Jumat, 03 April 2020

Pengalaman Ngaji Bil Ghaib Pada Abah



Setelah perjalanan panjang di pesantren ar-Roudlotul Mardliyyah, setelah beratus liter air pesantren diminum, setelah entah berapa kali mengunjungi Menara kudus untuk ziarah sekaligus Nderes (mengulang hafalan) dan minum air barokahnya, setelah sekiranya tiga ratus lebih bertatap muka –talaqqi- (megklarifikasi bacaan al-Qur’an dan membenarkan dihadapan Guru/Kiyai) kepada Abah Munir Allahu Yarham. Nama asli beliau yaitu Muhammad Munir Hisyam, putra ketiga dari Mbah yai Hisyam Hayat murid Mbah Munawwir Yogyakarta dan juga murid Mbah Arwani Kudus.

Setelah usai setoran bin Nadzar (dengan melihat mushaf) ku putuskan untuk setoran bil Ghaib kepada Abah Munir, meskipun terkenal galak dan ketat dalam mengawal bacaan al-Qur’an. Aku tekat bulatkan niatku, aku kumpulkan keberanianku untuk setoran bil Ghaib,[1] pada waktu yang telah ditentukan oleh Abah.

Pada setoran sekira ke-tiga saya membaca halaman ke-enam dalam mushaf pojok kudus, ayat ke 30 surat ke-dua dalam urutan mushaf. Dalam halaman tersebut paling tidak ada Mad (bacaan panjang) Jaiz dan Wajib dua puluh satu tempat yang lumayan menguras nafas ditambah rasa deg-degan saat setoran pasti menyertai.

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ
Abah menggedor meja sebagai tanda peringatan ayat yang saya baca ada yang kurang atau salah…. Dengan gemetar saya ulangi ayat tersebut dan Plaaaakkkkk…. Saya masih belum sadar apa kesalahan saya, hadduaahh… saya ulangi sekali lagi ayat tersebut dengan terbata-bata فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ …… dowooooo (panjang) Ngendikan Abah.[2] Saya tak ingat betul yang saya baca dan kurang panjang yang mana, yang pasti saya membacanya kurang panjang. lalu aku membaca Shadaqallahul ‘Adzimmm, sebagai tanda undur diri (menyerah) hehe….

Saya tulis ini bukan niat apapun kecuali kerena rindu Abah,-

Hal ini mirip dengan kisah sahabat Musa bin al-Kndiy r.a berkata: ketika sahabat Ibnu Mas’ud mengajar kepada seseorang, maka orang itu membaca (إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ) dengan bacaan yang polos Ibnu Mas’ud menegurnya : tidak begitu Nabi Saw. membacakannya kepadaku, “bagaimana Rasul membacakannya kepadamu?” lalu Ibnu Mas’ud membacakannya dengan memanjangkan (إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ) (lil Fuqoro___i) lima harakat.

Ibnu Mas’ud mrngingkari dan tidak memberikan keringanan bagi orang yang membaca dan tidak memanjangkannya. Padahal hal tersebut tidak mempengaruhi kalimah dan maknanya. Akan tetapi karena bacaan al-Qur’an adalah Sunnah Muttaba’ah orang yang akhir harus mengikuti bacaan orang sebelumnya. Maka Ibnu Mas’ud mengingkari bacaan yang tidak sama dengan bacaan Nabi.[3]

Hal ini menunjukkan kewajiban mempelajari ilmu tajwid dan menerapkannya dalam bacaan al-Qur’an. Abah, Ngapunten dan terima kasih. Al-fatihah...





[1] Saya menggunakan istilah setoran karena kata itu lebih populer dikalangan pesantren al-Qur’an tua daripada Talaqqi, meskipun secara substansi sama. Ini hanya berkaitan dengan pemilihan diksi semata.
[2] Kata Abah
[3] Maftul Basthul Birri, Tajwid Jazariyyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar