Setelah perjalanan panjang di pesantren ar-Roudlotul Mardliyyah,
setelah beratus liter air pesantren diminum, setelah entah berapa kali
mengunjungi Menara kudus untuk ziarah sekaligus Nderes (mengulang
hafalan) dan minum air barokahnya, setelah sekiranya tiga ratus lebih bertatap
muka –talaqqi- (megklarifikasi bacaan al-Qur’an dan membenarkan
dihadapan Guru/Kiyai) kepada Abah Munir Allahu Yarham. Nama asli beliau
yaitu Muhammad Munir Hisyam, putra ketiga dari Mbah yai Hisyam Hayat murid Mbah
Munawwir Yogyakarta dan juga murid Mbah Arwani Kudus.
Setelah usai setoran bin Nadzar (dengan melihat mushaf) ku putuskan
untuk setoran bil Ghaib kepada Abah Munir, meskipun terkenal galak dan ketat
dalam mengawal bacaan al-Qur’an. Aku tekat bulatkan niatku, aku kumpulkan
keberanianku untuk setoran bil Ghaib,[1] pada
waktu yang telah ditentukan oleh Abah.
Pada setoran sekira ke-tiga saya membaca halaman ke-enam dalam mushaf
pojok kudus, ayat ke 30 surat ke-dua dalam urutan mushaf. Dalam halaman
tersebut paling tidak ada Mad (bacaan panjang) Jaiz dan Wajib dua puluh satu tempat
yang lumayan menguras nafas ditambah rasa deg-degan saat setoran pasti
menyertai.
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا
إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ
Abah menggedor meja sebagai tanda
peringatan ayat yang saya baca
ada yang kurang atau salah…. Dengan gemetar saya ulangi ayat tersebut dan Plaaaakkkkk….
Saya masih belum sadar apa kesalahan saya, hadduaahh… saya ulangi sekali lagi
ayat tersebut dengan terbata-bata فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ …… dowooooo
(panjang) Ngendikan Abah.[2] Saya tak ingat betul yang saya
baca dan kurang panjang yang mana, yang pasti saya membacanya kurang panjang. lalu
aku membaca Shadaqallahul
‘Adzimmm, sebagai tanda undur
diri (menyerah) hehe….
Saya tulis ini bukan
niat apapun kecuali kerena rindu Abah,-
Hal ini mirip dengan
kisah sahabat Musa bin al-Kndiy r.a berkata: ketika sahabat Ibnu Mas’ud
mengajar kepada seseorang, maka orang itu membaca (إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ)
dengan bacaan yang polos Ibnu Mas’ud menegurnya : tidak begitu Nabi Saw. membacakannya
kepadaku, “bagaimana Rasul membacakannya kepadamu?” lalu Ibnu Mas’ud
membacakannya dengan memanjangkan (إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ) (lil
Fuqoro___i) lima harakat.
Ibnu Mas’ud mrngingkari dan tidak memberikan keringanan bagi orang
yang membaca dan tidak memanjangkannya. Padahal hal tersebut tidak mempengaruhi
kalimah dan maknanya. Akan tetapi karena bacaan al-Qur’an adalah Sunnah Muttaba’ah
orang yang akhir harus mengikuti bacaan orang sebelumnya. Maka Ibnu Mas’ud
mengingkari bacaan yang tidak sama dengan bacaan Nabi.[3]
Hal ini menunjukkan kewajiban mempelajari ilmu tajwid dan
menerapkannya dalam bacaan al-Qur’an. Abah, Ngapunten dan terima kasih. Al-fatihah...
[1] Saya menggunakan
istilah setoran karena kata itu lebih populer dikalangan pesantren al-Qur’an
tua daripada Talaqqi, meskipun secara substansi sama. Ini hanya berkaitan
dengan pemilihan diksi semata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar