Sabtu, 04 April 2020

Laki-laki Unik itu Ayah

Catatan Perjalanan,- 

Aku beberapa kali mengalami kejadian yang membuat saya (Mak Deg) Terhenyak. Kejadian yang menyayat hati dan meluluh lantakkan kesombongan serta kemager-mageran. Kisah tersebut adalah tentang perjuangan seorang ayah, perjuangan seorang laki-laki yang meminta wanita sebagai tanggung jawabnya, kisah seseorang yang hanya memilih halal untuk anak dan istrinya, mungkin juga perjuangan seorang anak untuk membahagiakan orang tuanya. 

Pertama, saat aku nongkrong di Warung Kopi daerah Ciputat, aku memesan Kopi hitam dan bubur kacang hijau serta mencamil beberapa gorengan untuk menghangatkan tubuh sambil menunggu air kecil yang jatuh dari langit segera mereda. Dalam kesempatan santai, seorang bapak-bapak mencolekku untuk izin duduk disamping kiriku yang memang masih lega. "Monggo pak," ucapku dalam bahasa Jawa. 

Bapak itu memesan bubur kacang hijau, sambil menunggu pesanannya datang bapak tersebut mengipaskan topinya untuk mencegah kegerahan yang bertambah parah. Pelayan pun dengan sigap menyuguhkan bubur pesanannya dan air putih hangat. Dengan lahap bapak tersebut menikmati buburnya yang saya perkirakan bapak itu sangat lapar karena kebetulan jam makan siang atau mungkin tergesa khawatir langganannya segera keluar dari sekolahnya, saya analisis kemungkinan dia tukang becak yang sedang menunggu langganannya diantar pulang ke rumah. 

Setelah buburnya lenyap, pikirku masih mengiang-ngiang, apakah hidupnya harus begitu? "Berapa mas?" Tanya bapak kepada penjaga warung, "enam ribu pak", katanya. Bapak itu merogoh sakunya dan mengeluarkan beberapa uang receh segenap itu. 

Aku melihat berapa sulitnya tanggung jawab seorang suami dan ayah dari anak-anaknya, hingga seyogyanya kita sebagai anak harus menghormati orang tua karena perjuangannya tidak hanya itu. Sebagai seorang istri harus bisa menjadi rumah yang benar-benar menentramkan melebihi kamar hotel bintang lima, jangan menjadi beban kesekian setelah beban dari luar. 

Ayah itu unik, dia harus tetap tegar didepan anak-anaknya, urusan nantinya sulit, dia siap. Urusan nanti harus nangis, dia akan nangis tetapi tidak didepan anaknya. Dia lebih sedikit bicaranya tetapi perhatian, dia akan menyembunyikan semua yang tidak mengenakkan untuk anak-anaknya. 

Jadi, jangan pernah membuat tangis orang tuamu kecuali tangisan bahagia. Doakan mereka semoga Allah selalu menjaganya dan memberikan kemudahan bagi setiap episode kehidupannya... 

Ayah dan ibu,- Alfatihah

AM 
04 April 2020 

Jumat, 03 April 2020

Pengalaman Ngaji Bil Ghaib Pada Abah



Setelah perjalanan panjang di pesantren ar-Roudlotul Mardliyyah, setelah beratus liter air pesantren diminum, setelah entah berapa kali mengunjungi Menara kudus untuk ziarah sekaligus Nderes (mengulang hafalan) dan minum air barokahnya, setelah sekiranya tiga ratus lebih bertatap muka –talaqqi- (megklarifikasi bacaan al-Qur’an dan membenarkan dihadapan Guru/Kiyai) kepada Abah Munir Allahu Yarham. Nama asli beliau yaitu Muhammad Munir Hisyam, putra ketiga dari Mbah yai Hisyam Hayat murid Mbah Munawwir Yogyakarta dan juga murid Mbah Arwani Kudus.

Setelah usai setoran bin Nadzar (dengan melihat mushaf) ku putuskan untuk setoran bil Ghaib kepada Abah Munir, meskipun terkenal galak dan ketat dalam mengawal bacaan al-Qur’an. Aku tekat bulatkan niatku, aku kumpulkan keberanianku untuk setoran bil Ghaib,[1] pada waktu yang telah ditentukan oleh Abah.

Pada setoran sekira ke-tiga saya membaca halaman ke-enam dalam mushaf pojok kudus, ayat ke 30 surat ke-dua dalam urutan mushaf. Dalam halaman tersebut paling tidak ada Mad (bacaan panjang) Jaiz dan Wajib dua puluh satu tempat yang lumayan menguras nafas ditambah rasa deg-degan saat setoran pasti menyertai.

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ
Abah menggedor meja sebagai tanda peringatan ayat yang saya baca ada yang kurang atau salah…. Dengan gemetar saya ulangi ayat tersebut dan Plaaaakkkkk…. Saya masih belum sadar apa kesalahan saya, hadduaahh… saya ulangi sekali lagi ayat tersebut dengan terbata-bata فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ …… dowooooo (panjang) Ngendikan Abah.[2] Saya tak ingat betul yang saya baca dan kurang panjang yang mana, yang pasti saya membacanya kurang panjang. lalu aku membaca Shadaqallahul ‘Adzimmm, sebagai tanda undur diri (menyerah) hehe….

Saya tulis ini bukan niat apapun kecuali kerena rindu Abah,-

Hal ini mirip dengan kisah sahabat Musa bin al-Kndiy r.a berkata: ketika sahabat Ibnu Mas’ud mengajar kepada seseorang, maka orang itu membaca (إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ) dengan bacaan yang polos Ibnu Mas’ud menegurnya : tidak begitu Nabi Saw. membacakannya kepadaku, “bagaimana Rasul membacakannya kepadamu?” lalu Ibnu Mas’ud membacakannya dengan memanjangkan (إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ) (lil Fuqoro___i) lima harakat.

Ibnu Mas’ud mrngingkari dan tidak memberikan keringanan bagi orang yang membaca dan tidak memanjangkannya. Padahal hal tersebut tidak mempengaruhi kalimah dan maknanya. Akan tetapi karena bacaan al-Qur’an adalah Sunnah Muttaba’ah orang yang akhir harus mengikuti bacaan orang sebelumnya. Maka Ibnu Mas’ud mengingkari bacaan yang tidak sama dengan bacaan Nabi.[3]

Hal ini menunjukkan kewajiban mempelajari ilmu tajwid dan menerapkannya dalam bacaan al-Qur’an. Abah, Ngapunten dan terima kasih. Al-fatihah...





[1] Saya menggunakan istilah setoran karena kata itu lebih populer dikalangan pesantren al-Qur’an tua daripada Talaqqi, meskipun secara substansi sama. Ini hanya berkaitan dengan pemilihan diksi semata.
[2] Kata Abah
[3] Maftul Basthul Birri, Tajwid Jazariyyah.