Kamis, 18 Juli 2019

“Ayahku Pahlawanku”


Hasil gambar untuk bayi lucu
Aku, Ahmad anak pertama dari tiga bersaudara sekarang. Konskuensi anak pertama biasanya lahir dalam kondisi keluarga yang belum mapan, baik secara finansial maupun yang selainnya. Sebelum kesana, aku dilahirkan dari keluarga sederhana tidak terlalu miskin meski tidak juga kaya. Menurut cerita yang aku dapat, aku dilahirkan dirumah mbah (kakek/nenek) dari jalur ibu. bukan di Rumah sakit (maklum dulu belum ada kewajiban melahirkan di RS) bukan pula dirumah sendiri. Kelahiran dirumah mbah untuk anak pertama di daerah Gembong Pati sangatlah wajar, bisa jadi karena rumah bapak ibuku belum layak atau bisa jadi karena kelahiran anak pertama bapak/ibu belum berpengalaman sehingga cari cara aman saja yaitu dirumah Mbah. Itu spekulasi aku kok, tapi kayaknya ada benarnya juga sih..hehe

Aku mendapatkan nama bagus “Ahmad Munthaha (أحمد منتهى)” lagi-lagi menurut cerita yang aku dapat. Hehe. Nama itu dari adiknya kakek, yang berarti kakek saya juga meski tidak secara langsung. Ada cerita menarik yang meliputi Ahmad kecil, Ahmad dilahirkan kira-kira di akhir bulan Sya’ban antara tanggal 25/26. Dia dilhirkan bersama pamannya, adik dari ibu.

Di masa-masa bayi, Ahmad setiap malam menangis terus hingga mencapai hitungan empat puluhan hari, hehe. Katanya ibu, nemenin tahajjud. Wkwk... karena saking jengkelnya mbah bercanda agar Ahmad kecil tinggal aja, “nanti juga kalau capek diam sendiri”. Dengan keadaan mele’an terus setiap malam itu membuat bapak ibu tidak tidur karena menemani Ahmad kecil bergadang. Hingga ada cerita saking capeknya bapak ibu hingga luput menjaga Ahmad kecil dan saat bangun ibu kaget karena Ahmad sudah tidak ada ditengah mereka tidur, setelah beberapa lama dicari ternyata di culik Mbahnya karena nangis dan bapak ibunya ketiduran. Hehehe lucu ya?

Sering juga bapak ibu kesiangan untuk sahur karena selalu menemani Ahmad kecil Nangis hingga hampir menjelang sahur, dalam posisi capek setelah menemani Ahmad, mereka tertidur dan sering kali kelupaan untuk sahur. Hehe kasian juga bapak ya,- puncaknya, karena sudah sangat lama nangis tiap malam, akhirnya Ahmad harus dibawa untuk mengahadap orang pintar “Wong Pinter”. Dari kunjungan tersebut bapak disarankan untuk mengganti namanya dari Ahmad Munthaha ke Nur Rahmat, disitulah saya melihat teguh pendiriannya bapak (tentu memperhatikannya setelah aku dewasa dong, masak ketika kanak-kanak). Bapak tetap mempertahankan nama Ahmad Munthaha dan tidak pernah menggantinya hingga saat ini. Thank’s for my dad n’ my mom.... love you....... to be continue Insya Allahh.... Al-Faatihah

Makna Pernikahan Dalam Al-Qur’an




Secara bahasa Nikah berasal dari kata na-ka-ha yang berarti indamma (bergabung) jama’a, wata’un ( Hubungan Kelamin) dan aqdun (perjanjian).[1]

Menurut Quraish Shihab, Al-Qur’an menggunakan kata النكاح untuk makna “nikah” dan “perkawinan”. Di samping secara majazi diartikannya dengan "hubungan seks". Kata ini dalam berbagai bentuknya ditemukan sebanyak 23 kali. Secara bahasa pada mulanya kata nikah digunakan dalam arti "berhimpun". Al-Qur’an juga menggunakan kata zawwaja dan kata zauwj yang berarti "pasangan" untuk makna di atas. Ini karena pernikahan menjadikan seseorang memiliki pasangan. Kata tersebut dalam berbagai bentuk dan maknanya terulang tidak kurang dari 80 kali.[2]

Dalam Al-Quran ada dua kata kunci yang menunjukkan konsep pernikahan, yaitu zawwaja dan kata derivasinya berjumlah lebih kurang dalam 20 ayat dan kata nakaha derivasinya sebanyak lebih kurang dalam 17 ayat.[3] .Yang dimaksud dengan nikah dalam konteks pembahasan ini adalah ikatan (aqad) perkawinan. Perlu pula dikemukakan bahwa Ibnu Jini pernah bertanya kepada Ali mengenai arti ucapan mereka nakaha al-mar’ah,  Dia menjawab : “orang-orang Arab menggunakan kata nakaha dalam konteks yang berbeda, sehingga maknanya dapat dipisahkan secara halus, agar tidak menyebabkan kesimpangsiuran. Kalau mereka mengatakan nakaha fulan fulanah, yang dimaksud adalah ia menjalin ikatan perkawinan dengan seorang wanita. Akan tetapi apabila mereka mengatakan nakaha imraatahu, yang mereka maksudkan tidak lain adalah persetubuhan.[4] Lebih jauh lagi al-Karkhi berkata bahwa yang dimaksud dengan nikah adalah ikatan perkawinan, bukan persetubuhan. Dengan demikian bahwa sama sekali tidak pernah disebutkan dalam Al-Quran kata nikah dengan arti wati’, karena Al-Quran menggunakan kinayah. Penggunaan kinayah tersebut termasuk gaya bahasa yang halus.[5]

Sedangkan menurut KBBI nikah berarti ikatan (akad) perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama. Dalam KBBI Harmonis bersangkut paut dengan (mengenai) harmoni; seia sekata dan keharmonisan berarti keserasian dan keselarasan.
Tujuan Utaman Pernikahan adalah kumpulnya. itulah sebabnya perintah nikah menggunakan kata Na-Ka-Ha. Maka menjalani hubungan setelah pernikahan dengan jarak jauh sangat rentan merenggangkan hubungan. Selain hanya karena permasalahan hubungan badan, lebih dari itu kecenderungan manusia dewasa adalah hidup berdampingan dengan lawan jenisnya, dalam hal ini istri.

Disisi lain banyak yang menggemborkan bahkan memperbolehkan pernikahan sejenis, Pernikahan sejenis ini tentunya dipatahkan oleh Al-Qur’an kata : Za-Wa-Ja. Za-Wa-Ja artinya berpasangan dan sejenis tentu bukan berpasangan. Pernikahan sejenis selain ke Mudharatannya untuk dirinya sendiri, itu juga akan berdampak terhadap lingkungannya. Rujuklah ke kisah kaum Nabi Luth.

Secara umum Al-Qur’an hanya menggunakan dua kata ini untuk menggambarkan terjalinnya hubungan suami istri secara sah. Memang ada juga kata wahabat (yang berarti "memberi") digunakan oleh Al-Qur’an untuk melukiskan kedatangan seorang wanita kepada Nabi saw. dan menyerahkan dirinya untuk dijadikan istri. Tetapi agaknya kata ini hanya berlaku bagi Nabi saw. Sebagaimana firman Allah swt. dalam QS Al-Ahzab/33: 50.

            Artinya: “Dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada nabi kalau nabi ingin menikahinya, sebagai kekhususan bagimu[6]

“Hanya Khusus bagimu, bukan untuk semua orang mukmin”. Merupakan penegasan bahwa hal tersebut khusus untuk nabi Muhammad Saw. Bahkan, melakukan akad nikah dengan menggunakan kata “Hibah” pun tidak didenarkan oleh ulama’-ulama’ kecuali ulama bermadzhab Abu Hanifah, tetapi apabila perempuan menawarkan diri agar dinikahi, bukanlah hal yang terlarang asalkan Syarat dan Rukun terpenuhi.[7]


[1] Al-Ahsfahani, Mufradat Fi Gharib Al-Qur’an, (ttp) Juz II, Hal. 653
[2] M. Quraish Shihab, Wawasan Al- Qur’anTafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Cet. XII; Bandung: Mizan, 2001), h. 191
[3] Fuad Abdul Baqi, Mu’jam Mufahras  1987, hal 332 dan 718
[4]  al-Fakhr al- Razi.Tanpa Tahun. Al-Tafsir al-Kabir. Teheran :Dar al-Kutub alIlmiyat.
[5] Muhammad Ali as-.Sabuni. Rawai’ al Bayan :Tafsir Ayat al-Ahkam min Alquran. Kuwait : Dar Alquran al-Karim. 1972 Hal 258
[6] Al-Qur’an dan Terjemah, Mushaf Fami Bisyauqin. Forum Pelayanan Ummat, Cet ke 5, Hal. 424
[7] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati 2009) Volume. 10 Hal. 515