al-Qur’an, 21/08/18

      Lat Post ...