Kamis, 29 Maret 2018

Makalah Sirah Nabawiyyah


1.      PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Belajar sejarah merupakan hal yangsangat penting, salah satunya untuk menghargai pelaku sejarah tersebut dan juga untuk kita mengetahui sampainya ajaran islam ke kita adalah penuh perjuangan tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Setelah kita ketahui sejarah tersebut kita dapat mengambil beberapa ibrah yang dapat kia terapkan dalam kehidupan sehari-hari, dalam makalah ini penulis akan menyajikan Sirah Nabawiyyah dengan judul “Tahun Duka Cita (Amul Huzni) dan Peristiwa Isra Mi’raj”




Penyusun


Ahmad Munthaha

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka penulis ingin merumuskan masalah dalam penulisan makalah ini, selain agar penulisan lebih fokus pada pembahasan juga supaya tidak menyulitkan penulis dalam pencarian referensi. Adapun rumusan masalah dari penulisan makalah ini adalah:
a.       Kewafatan Abu Thalib Paman Tercinta
b.      Kewafatan Khadijah Istri Setia
c.       Dakwah Ke Thaif
d.      Kembali Dari Thaif ke Makkah
e.       Peristiwa Menakjubkan “Isra’ Mi’raj”


2.      PEMBAHASAN
A.    Kewafatan Abu Thalib Paman Tercinta



Akibat pemboikotan dan blokade yang di lakukan kaum Quraisy terhadapa Bani Hasyim dan Bani Muththalib berdampak banyak, bukan hanya terhadap kesehatan mereka yang di boikot, lebih-lebih yang berusia lanjut, tetapi juga berpengaruh pada dakwah Islamiyyah. Abu Thalib dan Khadijah ra. Yang mendampingi Nabi Muhamad saw. Dan membela beliau sekuat tenaga dan pikiran adalah dua orang dari beberapa orang yang wafat pasca peristiwa pemboikotan itu. Pemboikotan tersebut tidak seluruhnya berdapak negatif. Ia telah membuka mata masyarakat secara umum bahwa ada ajaran baru yang mengajak kepada keluhuran budi pekerti, yang penganut-penganutnya bersedia berkoban demi mempertahankan agamanya.[1]
Sakit yang dialami Abu Thalib semakin parah, hingga berujung kewafatannya pada bulan rajab tahun ke-sepuluh kenabian[2]. ada pula riwayat yang menunjukkan bahwa wafatnya Abu Thalib adalah tiga hari sebelum wafatnya Khadijah ra.[3]
Quraish Shihab menjelaskan bahwa saat Abu Thalib dalm keadaan sakit keras, berkumpullah tokoh-tokoh Quraisy –sekitar 25 orang- membicarakan apa yang akan terjadi bila Abu Thalib wafat. Mereka khawatir jangan sampai kekuatan umat islam semakin besar sehingga mereka kehilangan segalanya. Kekhawatiran mereka juga mengenai kecaman bahwa Abu Thalib wafat karena akibat pemboikotan yang dilakukan oleh mereka. Mereka datang dalam rangka menawarkan kompromi kepada Abu Thalib dan hidup berdampingan. “Ambillah dari kami, wahai Abu Thalib buat Muhammad dan Ambilkan juga dari Muhammad buat kami, sehingga kami tidak diganggunya dan kami pun tidak mengganggunya,” demikian usul mereka.
Hal itu disampaikan kepada Nabi Muhammad. Nabi menjawab: “Aku ingin mereka mengucapkan satu kalimat yang dampaknya buat mereka adalah seluruh masyarakat arab akan tunduk kepada mereka.....” “Apakah kalimat itu?” tanya Abu Jahal yang ikut delegasi tokoh-tokoh Makkah itu. “Bahkan sepuluh kalimat kami akan memberinya” tambahnya lagi, Nabi menjawab “Berucaplah Laa ilaaha illallaah, sambil meninggalkan apa yang kalian sembah” mendengar jawaban ini mereka menggeleng-gelengkan kepala. Sambil berlalu mereka menyimpulkan bahwa Muhammad tidak akan beranjak dari pendiriannya. Inilah akhir pertemuan delegasi Kafir Quraisy yang melatar belakangi turunnya QS. Shaad 1-8.[4]
Dalam shahih al-Bukhari dari (Sa’id) bin al-Musayyib disebutkan bahwa ketika Abu Thalib dalam keadaan sekarat, Nabi mengunjunginya sementara di waktu yang sama di sisinya sudah berada Abu Jahal. Beliau bertutur kepada pamannya, “wahai pamanku, ucapkanklah Laa ilaaha illallah, kalimat yang akan aku jadikan hujjah untuk membelamu kelak di hadapan allah.” Namun Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah memotong, “wahai Abu Thalib! Sudah bencikah engkau terhadap agama Abdul Muththalib?”[5] Dalam sejarah lain disebutkan Abu Thalib mengatakan “Andaikan masyarakat Quraisy tidak akan merendahkanku jika aku mengucapkan kalimat itu, aku tahu mereka akan mengatakan, “Abu Thalib mengucapkannya karena ketakutan”, maka aku akan membuatmu senang dengan mengucapkan kalimat itu.” Maka Allah berfirman: QS. Al-Qashash: 56.[6]
Menurut sejarah yang di tuturkan oleh Marting Lings seorang orientalis yang kemudian setelah masuk islam dikenal dengan nama Abu Bakar Sirajuddin bahwa ketika ajal Abu Thalib mendekat Abbas melihat dia menggerakan bibirnya. Ia mendekatkan telinganya ke Abu Thalib dan mendengarkannya. Lalu ia berkata “saudaraku telah mengucapkan kalimat yang kau minta agar mengucapkannya.” Tapi Nabi berkata, “Aku tidak mendengarnya.”[7]
Akhirnya Abu Thalib menghembuskan nafasnya yang terakhir. Rasulullah sangat berduka karenanya. Beliau berkata, “Aku akan memohonkan ampun untukmu selama aku tidak dilarang untuk itu.” Akan tetapi Allah menurunkan QS. At-Taubah: 113 atas peristiwa tersebut:[8]
ما كان للنبيّ والذين ءامنوا أن يستغفروا للمشركين ولو كانوا أولي قربى من بعد ما تبيّن لهم أنهم أصحاب الجحيم
“tidaklah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabatya, sesudah jelas bagi mereka bahwasanya orang-orang musyrik itu adalahpenghuni neraka jahannam”. (QS. At-Taubah: 113)
Banyak perdebatan disini yaitu masalah iman atau tidaknya Abu Thalib ketika wafat. Yang mengatakan Abu Thalib kafir diantaranya dengan argumen bahwa kejadian kafirnya Abu Thalib Menjadi penyebab turunnya ayat QS. Al-Qoshosh: 56.
إنّك لا تهدي من أحببت..... إلخ
"Sesungguhnya kamu tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi"[9] Ada pula yang mengatakan bahwa ayat tersebut tidak berhubungan dengan peristiwa itu.[10]
Abu Lahab pernah membela Nabi setelah kematian Abu Thalib. Ia sempat menganiaya Abul Ghaitha-lah karena orang itu mencaci Rasulullah. Akibatnya orang-orang Quraisy memprotesnya dan menuntu agar melepaskan perlindungannya terhadap Rasulullah. Mereka mengutus Uqbah bin Abi Muith dan Abu Jahhal untuk meminta Abu Lahab Menanyakan kepada Rasulullah tentang keberadaan Abu Thalib setalah mati. Ketika hal itu di tanyakan, Rasulullah menjawab, “ia bersama kaumnya.”
Abu Thalib menemui kedua utusan tadi dan berkata bahwa Abu Thalib bersama kaumnya. Tidak puas dengan jawaban tersebut Abu Jahal menanyakan sendiri kepada Nabi. Rasul menjawab, “barang siapa meninggal dalam agama Abdul Muththalib maka ia masuk neraka.” Dengan marah Abu Jahal mengatakan “Demi tuhan, berarti engkau telah menganggapnya sebagai musuh dan menganggap Abdul Muththalib berada di neraka.” Sejak itu Abu Lahab maupun kafir Quraisy makin kejam memperlakukan Rasulullah.[11]
Namun tidak diragukan lagi atas jasa-jasa paman beliau terhadap dakwahnya. Dalam Shahih al-Bukhari dari Abbas bin Abdul Muththalib, dia bertanya kepada Nabi saw. Apa balasan yang engkau berikan untuk pamanmu? Sesungguhnya ia telah melindungimu dan berkorban untukmu? Beliau bersabda “dia berada dineraka yang paling ringan, andai kata bukan karenaku, niscaya dia akan berada di neraka paling bawah.[12]
Dan yang tidak kalah pentingnya bagi kita pengkaji sejarah adalah mengetahui ibrah atau mengambil pelajaran mengapa Allah mewafatkan Abu Thalib yang sangat gigih membela dakwah Nabi Muhammad saw. Diantara ibrah itu adalah agar tidak ada anggapan bahwa jayanya islam adalah satu-satunya karena jasa pamannya itu. Dia diwafatkan agar terbukti gamblang peranan mutlak Allah, bahwa:
وما النّصر إلاّ من عند الله العزيز الحكيم
“kemenangan tidak lain hanyalah bersumber dari Allah semata-mata, yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana”. (QS. Ali Imran: 126)[13]
B.     Kewafatan Khadijah Istri Setia

Khadijah ra. Wafat sebelum luka hati pulih akibat wafatnya Abu Thalib paman tercinta, yakni hanya tiga hari setelah kewafatan Abu Thalib. Khadijah Wafat setelah mengisi hati dan fikiran Nabi dengan Sakinah, Mawaddah dan Rahmah. Bahkan beliaulah satu-satunya orang yang meng-imani kenabian saat orang-orang mendustainya. Dialah wanita yang pertama kali dinikahi nabi Muhammad dan tidak pernah di madu selama hidupnya.[14]
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Khadijah wafat tiga bulan setelah wafatnya Abu Thalib. Tepatnya bulan Ramadhan tahun sepuluh kenabian dalam usia 65 tahun sedang Rasul dalam usia 50 tahun. Khadijah adalah nikmat yang paling agung selama seperempat abad hidup bersama Nabi. Beliau selalu menghibur Nabi dikala cemas, memberi dorongan di saat paling kritis, menyokong penyampaian risalahnya, mendampingi beliau dalam rintangan jihad yang amat pahit dan selalu membela beliau baik dengan jiwa maupun hartanya.[15]
Dalam mengenang jasa-jasa Khadijah Rasulullah sering bertutur, “Dia telah beriman kepadaku saat manusia kufur kepadaku, dia membenarkanku disaat manusia mendustakanku, dia berikan kepadaku hartanya disaat manusia tidak mau memberikannya kepadaku, Allah mengaruniaiku anak darinya sementara Dia tidak menganugerahiku dari istri yang lain.[16]
Kepergian dua tokoh itu membuat orang Quraisy semakin lancang menyakiti Nabi. Ibnu Ishaq berkata seperti yang di kutp Syaikh Shofiyyurrahman. ketika Abu Thalib wafat, kaum Quriasy menyiksa Rasulullah dengan siksaan yang semasa Abu Thalib masih hidup mereka tidak berani melakukannya. Lebih dari itu, salah seorang begundal Quraisy menghalangi jalan beliau, lalu menaburi kepala beliau dengan debu. Tatkala beliau masuk kerumah dalam keadaan demkian, salah seorang putrinya menyongsongnya dan membersihan debu tersebut dengan menangis. Beliau berkata kepadanya, “Jangan menangis wahai putriku! Sesungguhnya hanya Allah yang akan menolong ayahmu”.[17]
Pasca mangkatnya Abu Thalib dan Khadijah cobaan yang di hadapi oleh kaum islam semakin sulit, pernah juga Abu Bakar hampir hijrah ke Abbyssinia. Namun sebelum sapai di laut merah, ia bertemu dengan Ibnu ad-Dughunnah, yang saat itu mengepalai kelompok kecil dari suku-suku yang bersatu dekat makkah, sekutu Quraisy. Kepala suku ini mengenal Abu Bakar saat masih jaya dan berpengaruh. Namun kini nampak berbeda. Terkejut akan hal itu Ibnu ad-Dughunah menanyakannya. “Aku diperlakukan buruk oleh kaumku.” Jawab Abu Bakar “kini aku hanya ingin berkelana dimuka bumi ini untuk menyembah Allah swt.” Kembalilah! Engkau dalam perlindunganku. Maka ia membawa Abu Bakar ke makkah dan berseru kepada masyarrakat bahwa “wahai penduduk Quraisy, aku memberi perlindungan kepada anak Abu Quhafah ini.” Perlindungan itu di akui orang Quraisy dan Abu Bakar dijamin aman. Tetapi Bani Jumah berkata kepada pelindung Abu Bakar agar menyembah Tuhannya di dalam ruangan saja. Dan ketika hal ini disampaikan, Abu Bakar pun menyepakatinya.[18]
Demikianlah cobaan demi cobaan yang datang silih berganti di tahun yang sama. Itulah sebabnya para ahli sejarah menyebut tahun itu dengan tahun “duka cita” (Am al-Huzni) sekalipun begitu tidak ada riwayat yang mengatakan bahwa rasul menyebut tahun itu dengan tahun duka cita.[19]
C.    Dakwah Ke Tha’if

Nabi Muhammad sangat meneladani nabi-nabi sebelumnya dalam berdakah menyebarkan agama Allah swt. Inilah nabi Nuh dalam masa yang lama dia menjalankan tugas dakwahnya. Allah berfirman, “Dan sesungguhnya kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal bersama mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun.” (QS. Al-Angkabut: 14) dalam ayat lain Allah juga berfirman. QS. Nuh 1-9. Yang menceritakan tentang lika-liku dakwahnya nabi Nuh as. Dalam berdakwah Nabi melakukan berbagai metode, beliaupun melakukan dakwah secara sembunyi-sembunyi juga dakwah secara terang-terangan, mendakwahi kelompok juga kala sendiri, dalam perjalanan dan saat tidak sedang dalam perjalanan. Beliau juga menyampaikan dakwahnya dengan alur cerita, perumpamaan dan beliau juga mendoakan kaumnya.[20] Seperti itulah gambaran kesabaran nabi dalam berdakwah.
Setelah kehilangan paman tercinta dan pelindung yang kuat, Rasulullah pergi ke Thaif untuk mencari perlindungan dan dukungan dari kaum Tsaqif dalam menghadapi kaumnya dan membantunya dalam menyampaikan dakwahnya. Beliau pergi ke Thaif dengan harapan agar penduduk Thaif mau menerima Beliau dan dakwah beliau yang dibawanya dari Allah swt.[21]
Thaif terletak sekitar 75 mil darr makkah. Ia merupakan kota subur dengan udara yang sejuk, serta tersedianya air yang cukup. Ia menjadi tempat peristirahatan dari dulu hingga kini. Tokoh-tokoh yang memimpin Quraisy pun mempunyai “istana-istana” yang mereka jadikan tempat bermukim khususnya dimusim panas makkah yang sangat menyengat. Tempat itu juga menjadi tempat pengolahan kurma dan anggur untuk dijadikan minuman keras, disamping penyamakan kulit dan membuat wewangian.[22]
Beliau dan datang ke Thaif dengan berjalan kaki didampingi anak angkat beliau Zaid bin Haritsah. Setiap melewati kabilah, beliau mengajak mereka untuk memeluk agama islam namun tidak satu kabilahpun yang meresponnya. Setibanya di Thaif Beliau mendatangi tiga orang bersaudara yang merupakan pembesar kaum Thaif. Mereka masing-masing bernama Abd Yala’il, Mas’ud dan Habib. Ketiganya adalah putra dari Amr bin Umair ats-Tsaqafi. Beliau berduduk dan mendakwahi mereka mengajak kepada Allah dan memeluk agama islam.[23]
Salah seorang dari mereka segera berkata, “Jika tuhan mengutusmu, aku akan meruntuhkan ka’bah!” yang lain mengejek, “apakah tuhan tidak menemukan oran selainmu untuk menjadi rasul-Nya?” sementara yang ketiga berkata, “kami tidak ingin berbicara denganmu! Karena, seandainya engkau utusan Tuhan seperti yang engkau katakan, makaengkau terlalu mulia bagiku; dan seandainya engkau berbohong, tidaklah bagiku berbicara kepadamu”.[24]
Sebelum Rasul beranjak meninggalkan ketiganya, beliau meminta ketiganya merahasiakan apa yang terjadi antara mereka agar tidak tersebar ke seluruh penduduk Thaif. Tetapi mereka justru menghasut budak-budak mereka agar mengolok-olok dan meneriakkan cacimaki hingga orang pun berbondong-bondong melihat apa yang terjadi.[25] Rasulullah lari menyelamatkan diri dan akhirnya bersembunyi di sebuah kebun milik Uthbah bin Rabi’ah dan Syaibah bin Rabi’ah. Beliau berteduh di bawah kebun anggur tersebut.[26]
Diriwayatkan juga bahwa disana Nabi saw.melihat perempuan dari Quraisy, istri salah seoarang ketiga tokoh itu. Namun Nabi tidak melampiaskan kemarahannya, tetapi sekedar menyatakan kekecewaannya. Lalu dalam keadaan fisik dan hati terluka Beliau mengadu kepada Allah dengan doa yang sangat menyentuh:
Ya Allah, kepadamu aku mengadukan kelemahan kemampuanku, serta minimnya upayaku dan kehinaanku di hadapan manusia. Wahai Tuhan yang Maha Pengasih diatas seluruh pengasih. Engkaulah pemelihara kaum yang lemah, Engkau Tuhan pemeliharaku, kepada siapa engkau menyerahkan daku? (Apakah) kepada yang jauh yang bermuka kusut terhadapku atau kepada musuh yang kau beri kekuasaan atas urusanku? Tetapi selama Engkau tidak marah kepadaku aku tidak peduli, hanya saja perlindungan-Mu lebih lapang bagiku. Aku berlindung dengan cahaya wajah-Mu yang menerangisemua kegelapan, Dan menjadi baik dengannya urusan dunia dan akhirat. Kiranya tidak jatuh atasku amarah-Mu, tidak juga menimpa diriku murka-Mu. Engkau wajar mengecam sampai Engkau ridha. Tiada daya dan upaya kecuali dengan Allah.[27]
Melihat yang yang mengenaskan itu Uthbah dan Syaibah bin Rabi’ah tergerak kasihan hingga mereka memanggil budaknya yang bernama Addas untuk mengantarkan setangkai anggur kepada Rasulullah. Tatkala dia menaruhnya Rasulullah mengambilnya seraya berkata “Bismillah” lalu memakannya. Addas berkata sesungguhnya kalimat itu tidak biasa di uacapkan penduduk sini. Lalu Rasulullah menanyakan tentang asal dan agamanya. “aku penduduk nisawa dan beragama Nashrani” jawab budak tersebut. Rasulullah berkata, “dari negeri seorang pria shalih bernama Yunus bin Matta? Apakah kamu kenal Yunus bin Matta? “Dia seorang nabi, begitu pula aku” lalu budak tersebut merengkuh kepala nabi dan menyatakan keimanannya. ,elihat hal itu sang tuan pun kaget.[28]
Meskipun mendapatkan respon yang begitu sadis, ternyata kasih sayang beliau tetap beliau tunjukkan. Di riwayatkan dari A’isyah sesungguhnya ia bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, pernahkah engkau mengalami peristiwa yang lebih berat dari peristiwa uhud?” Nabi menjawab, “Aku telah mengalami berbagai penganiayaan dari kaumku, tetapi penganiayaan yang terberat yang pernah aku rasakan ialah pada hari Aqobah dimana aku datang dan berdakwah kepada Ibnu Abdi Yala’il bin Abdi Kulal, tetapi mereka tidak merespon ajakanku. Maka akupun pergi dengan kegundahan diwajahku, lalu aku tersentak dan tersadar ketika sampai di Qorn Ats-Tsa’alib. Lalu aku angkat kepalaku, dan aku pandang dan tiba-tiba muncul Jibril memanggilku seraya berkata, “sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan dan jawaban kaummu terhadapmu, dan Allah telah mengutus malaikat penjagagunung untuk engkau perintahkan sesukamu,” Nabi melanjutkan. Kemudian malaikat penjaga gunung memanggilku dan mengucapkan salam kepadaku lalu berkata, “Wahai Muhammad sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan kaummu terhadapmu. Aku adalah malaikat penjaga gunung, dan Rabb-Mu telah mengutusku kepadamu untuk engkau perintahkan sesukamu, jika engkau suka, aku bisa membalikkan gunung Akhsyabin ini keatas mereka.” Nabi menjawab, “Bahkan aku menginginkan semoga Allah berkenan mengeluarkan dari anak keturunan mereka generasi yang menyembah Allah semata yang tidak menyekutukannya dengan sesuatu apapun.[29]
D.    Kembali Dari Thaif Ke Makkah

Dalam perjalanan pulang dari Thaif ke Makkah, ketika tiba disuatu tempat bernama Nakhlah beliau berhenti untuk shalat. Ketia itu ada sekelompok jin yang mendengar Nabi membaca ayat-ayat Al-Qur’an. Mereka juga takjub dan kembali kepada kaumnya menyampaikan apa yang mereka dengar. Ini di isyaratkan oleh QS. Al-Ahqaf: 29.
Mereka adalah jin yang berasal ari daerah Nashibin dan berjumlah tujuh jin. Mereka mengemban risalah Allah untuk disampaikankepada kaumnya. Kisah mereka juga ada dalam surat Jin yang banyak menjelaskan tentang mereka.[30]
Zaid merasa Khawatir kembali ke Makkah: “bagaimana mungkin kita kembali, padahal mereka mengusir kita?” kata Zaid. Tetapi Beliau bertekad untuk kembali dan beliau bersabda: “Hai Zaid! Allah yang memberi kelapangan dan jalan keluar. Sungguh Allah akan mendukung agama-Nya dan Memenangkan Nabi-Nya.”[31]
Sesampainya di perbatasan Makkah, Rasulullah mengirimkan surat kepada Akhnas bin Syariq untuk meminta perlindungan, namun ternyata Akhnas tidak mau memberian perlindungan kepadanya. Dengan alasan bahwa dia bersekutu dengan kaum Quraisy, sehingga tidak dapat memberikan perlindungan kepada Beliau. Maka Rasulullah mengirim surat kepada Suhail bin Amru, namun Suhail juga menolak untuk memberi perlindungan. Ia beralasan bahwa Bani Amru tida boleh memberikan perlindungan kepada Bani Ka’ab. Akhirnya Rasulullah minta perlindungan kepada Muth’im ibnu Adi. Ternyata ia menyanggupinya, bahkan mengarahkan seluruh anak dan kerabatnya untuk bersama-sama melindungi Rasulullah.[32]
Dia kemudian mengutus seseorang untuk memberitahu Rasulullah agar memasuki kota Makkah, lalu beliau pun memasukinya bersama Zaidbin Haritsah hingga sampai ke Masjidil Haram. Disana AL-Muth’im bin Adi sedang berada di atas tunggangannya berseru. “wahai kaum Quraisy! Sesungguhnya aku telah memberikan perlindungan kepada Muhammad, maka janganlah ada seorangpun diantara kalian yang mengejeknya.”
Ada riwayat yang menyebutkan bahwa Abu Jahal waktu itu menanyai Muth’im, “Engkau pemberi perlindungan atau seorang pengikut?” Dia menjawab, “tidak, aku hanya pemberi perlindungan.” “Kalau begitu, kami memberi perlindungan kepada orang yang engkau beri perlindungan”. Jawab Abu Jahal.[33]
Muth’im juga adalah salah satu pelopor dari pembatalan pemboikotan. Apa yang dilakukan oleh Muth’im[34] di ingat oleh Rasulullah. Sampai-sampai ketika usai perang badar dan sekian banyak tokoh musyrik tertawan, Nabi bersabda: “Seandainya Muth’im masih hidup dan membicarakan nasib tawanan itu, niscaya akan aku serahkan kepadanya.[35]
E.     Peristiwa Menakjubkan “Isra’ Mi’raj”

Isra’ adalah perjalanan Nabi satu malam dari masjid al-Haram di Makkah ke masjid al-Aqsha di palestina. Sedangkan Mi’raj adalah perjalanan Beliau dari masjid al-Aqsha menuju ke Sidhrah al-Mutaha, satu tempat yang tidak terjangkau hakikatnya oleh akal manusia. Pada kesempatan tersebut Rasulullah “bertatap muka” langsung dengan Allah.[36]
Cerita Al-Qur’an mengenai Isra’ terdapat dalam QS. Al-Isra’: 1. Dan tentang Mi’raj diceritakan dalam QS. An-Najm. Hikmah mengenai peristiwa Isra’ ini diceritakan melalui ayat: “Agar kami mempelihatkan ayat-ayat kebesaran kami,” dan peristiwa Mi’raj melalui ayat: “Sesungguhnya dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kekuasaan) tuhannya yang paling besar.”[37]
Banyak yang berkata bahwa Isra’ Mi’raj terjadi berurutan waktu. Isra’ dan Mi’raj terjadi sebelum hijrah, tetapi mereka diperselisihkan tahun dan tanggal kejadiannya. Yang populer dan terkuat adalah tanggal 27 Rajab tahun ke-sepuluh kenabian.[38]
Rasulullah di-Isra’-kan (diperjalankan) Allah dari rumah Ummu Hani’. Dari situ Beliau diajak keluar menuju Masjid al-Haram dan sampai di tempat antara Hijr Ismail dan Hathim. Disana terlebih dahulu di lakukan pembedahan dada beliau hati beliau di keluarkan dan di cuci bersih dengan air zam-zam. Setelah itu hati beliau di kembalikan seperti semula.[39]
Hendaknya di ingat bahwa cerita mengenai Isra’ Mi’raj terdapat riwayat yang beraneka ragam bercampur baur antara shahih dan tidak shahih. Menyangkut Isra’ imam Bukhari meriwayatkan bahwa Nabi bersabda:
لمّا كذّبني قريش قمت في الحجر, فجلا الله لي بيت المقدس فطفقت أخبرهم عن أيته وأنا أنظر إليه

Ketika aku di dustakan oleh masyarakat Quraisy aku berdiri didepan Hijr (Ka’bah), lalu Allah menampakkan kepadaku Bait al-Maqdis, maka aku menyampaikan kepada mereka (keadaanya) sebagaimana kulihat.
Menyangkut Isra’ dan Mi’raj Bukhari dan Muslim meriwayatkan sebagaimana dikutip Quraish Shihab dalam Sirahnya bahwa:
a.       Sebelum berangkat nabi saw. Di bedah dan di cuci hati beliau agar dipenuhi dengan iman.
b.      Disiapkan untuk perjalanan beliau satu kendaraan yang lebih kecil daripada kuda dan ebih besar daripada bighal yang dinamai buraq. Yang kecepatannya sejauh mata memandang.
c.       Beliau di antar oleh Malaikat Jibril dengan kendaraan itu dari langit pertama hingga langit ketujuh. Disetiap langit beliau bertemu dengan Nabi/utusan Allah, bermula dari Adam as, lalu Yahya dan Isa as, lalu dilangit ke-tiga Nabi Yusuf as, dan dilangit ke-empat Nabi Idris as, dilangit ke-lima Nabi Harun, di langit ke-enam Nabi Musa as, dan dilangit ke-tujuh Nabi Ibrahim as. Dari sana Beliau di antar malaika Jibril ke as-Sidhrah al-Muntaha. Disana terdapat empat sungai, dua diantaranya adala sungai Nil dan sungai Eufrat dan dua lainnya adalah sungai surgawi, lalu beliau menuju bayt al-Ma’mur. Setelah itu, masih menurut Nabi Muhammad: “Aku diberi tiga gelas berisi Khamr (Minuman keras), susu dan madu. Maka kupilih susu.” Jibril menyatakan: “inilah Fithrah yang diwajibkan kepadamu dan ummatmu.” Lalu diwajibkan kepadaku shalat lima puluh waktu dalam sehari semalam. Dalam perjalanan pulang, beliau bertemu lagi dengan Nabi Musa as. Yang bertanya tentang apa yang Nabi peroleh. Ketika Nabi menyampaikan bahwa ada kewajiban shalat lima puluh waktu dalam sehari semalam, Nabi Musa as meminta agar Nabi Muhammad saw meminta keringanan. Beliaupun kembali dan diringankan lima kali, tetapi ketika bertemu lagi dengan Nabi Musa as, di minta agar meminta keringanan kembali. Demikianlah, diringankan lagi lima kali. Berulang-ulang Nabi Muhammad bertemu dengan Nabi Musa dan berulang-ulang pula Nabi Musa meminta agar Nabi meminta keringanan hingga menjadi lima waktu dan itupun masih di minta untuk meminta keringanan kembali. Tetapi beliau berkata: “Aku telah meminta berkali-kali kepada Allah dan aku malu. Aku rela dan menerima itu.” Ketika aku dalam perjalanan pulang kudengar suara menyatakan: “Telah Kutetapkan kewajiban yang Kubebankan dan telah Kuringankan buat hamba-hamba-Ku.”[40]
Berkat perjalanan itu, semua kesedihan dan kegundahan hati beliau sirna. Beliau kembali tenang dengan penuh percaya diri. Inilah perjalanan yang penuh berkah ke Malakut al-A’la tersebut. Dengan perjalanan ini beliau melihat sendiri apa yang telah di kabarkan oleh Allah kepada beliau. Beliau menerima wahyu lansung langsung dari Tuhannya.
Setibanya di masjid al-Haram beliau duduk disana tanpa menyadari sikap dan tanggapan orang Quraisy terhadap peristiwa ini. Beliau tetap duduk disana hingga Abu Jahal lewat di sisi Beliau dan bertanya sambil mengolok-olok, “Apakah Engkau mendapatt sesuatu malam ini?” Rasul menjawab, “ya, aku di isra’ kan ke Bayt al-Muqaddas malam ini.” Abu Jahal memotong, “dan engkau telah tiba di depan kita saat ini?” Nabi menjawab “ya.”
“Apa kaummu harus ku beritahu tentang ini?” beliau menjawab, “ya.” Ketika sudah berkumpul, kabar ini begitu besar implikasinya. Hingga ada yang murtad kembali setelah keimanan mereka. Lalu Abu Bakar pun di beritahu tentang ini oleh beberapa orang musyrikin. “temanmu mengaku telah di-Isra’-kan ke Bayt al-Muqaddas.” Beliau menjawab “Jika Beliau mengatakan demikian maka itu adalah benar.” Sejak itulah beliau mendapat gelar Abu Bakar as-Shiddiq.[41]
Beberapa Ibrah yang dapat kita ambil dari peristiwa Isra’ dan Mi’raj ini diantaranya adalah:
a.       Mukjizat bukanlah sesuatu yang bisa menjamin keimanan seseorang. Orang-orang kafir telah melihat bukti nyata tetapi mereka tidak beriman.[42]
b.      Hikmah dari kesabaran beliau berdakwah, -meski di siksa dimaki dan lain sebagainya- maka beliau mendapat hadiah dari Allah berupa peristiwa Isra’ dan Mi’raj tersebut atau dikenal dengan Tabsyir.[43]
c.       Jatuhnya pilihan Rasulullah pada minuman susu bukan Khamer saat Jibril menyampaikan pilihan tersebut adalah melambangkan bahwa agama islam adalah agama fithrah.[44]


3.      PENUTUP
A.    KESIMPULAN

1.      Salah satu hikmah kewafatan Abu Thalib adalah agar tidak ada anggapan bahwa tanpa Abu Thalib islam tidak akan jaya.
2.      Saat dakwah di suatu tempat telah mengalami ke-beku-an maka saat itu yang paling baik adalah mencoba untuk menawarkan dakwah ke luar daerah tersebut. Inilah yang di lakukan Nabi.
3.      Pilihan Rasulullah untuk mendakwahi tiga pemuka kaum Tsaqif adalah jika ketiganya beriman maka semua kaumnya akan berbondong-bondong ikut beriman, itulah Ijtihad Nabi.
4.      Dalam keadaan ketaatan yang sulit namun kita tetap sabar, maka disitulah Allah akan menurunkan Tabsyir-nya sebagaimana peristiwa Isra’ dan Mi’raj.
5.      Shalat adalah suatu ibadah yang sangat urgen, di lihat bahwa shakat adalah di berikan Allah langsung tanpa melalui perantara.


B.     PENUTUP

Demikian makalah ini kami susun. Penulis sadar betul bahwa keberadaan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dalam segi isi maupun penulisan. Dari sini penulis berharap adanya kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini dan penyusunan makalah-makalah berikutnya.



[1] M. Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW Dalam Sorotan Al-Qur’an Dan Hadist-Hadist Shahih, (Jakarta: Lentera Hati, 2011) hal. 419
[2] M. Quraish berpendapat wafatnya Abu Thalib di bulan Syawwal.
[3] Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarokfuri, Ar-Rakhiq Al-Makhtum, (Jakarta: CV. Mulia Sarana Press, 2001) terj. Hanif Yahya hal. 161
[4] M. Quraish Shihab, Membaca Sirah, hal. 422
[5] Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarokfuri, Ar-Rakhiq Al-Makhtum, hal. 161
[6] Muhammad Ali Ash-Shalabi, As-Sirah An-Nabawiyyah, Sejarah lengkap Rasulallah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2012) terj. Faesal Saleh hal. 219
[7] Martin Lings, Muhammad: His Life Based On the Earliest Source, Muhammad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik, (Jakarta: PT Srambi Ilmu Semesta, 2010) cet. IX terj. Qomaruddin hal. 148
[8] Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, My Beloved Prophet Teladan Sepanjang Zaman, (Jakarta: Qishti Press, 2007) hal. 160
[9] Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarokfuri, Ar-Rakhiq Al-Makhtum, hal. 162
[10] Lihat misalnya dalam Sirah yang ditulis prof. Quraish hal. 424
[11] Mahdi Rizqullah Ahmad, As-Sirah an-Nabawiyyah fi Dhau’i al-Mashdaril al-Ashliyyah, Biografi Rasulullah sebuah studi analisis berdasar sumber-sumber yang otentik. (Jakarta: Qishti Press, 2014) terj. Yessi HM Basyaruddin, hal. 270
[12] Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarokfuri, Ar-Rakhiq Al-Makhtum, hal. 162
[13] M. Quraish Shihab, Membaca Sirah, hal. 427
[14] M. Quraish Shihab, Membaca Sirah, hal. 428
[15] Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarokfuri, Ar-Rakhiq Al-Makhtum, hal. 163
[16] Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarokfuri, Ar-Rakhiq Al-Makhtum, hal. 163
[17] Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarokfuri, Ar-Rakhiq Al-Makhtum, hal. 164
[18] Martin Lings, Muhammad: His Life, hal. 150
[19] Lihat Mahdi Rizqullah Ahmad, As-Sirah, hal. 271; M. Quraish Shihab, Membaca Sirah, hal. 428; Muhammad Ali Ash-Shalabi, As-Sirah, hal. 220
[20] Muhammad Ali Ash-Shalabi, As-Sirah, hal. 221
[21] Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, My Beloved Prophet, hal. 161
[22] M. Quraish Shihab, Membaca Sirah, hal. 432
[23] Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarokfuri, Ar-Rakhiq Al-Makhtum, hal. 178
[24] Martin Lings, Muhammad: His Life, hal. 151
[25] Bahkan ada yang melemparinya dengan bebatuan hingga membuat Beliau terluka, kendati Zaid Bin Haritsah telah memasang badan untuk melindungi Nabi dari lemparan-lemparan para budak tersebut, bahkan Zaid pun menderita beberapa luka di kepalanya.
[26] Mahdi Rizqullah Ahmad, As-Sirah, hal. 273
[27] M. Quraish Shihab, Membaca Sirah, hal. 436
[28] Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarokfuri, Ar-Rakhiq Al-Makhtum, hal. 180
[29] Muhammad Ali Ash-Shalabi, As-Sirah, hal. 224
[30] Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, My Beloved Prophet, hal. 164
[31] M. Quraish Shihab, Membaca Sirah, hal. 439
[32] Mahdi Rizqullah Ahmad, As-Sirah, hal. 276
[33] Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarokfuri, Ar-Rakhiq Al-Makhtum, hal. 184
[34] Muth’im wafat beberapa waktu setelah Nabi hijrah ke madinah
[35] M. Quraish Shihab, Membaca Sirah, hal. 441
[36] M. Quraish Shihab, Membaca Sirah, hal. 443
[37] Muhammad Ali Ash-Shalabi, As-Sirah, hal. 232
[38] M. Quraish Shihab, Membaca Sirah, hal. 443
[39] Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, My Beloved Prophet, hal. 165
[40] M. Quraish Shihab, Membaca Sirah, hal. 446
[41] Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, My Beloved Prophet, hal. 168
[42] Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, My Beloved Prophet, hal. 169
[43] Muhammad Ali Ash-Shalabi, As-Sirah, hal. 236
[44] Mahdi Rizqullah Ahmad, As-Sirah, hal. 293