Kamis, 12 September 2019

Bu Gendong Penyelamat




Perjalanan waktu dari lulus pendidikan menengah atas hingga waktu itu sudah berjalan enam tahun, tentu bukan waktu yang singkat untuk direncanakan sebagai jeda anatara pendidikan menengah dengan kuliah. Tapi begitulah kenyataannya, aku tidak menempuh jenjang pendidikan formal selama itu. Meski alhamdulillah bisa menetap di pesantren ­-dan itu banyak menempa diri ini untuk menjadi insan yang selalu memperbaiki diri- dan juga melakukan pendidikan non formal seperti kursus dsb.

Di awal setelah kelulusan, aku telah di tawarin bapak untuk memilih antara pesantren atau dunia intelektual formal yaitu kuliah. Waktu itu diriku mantap menjawab pesantren dan tidak aku sesali hingga sekarang. Perjalanan waktu begitu melenakan, tersadar sudah empat tahun terdampar di pesantren tahfidz yang waktu pertama diantar bapak aku tak tahu di pesantren harus melakukan apa, di iringi kepergianku dengan tangis bunda dan deraian air mata bapak juga saat berpamitan pulang setelah mengantarkanku ke pesantren.

Merasa menjadi orang yang paling malang karena harus jauh dari orang tua dan saudara, meski di kemudian hari akan terbiasa dengan lingkungan pesantren. Lantunan murottal, latihan makhraj, setoran yai, tongkrongan senior, dan jam wajib adalah hal yang ku rindukan kemudian hari. Setelah berjalan beberapa hari, setelah melakukan penelitian, aku mengetahui bahwa ini pesantren tempat menghafalkan Al-Qur’an, “aduh” kata hatiku. Tapi aku tak lantas menyerah, aku akan menjalani sebisanya, toh aku juga pernah berkeinginan hafal Al-Qur’an saat menyimak guru saya khataman bil Ghaib (membaca Al-Qur’an tanpa melihat).

Hal yang agak aneh lagi ketika diawal nyantri, ternyata disana tidak ada air matang ataupun galon. “Astagfirullah, piye ki carane ngumbe”. Oke aku masih kuat, bathinku. Beberapa saat aku membutuhkan kamar mandi untuk membersihkan sisa debu perjalanan, disitu aku melihat dengan nyata ada seorang santri meminum air dari kran bahkan santri yang lain meminum juga dari bak besar kamar mandi. Tanpa pikir panjang aku mengikuti cara mereka minum dan masya Allah ada sedikit rasa sabun... hahaha yowes rapopo, ga mati kok....

Betapa pahitnya awal nyantriku, hehe... cerita yang lain, di sekeliling pesantren ga ada yang kulihat jualan makanan, astagfirullah, aku lapar. Mau tanya ga berani, waduh derita santri anyar nih... selama hampir dua puluh empat jam nahan diri untuk ingin makan, karena ga berani tanya apalagi untuk keluar.... di jam ke dua puluh satu alhamdulillah ada ibu-ibu menjajakan makanannya di pelataran pondok yang kelak aku tahu teman-teman menamainya Bu Gendong, mungkin karena dia membawa jajanannya dengan di gendong.

Teruntuk semua yang berjasa mengantarkan aku ke pesantren, semua ustadz yang mengajariku di pesantren, teruntuk abah dan keluarga, semoga Allah senantiasa mencurhkan Rahmat-Nya... Al-Fatihah

To Be Continue.... insya Allah

Selasa, 03 September 2019

Aku Bosan Kuliah,-


Hasil gambar untuk wisuda iiq


Setiap orang pasti punya titik jenuh, begitu pula kita sebagai anak kuliahan. Rutinitas makalah, tahfidz, tugas lain, ngajar, mungkin benar-benar sangat membosankan dan melelahkan sekali, lebih enak dan asyik untuk selalu jalan atau touring dan sejenisnya. Tapi kita semestinya ingat dan sadar bahwa jutaan orang diluar sana ingin sekali mempunyai posisi seperti kita. Oke, sekarang kita sudah semester berapa? Apa yang sudah di dapat? Sudah bisa apa? Apa kontribusimu untuk negara dan agama? Kita akan dimintai pertanggung jawaban itu, kalau tidak didunia ya kelak di akhirat.

So, marilah kita merenung dan beramal nyata disisa masa aktif kita di perkuliahan. Mari kita selesaikan apa yang mustinya kita rampungkan, mari membuat orang tua bangga dan bahagia dengan lulus tepat waktu dan lulus predikat baik.

Betapa banyak nikmat yang kita sandang, nikmat melihat, mendengar dan masih banyak yang lain. Kaka tahu, dulu ada seorang anak yang lahir dalam keadaan tunanetra namanya Qasim ibnu Firruh, dan itu tidak menghalanginya untuk belajar. Dia kelahiran Andalus dan belajar hingga ke mesir, dia tidak hanya pandai fan bahasa arab akan tetapi juga mahir dalam hadist dan terkenal kepiawaiannya pada bidang Ilmu Qira’at. Dia mengarang Nazam yang berjumlah seribu lebih. Dari keadaan tunanetra hingga mulia, Imam Syatibi julukannya... lalu bagaimana dengan kita? Masih pantaskah kita mengeluh?

Mari maksimalkan nikmat yang t’lah di anugerahkan Allah untuk kita, nari sukseskan semester akhir semoga Allah menilai kita termasuk hamba yang husnul khatimah... mari maksimalkan nikmat ini untuk semakin menuntun kita bahwa rahmat Allah begitu luas, bahwa ilmu Allah begitu Luas...
Semoga Allah memberi kita kekuatan dan kemudahan...

Senin, 02 September 2019

Aku dan Harapan Ibu



Kebiasaan Ahmad telpon ibu minimal sepekan sekali menyesuaikan jadwal Ahmad sendiri maupun ibu. Senin 26/08 pun seperti hari biasanya, penundaan telpon yang biasanya dilakukan dimalam ahad harus tertunda tetapi tidak mengurangi keasyikan cengkramanya rindu anak kepada ibunya dan rindu seorang yang telah mengandung dia kepadanya.

Setelah saling bertanya kabar antara negara Jakarta dengan negara Pati. Hehe mulailah perbincangan yang serius tapi santai juga, mulai menanyakan tentang teman dekat dan bagaimana ke depannya, “entah bu, belum terlihat” kataku... 

Untuk mengalihkan perhatian ibu, aku bertanya-tanya tentang hal yang  sama sekali berbeda dengan hal tersebut, “Bu, Cerita tentang aku kecil dong.hehe’ Apa ya le? Saya pancing, ibu pernah cerita bekerja di pabrik dan jarang mendengarkan adzan atau ibu pernah bekerja kepada orang yang non muslim tapi baik. O ya ya, mendengar adzan itu anugerah yang besar le, sepantasnya orang muslim itu merindukan adzan. “Aku kalau dengar adzan malah gantuk bu, hehe”. Ga boleh seperti itu,- kamu akan merasakan rindu sekali dengan adzan ketika kau berada dalam keadaan sulit mendengarkannya, misal di negara yang muslim minoritas. Ibu juga pernah mengalami dua tahun jarang sekali mendengarkan adzan, satu yang ibu ingat yaitu ketika waktunya berbuka dan di ajak tuan/majikan ke menara kembar di malaysia, dan disitu ibu mendengarkan adzan, terharu intinya,,,

Apa lagi bu? Pertanyaan manja khas anak kecil yang siap mendengarkan dongengan ibunya. “Suatu ketika ibu pernah diajak Mbah.mu nyimak orang khataman di Sekar (nama sebuah desa yang terletak dekat dengan desaku), disitu sambil haru ibu Mbathin, betapa senengnya jika salah satu anak ibu kelak ada yang memiliki fadhal untuk menghafalkan kalam mulya itu, dan alhamdulillah ahmad jawaban dari do’a ibu waktu itu”. Suasana menjadi sedikit hening, “bu, Ngapunten aku belum bisa istiqamah...”

Kesuksesan seorang anak pasti banyak andil dari kedua orang tuanya, So, ga usah sombong. Coba selalu muhasabah diri dan temukan keadaan terbaikmu... ibu, Ahmad minta slalu didoakan ibu, mugi-mugi saget Istiqamah....Semoga ibu, bapak dan adik-adik selalu dalam lindungan Allah.....