Saat
aqiqah dan pemberian nama anak yang baru lahir, orangtua biasa membopongnya ke
luar kamar untuk disaksikan di hadapan para tamu undangan yang membaca Marhaban.
Tradisi ini pada dasarnya mengikuti praktek para sahabat yang buru-buru membawa
anak bayinya pasca kelahiran ke hadapan Rasulullah Saw.
Sahabat
Nabi bernama Abu Thalhah sewaktu dikaruniai seorang putra, beliau segera
bergegas membawa bayinya itu kepada Rasulullah Saw. Bayi itu diletakkan di
pangkuan Rasulullah dan beliau pun menerimanya seraya meminta Abu Thalhah agar
diambilkan sebiji kurma.
Kurma
itu dikunyah Rasulullah sampai benar-benar halus, kemudian baru diluluhkan
(tahnik) ke mulut bayi yang kelihatan tolah-toleh menginginkan asupan makanan.
Oleh Rasulullah bayi itu diberi nama Abdullah.
Hal
yang sama juga dilakukan Asma binti Abu Bakar saat melahirkan putranya, Abdullah
bin Zubair. Putri Abu Bakar itu mengandung sejak masih tinggal di Mekkah. Beliau
ikut hijrah bersama sahabat-sahabat yang lain ke Madinah. Setibanya di daerah
Quba’, Asma binti Abu Bakar melahirkan seorang bayi berjenis kelamin laki-laki.
Masa
persalinan tak membuatnya lemah. Beliau buru-buru menghampiri Rasulullah dengan
membawa serta bayinya dengan tujuan tabarrukan kepada Nabi Muhammad. Bayinya
yang baru saja lahir itu dipangku Rasulullah, mulutnya diluluh (tahnik) dengan
kurma; sehingga tidak ada benda yang pertama kali masuk ke dalam perut bayi itu
terkecuali kurma kunyahan Rasulullah sendiri.
Apa
yang dilakukan para sahabat seperti Abu Thalhah dan Asama binti Abu Bakar itu
merupakan bentuk tabarruk (mendapatkan keberkahan) dari tokoh yang dikaguminya,
yakni Rasulullah Saw. Tabarruk kepada Nabi, wali, dan ulama yang wara pewaris
Nabi sangat dianjurkan berdasarkan hadits itu.
Bahkan
karena alur kejadian dalam hadis itu, sebagian ulama berpendapat bahwa tahnik
tidak dapat dilakukan sembarang orang. Hanya orang-orang yang benar-benar wara’
dan saleh yang boleh melakukannya. Pertimbangan lainnya adalah bahwa memberikan
air susu ibu (ASI) ekslusif kepada bayi lebih baik daripada asupan saru kurma
dari orang biasa.
Dengan
tujuan tabarrukan kepada Nabi Muhammad saW, umat Islam membiasakan mengadakan
pembacaan al-Barzanji saat aqiqah dan pemberian anak mereka yang baru lahir.
Jangan
katakan Rasulullah saw tiada! Beliau selalu menjawab salawat dan salam yang
dikumandangkan umatnya hingga akhir kiamat. Kalau Nabi Muhammad sendiri
menjawab salawat yang kita kumandangkan, bukankah beliau “Rawuh” saat pembacaan
Marhaban dalam acara aqiqah dan pemberian nama?
Kewajiban Orang Tua Terhadap Anaknya
Keharmonisan dalam kehidupan akan senantiasa terjaga jika tepat
dalam penggunaan dalil-dalil agama, proporsional dan bukan dalam rangka
membela diri. Dan akan sangat tidak harmonis jika penggunaan dalil tidak proporsional
atau hanya sebagai tameng pembelaan bagi dirinya semata.
Sebagai contoh dalam berumah tangga akan harmonis jika seorang istri mengetahui
mana dalil yang seharusnya menjadi pegangan sang istri dan mana dalil yang
harus diketahui oleh suami. Misalnya tentang “ما أكرم
النّساء إلّا كريم وما أهانهنّ إلّا لئيم” (tak
ada yang menghargai perempuan kecuali orang yang mulia dan tak ada yang
melecehkannya kecuali orang yang hina) dalil ini akan membuat kehidupan
keluarga harmonis jika diterapkan oleh suami terhadap istrinya, dan akan
terjadi ketimpangan jika dalil ini digunakan hanya sebagai pembela diri istri
untuk dirinya sendiri.
Pun juga dalil tentang orang tua terhadap anaknya dan anak terhadap
orang tuanya. Jika keduanya tahu tentang hak dan kewajibannya masing-masing,
maka akan berjalan harmonis sebuah keluarga.
Tanpa seperti itu, tidak sedikit yang salah faham dan menganggap
anak adalah sepenuhnya miliknya dan memperlakukan sekehendak hatinya, tanpa
menyadari bahwa itu adalah titipan dari Allah. Sebagaimana titipan, maka wajb
menjaganya bagi yang di titipi itu.
Ada beberapa kewajiban orang tua terhadap anak yaitu: pertama,
memilihkan ibu yang baik untuk anaknya. ada sebuah kisah yaitu Umar ibn
al-Khattab pernah di sowani seseorang dan mengadukan perihal anaknya
yang bandel. Lalu ketika sang anak itu di hadapkan kepada Umar dia bertanya “apakah
anak tidak memiliki hak atas orang tuanya?” maka umar pun menjawab “iya,
ada. Satu, memilihkan ibu yang baik, jangan sampai kelak terhina akibat ibunya.
Kedua, memberikan nama yang baik dan mengajarkannya (mendidiknya) al-Qur’an.”
Kedua, memberi nama
yang baik. Dalam pemberian nama, sangat dianjurkan memberikan nama yang baik
karena kelak di akhirat semua orang akan di panggil dengan namanya. Dan nama
yang paling baik dan paling disukai Allah adalah abdullah, abdurrahman dsb.
Sebagaimana sabda nabi Muhammad saw :
إِنَّ أَحَبَّ أَسْمَائِكُمْ إِلَى اللَّهِ عَبْدُ اللَّهِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ
Ketiga, memberi
makanan yang halal. Karena kita tahu bahwa apa yang kita makan adalah sesuatu
yang menjadi energi bagi kita untuk kita melakukan suatu pekerjaan. Maka barang
siapa memakan yang halal, maka insyaallah ia akan di mudahkan langkahnya dalam
ketaatan kepada Allah swt. Dan jika makanan yang halal yang kita asupkan kepada
anak dan keluarga kita maka ketenangan dan ketentramanlah yang ada dalam
keluarga.
Keempat, mengajarkan
al-Qur’an. Salah satu kewajiban orang tua terhadap anaknya adalah mengajarkan
akhlak dan juga agama.
أدبوا
أولادكم على ثلاث خصال: حب نبيكم, وحب أهل بيتـه, وقراءة القران.
Ajarkanlah kepada anak-anakmu tiga perkara. Cinta terhadap nabi,
dan mencintai ahlul bayt serta ajarkan membaca al-Qur’an.
Selanjutnya adalah menikahkan sang anak ketika sudah saatnya.