1.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Belajar sejarah merupakan hal yangsangat penting, salah
satunya untuk menghargai pelaku sejarah tersebut dan juga untuk kita mengetahui
sampainya ajaran islam ke kita adalah penuh perjuangan tidak semudah
membalikkan telapak tangan.
Setelah kita ketahui sejarah tersebut kita dapat
mengambil beberapa ibrah yang dapat kia terapkan dalam kehidupan sehari-hari,
dalam makalah ini penulis akan menyajikan Sirah Nabawiyyah dengan judul “Tahun
Duka Cita (Amul Huzni) dan Peristiwa Isra Mi’raj”
Penyusun
Ahmad Munthaha
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka penulis ingin
merumuskan masalah dalam penulisan makalah ini, selain agar penulisan lebih
fokus pada pembahasan juga supaya tidak menyulitkan penulis dalam pencarian referensi. Adapun rumusan masalah dari
penulisan makalah ini adalah:
a.
Kewafatan
Abu Thalib Paman Tercinta
b.
Kewafatan
Khadijah Istri Setia
c.
Dakwah
Ke Thaif
d.
Kembali
Dari Thaif ke Makkah
e.
Peristiwa
Menakjubkan “Isra’ Mi’raj”
2.
PEMBAHASAN
A.
Kewafatan Abu Thalib Paman Tercinta
Akibat pemboikotan dan blokade yang di lakukan kaum Quraisy terhadapa
Bani Hasyim dan Bani Muththalib berdampak banyak, bukan hanya terhadap
kesehatan mereka yang di boikot, lebih-lebih yang berusia lanjut, tetapi juga berpengaruh
pada dakwah Islamiyyah. Abu Thalib dan Khadijah ra. Yang mendampingi Nabi Muhamad
saw. Dan membela beliau sekuat tenaga dan pikiran adalah dua orang dari
beberapa orang yang wafat pasca peristiwa pemboikotan itu. Pemboikotan tersebut
tidak seluruhnya berdapak negatif. Ia telah membuka mata masyarakat secara umum
bahwa ada ajaran baru yang mengajak kepada keluhuran budi pekerti, yang
penganut-penganutnya bersedia berkoban demi mempertahankan agamanya.[1]
Sakit yang dialami Abu Thalib semakin parah, hingga berujung
kewafatannya pada bulan rajab tahun ke-sepuluh kenabian[2].
ada pula riwayat yang menunjukkan bahwa wafatnya Abu Thalib adalah tiga hari
sebelum wafatnya Khadijah ra.[3]
Quraish Shihab menjelaskan bahwa saat Abu Thalib dalm keadaan sakit
keras, berkumpullah tokoh-tokoh Quraisy –sekitar 25 orang- membicarakan apa
yang akan terjadi bila Abu Thalib wafat. Mereka khawatir jangan sampai kekuatan
umat islam semakin besar sehingga mereka kehilangan segalanya. Kekhawatiran
mereka juga mengenai kecaman bahwa Abu Thalib wafat karena akibat pemboikotan
yang dilakukan oleh mereka. Mereka datang dalam rangka menawarkan kompromi
kepada Abu Thalib dan hidup berdampingan. “Ambillah dari kami, wahai Abu Thalib
buat Muhammad dan Ambilkan juga dari Muhammad buat kami, sehingga kami tidak
diganggunya dan kami pun tidak mengganggunya,” demikian usul mereka.
Hal itu disampaikan kepada Nabi Muhammad. Nabi menjawab: “Aku
ingin mereka mengucapkan satu kalimat yang dampaknya buat mereka adalah seluruh
masyarakat arab akan tunduk kepada mereka.....” “Apakah kalimat itu?” tanya
Abu Jahal yang ikut delegasi tokoh-tokoh Makkah itu. “Bahkan sepuluh kalimat
kami akan memberinya” tambahnya lagi, Nabi menjawab “Berucaplah Laa ilaaha
illallaah, sambil meninggalkan apa yang kalian sembah” mendengar jawaban
ini mereka menggeleng-gelengkan kepala. Sambil berlalu mereka menyimpulkan
bahwa Muhammad tidak akan beranjak dari pendiriannya. Inilah akhir pertemuan
delegasi Kafir Quraisy yang melatar belakangi turunnya QS. Shaad 1-8.[4]
Dalam shahih al-Bukhari dari (Sa’id) bin al-Musayyib disebutkan
bahwa ketika Abu Thalib dalam keadaan sekarat, Nabi mengunjunginya sementara di
waktu yang sama di sisinya sudah berada Abu Jahal. Beliau bertutur kepada
pamannya, “wahai pamanku, ucapkanklah Laa ilaaha illallah, kalimat yang akan
aku jadikan hujjah untuk membelamu kelak di hadapan allah.” Namun Abu Jahal
dan Abdullah bin Abi Umayyah memotong, “wahai Abu Thalib! Sudah bencikah engkau
terhadap agama Abdul Muththalib?”[5]
Dalam sejarah lain disebutkan Abu Thalib mengatakan “Andaikan masyarakat
Quraisy tidak akan merendahkanku jika aku mengucapkan kalimat itu, aku tahu
mereka akan mengatakan, “Abu Thalib mengucapkannya karena ketakutan”, maka aku
akan membuatmu senang dengan mengucapkan kalimat itu.” Maka Allah berfirman:
QS. Al-Qashash: 56.[6]
Menurut sejarah yang di tuturkan oleh Marting Lings seorang
orientalis yang kemudian setelah masuk islam dikenal dengan nama Abu Bakar
Sirajuddin bahwa ketika ajal Abu Thalib mendekat Abbas melihat dia menggerakan bibirnya.
Ia mendekatkan telinganya ke Abu Thalib dan mendengarkannya. Lalu ia berkata
“saudaraku telah mengucapkan kalimat yang kau minta agar mengucapkannya.” Tapi
Nabi berkata, “Aku tidak mendengarnya.”[7]
Akhirnya Abu Thalib menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Rasulullah sangat berduka karenanya. Beliau berkata, “Aku akan memohonkan
ampun untukmu selama aku tidak dilarang untuk itu.” Akan tetapi Allah
menurunkan QS. At-Taubah: 113 atas peristiwa tersebut:[8]
ما كان للنبيّ والذين ءامنوا أن يستغفروا للمشركين ولو كانوا أولي قربى
من بعد ما تبيّن لهم أنهم أصحاب الجحيم
“tidaklah sepatutnya bagi Nabi dan
orang-orang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik,
walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabatya, sesudah jelas bagi
mereka bahwasanya orang-orang musyrik itu adalahpenghuni neraka jahannam”. (QS. At-Taubah: 113)
Banyak perdebatan disini yaitu masalah iman atau tidaknya Abu
Thalib ketika wafat. Yang mengatakan Abu Thalib kafir diantaranya dengan
argumen bahwa kejadian kafirnya Abu Thalib Menjadi penyebab turunnya ayat QS.
Al-Qoshosh: 56.
إنّك لا تهدي من
أحببت..... إلخ
"Sesungguhnya
kamu tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi"[9] Ada
pula yang mengatakan bahwa ayat tersebut tidak berhubungan dengan peristiwa itu.[10]
Abu Lahab pernah membela Nabi setelah kematian Abu Thalib. Ia
sempat menganiaya Abul Ghaitha-lah karena orang itu mencaci Rasulullah.
Akibatnya orang-orang Quraisy memprotesnya dan menuntu agar melepaskan
perlindungannya terhadap Rasulullah. Mereka mengutus Uqbah bin Abi Muith dan
Abu Jahhal untuk meminta Abu Lahab Menanyakan kepada Rasulullah tentang
keberadaan Abu Thalib setalah mati. Ketika hal itu di tanyakan, Rasulullah
menjawab, “ia bersama kaumnya.”
Abu Thalib menemui kedua utusan tadi dan berkata bahwa Abu Thalib
bersama kaumnya. Tidak puas dengan jawaban tersebut Abu Jahal menanyakan
sendiri kepada Nabi. Rasul menjawab, “barang siapa meninggal dalam agama Abdul
Muththalib maka ia masuk neraka.” Dengan marah Abu Jahal mengatakan “Demi
tuhan, berarti engkau telah menganggapnya sebagai musuh dan menganggap Abdul
Muththalib berada di neraka.” Sejak itu Abu Lahab maupun kafir Quraisy makin
kejam memperlakukan Rasulullah.[11]
Namun tidak diragukan lagi atas jasa-jasa paman beliau terhadap
dakwahnya. Dalam Shahih al-Bukhari dari Abbas bin Abdul Muththalib, dia
bertanya kepada Nabi saw. Apa balasan yang engkau berikan untuk pamanmu?
Sesungguhnya ia telah melindungimu dan berkorban untukmu? Beliau bersabda “dia
berada dineraka yang paling ringan, andai kata bukan karenaku, niscaya dia akan
berada di neraka paling bawah.”[12]
Dan yang tidak kalah pentingnya bagi kita pengkaji sejarah adalah
mengetahui ibrah atau mengambil pelajaran mengapa Allah mewafatkan Abu Thalib
yang sangat gigih membela dakwah Nabi Muhammad saw. Diantara ibrah itu adalah
agar tidak ada anggapan bahwa jayanya islam adalah satu-satunya karena jasa
pamannya itu. Dia diwafatkan agar terbukti gamblang peranan mutlak Allah,
bahwa:
وما النّصر إلاّ من عند الله العزيز الحكيم
“kemenangan tidak lain hanyalah bersumber dari Allah
semata-mata, yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana”. (QS. Ali Imran: 126)[13]
B.
Kewafatan Khadijah Istri Setia
Khadijah ra. Wafat sebelum luka hati pulih akibat wafatnya Abu
Thalib paman tercinta, yakni hanya tiga hari setelah kewafatan Abu Thalib.
Khadijah Wafat setelah mengisi hati dan fikiran Nabi dengan Sakinah, Mawaddah
dan Rahmah. Bahkan beliaulah satu-satunya orang yang meng-imani kenabian saat
orang-orang mendustainya. Dialah wanita yang pertama kali dinikahi nabi
Muhammad dan tidak pernah di madu selama hidupnya.[14]
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Khadijah wafat tiga bulan
setelah wafatnya Abu Thalib. Tepatnya bulan Ramadhan tahun sepuluh kenabian
dalam usia 65 tahun sedang Rasul dalam usia 50 tahun. Khadijah adalah nikmat
yang paling agung selama seperempat abad hidup bersama Nabi. Beliau selalu
menghibur Nabi dikala cemas, memberi dorongan di saat paling kritis, menyokong
penyampaian risalahnya, mendampingi beliau dalam rintangan jihad yang amat
pahit dan selalu membela beliau baik dengan jiwa maupun hartanya.[15]
Dalam mengenang jasa-jasa Khadijah Rasulullah sering bertutur, “Dia
telah beriman kepadaku saat manusia kufur kepadaku, dia membenarkanku disaat
manusia mendustakanku, dia berikan kepadaku hartanya disaat manusia tidak mau
memberikannya kepadaku, Allah mengaruniaiku anak darinya sementara Dia tidak
menganugerahiku dari istri yang lain.”[16]
Kepergian dua tokoh itu membuat orang Quraisy semakin lancang
menyakiti Nabi. Ibnu Ishaq berkata seperti yang di kutp Syaikh Shofiyyurrahman.
ketika Abu Thalib wafat, kaum Quriasy menyiksa Rasulullah dengan siksaan yang
semasa Abu Thalib masih hidup mereka tidak berani melakukannya. Lebih dari itu,
salah seorang begundal Quraisy menghalangi jalan beliau, lalu menaburi kepala
beliau dengan debu. Tatkala beliau masuk kerumah dalam keadaan demkian, salah
seorang putrinya menyongsongnya dan membersihan debu tersebut dengan menangis.
Beliau berkata kepadanya, “Jangan menangis wahai putriku! Sesungguhnya hanya
Allah yang akan menolong ayahmu”.[17]
Pasca mangkatnya Abu Thalib dan Khadijah cobaan yang di hadapi oleh
kaum islam semakin sulit, pernah juga Abu Bakar hampir hijrah ke Abbyssinia.
Namun sebelum sapai di laut merah, ia bertemu dengan Ibnu ad-Dughunnah, yang
saat itu mengepalai kelompok kecil dari suku-suku yang bersatu dekat makkah,
sekutu Quraisy. Kepala suku ini mengenal Abu Bakar saat masih jaya dan
berpengaruh. Namun kini nampak berbeda. Terkejut akan hal itu Ibnu ad-Dughunah
menanyakannya. “Aku diperlakukan buruk oleh kaumku.” Jawab Abu Bakar “kini aku
hanya ingin berkelana dimuka bumi ini untuk menyembah Allah swt.” Kembalilah!
Engkau dalam perlindunganku. Maka ia membawa Abu Bakar ke makkah dan berseru
kepada masyarrakat bahwa “wahai penduduk Quraisy, aku memberi perlindungan
kepada anak Abu Quhafah ini.” Perlindungan itu di akui orang Quraisy dan Abu
Bakar dijamin aman. Tetapi Bani Jumah berkata kepada pelindung Abu Bakar agar
menyembah Tuhannya di dalam ruangan saja. Dan ketika hal ini disampaikan, Abu
Bakar pun menyepakatinya.[18]
Demikianlah cobaan demi cobaan yang datang silih berganti di tahun
yang sama. Itulah sebabnya para ahli sejarah menyebut tahun itu dengan tahun
“duka cita” (Am al-Huzni) sekalipun begitu tidak ada riwayat yang
mengatakan bahwa rasul menyebut tahun itu dengan tahun duka cita.[19]
C.
Dakwah Ke Tha’if
Nabi Muhammad sangat meneladani nabi-nabi sebelumnya dalam berdakah
menyebarkan agama Allah swt. Inilah nabi Nuh dalam masa yang lama dia
menjalankan tugas dakwahnya. Allah berfirman, “Dan sesungguhnya kami telah
mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal bersama mereka seribu tahun kurang
lima puluh tahun.” (QS. Al-Angkabut: 14) dalam ayat lain Allah juga
berfirman. QS. Nuh 1-9. Yang menceritakan tentang lika-liku dakwahnya nabi Nuh
as. Dalam berdakwah Nabi melakukan berbagai metode, beliaupun melakukan dakwah
secara sembunyi-sembunyi juga dakwah secara terang-terangan, mendakwahi
kelompok juga kala sendiri, dalam perjalanan dan saat tidak sedang dalam
perjalanan. Beliau juga menyampaikan dakwahnya dengan alur cerita, perumpamaan
dan beliau juga mendoakan kaumnya.[20]
Seperti itulah gambaran kesabaran nabi dalam berdakwah.
Setelah kehilangan paman tercinta dan pelindung yang kuat,
Rasulullah pergi ke Thaif untuk mencari perlindungan dan dukungan dari kaum
Tsaqif dalam menghadapi kaumnya dan membantunya dalam menyampaikan dakwahnya.
Beliau pergi ke Thaif dengan harapan agar penduduk Thaif mau menerima Beliau
dan dakwah beliau yang dibawanya dari Allah swt.[21]
Thaif terletak sekitar 75 mil darr makkah. Ia merupakan kota subur
dengan udara yang sejuk, serta tersedianya air yang cukup. Ia menjadi tempat
peristirahatan dari dulu hingga kini. Tokoh-tokoh yang memimpin Quraisy pun
mempunyai “istana-istana” yang mereka jadikan tempat bermukim khususnya dimusim
panas makkah yang sangat menyengat. Tempat itu juga menjadi tempat pengolahan
kurma dan anggur untuk dijadikan minuman keras, disamping penyamakan kulit dan
membuat wewangian.[22]
Beliau dan datang ke Thaif dengan berjalan kaki didampingi anak
angkat beliau Zaid bin Haritsah. Setiap melewati kabilah, beliau mengajak mereka
untuk memeluk agama islam namun tidak satu kabilahpun yang meresponnya. Setibanya
di Thaif Beliau mendatangi tiga orang bersaudara yang merupakan pembesar kaum
Thaif. Mereka masing-masing bernama Abd Yala’il, Mas’ud dan Habib. Ketiganya
adalah putra dari Amr bin Umair ats-Tsaqafi. Beliau berduduk dan mendakwahi
mereka mengajak kepada Allah dan memeluk agama islam.[23]
Salah seorang dari mereka segera berkata, “Jika tuhan mengutusmu,
aku akan meruntuhkan ka’bah!” yang lain mengejek, “apakah tuhan tidak menemukan
oran selainmu untuk menjadi rasul-Nya?” sementara yang ketiga berkata, “kami
tidak ingin berbicara denganmu! Karena, seandainya engkau utusan Tuhan seperti
yang engkau katakan, makaengkau terlalu mulia bagiku; dan seandainya engkau
berbohong, tidaklah bagiku berbicara kepadamu”.[24]
Sebelum Rasul beranjak meninggalkan ketiganya, beliau meminta
ketiganya merahasiakan apa yang terjadi antara mereka agar tidak tersebar ke
seluruh penduduk Thaif. Tetapi mereka justru menghasut budak-budak mereka agar
mengolok-olok dan meneriakkan cacimaki hingga orang pun berbondong-bondong
melihat apa yang terjadi.[25]
Rasulullah lari menyelamatkan diri dan akhirnya bersembunyi di sebuah kebun
milik Uthbah bin Rabi’ah dan Syaibah bin Rabi’ah. Beliau berteduh di bawah
kebun anggur tersebut.[26]
Diriwayatkan juga bahwa disana Nabi saw.melihat perempuan dari
Quraisy, istri salah seoarang ketiga tokoh itu. Namun Nabi tidak melampiaskan
kemarahannya, tetapi sekedar menyatakan kekecewaannya. Lalu dalam keadaan fisik
dan hati terluka Beliau mengadu kepada Allah dengan doa yang sangat menyentuh:
“Ya Allah, kepadamu aku mengadukan kelemahan kemampuanku, serta
minimnya upayaku dan kehinaanku di hadapan manusia. Wahai Tuhan yang Maha
Pengasih diatas seluruh pengasih. Engkaulah pemelihara kaum yang lemah, Engkau Tuhan
pemeliharaku, kepada siapa engkau menyerahkan daku? (Apakah) kepada yang jauh
yang bermuka kusut terhadapku atau kepada musuh yang kau beri kekuasaan atas
urusanku? Tetapi selama Engkau tidak marah kepadaku aku tidak peduli, hanya
saja perlindungan-Mu lebih lapang bagiku. Aku berlindung dengan cahaya wajah-Mu
yang menerangisemua kegelapan, Dan menjadi baik dengannya urusan dunia dan
akhirat. Kiranya tidak jatuh atasku amarah-Mu, tidak juga menimpa diriku
murka-Mu. Engkau wajar mengecam sampai Engkau ridha. Tiada daya dan upaya
kecuali dengan Allah.”[27]
Melihat yang yang mengenaskan itu Uthbah dan Syaibah bin Rabi’ah
tergerak kasihan hingga mereka memanggil budaknya yang bernama Addas untuk
mengantarkan setangkai anggur kepada Rasulullah. Tatkala dia menaruhnya
Rasulullah mengambilnya seraya berkata “Bismillah” lalu memakannya. Addas
berkata sesungguhnya kalimat itu tidak biasa di uacapkan penduduk sini. Lalu
Rasulullah menanyakan tentang asal dan agamanya. “aku penduduk nisawa dan
beragama Nashrani” jawab budak tersebut. Rasulullah berkata, “dari negeri
seorang pria shalih bernama Yunus bin Matta? Apakah kamu kenal Yunus bin Matta?
“Dia seorang nabi, begitu pula aku” lalu budak tersebut merengkuh kepala nabi
dan menyatakan keimanannya. ,elihat hal itu sang tuan pun kaget.[28]
Meskipun mendapatkan respon yang begitu sadis, ternyata kasih
sayang beliau tetap beliau tunjukkan. Di riwayatkan dari A’isyah sesungguhnya
ia bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, pernahkah engkau mengalami
peristiwa yang lebih berat dari peristiwa uhud?” Nabi menjawab, “Aku telah
mengalami berbagai penganiayaan dari kaumku, tetapi penganiayaan yang terberat
yang pernah aku rasakan ialah pada hari Aqobah dimana aku datang dan berdakwah
kepada Ibnu Abdi Yala’il bin Abdi Kulal, tetapi mereka tidak merespon ajakanku.
Maka akupun pergi dengan kegundahan diwajahku, lalu aku tersentak dan tersadar
ketika sampai di Qorn Ats-Tsa’alib. Lalu aku angkat kepalaku, dan aku pandang
dan tiba-tiba muncul Jibril memanggilku seraya berkata, “sesungguhnya Allah
telah mendengar perkataan dan jawaban kaummu terhadapmu, dan Allah telah
mengutus malaikat penjagagunung untuk engkau perintahkan sesukamu,” Nabi melanjutkan.
Kemudian malaikat penjaga gunung memanggilku dan mengucapkan salam kepadaku
lalu berkata, “Wahai Muhammad sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan
kaummu terhadapmu. Aku adalah malaikat penjaga gunung, dan Rabb-Mu telah
mengutusku kepadamu untuk engkau perintahkan sesukamu, jika engkau suka, aku
bisa membalikkan gunung Akhsyabin ini keatas mereka.” Nabi menjawab, “Bahkan
aku menginginkan semoga Allah berkenan mengeluarkan dari anak keturunan mereka
generasi yang menyembah Allah semata yang tidak menyekutukannya dengan sesuatu
apapun.”[29]
D.
Kembali Dari Thaif Ke Makkah
Dalam perjalanan pulang dari Thaif ke Makkah, ketika tiba disuatu
tempat bernama Nakhlah beliau berhenti untuk shalat. Ketia itu ada sekelompok
jin yang mendengar Nabi membaca ayat-ayat Al-Qur’an. Mereka juga takjub dan
kembali kepada kaumnya menyampaikan apa yang mereka dengar. Ini di isyaratkan
oleh QS. Al-Ahqaf: 29.
Mereka adalah jin yang berasal ari daerah Nashibin dan berjumlah
tujuh jin. Mereka mengemban risalah Allah untuk disampaikankepada kaumnya.
Kisah mereka juga ada dalam surat Jin yang banyak menjelaskan tentang mereka.[30]
Zaid merasa Khawatir kembali ke Makkah: “bagaimana mungkin kita
kembali, padahal mereka mengusir kita?” kata Zaid. Tetapi Beliau bertekad untuk
kembali dan beliau bersabda: “Hai Zaid! Allah yang memberi kelapangan dan
jalan keluar. Sungguh Allah akan mendukung agama-Nya dan Memenangkan Nabi-Nya.”[31]
Sesampainya di perbatasan Makkah, Rasulullah mengirimkan surat
kepada Akhnas bin Syariq untuk meminta perlindungan, namun ternyata Akhnas
tidak mau memberian perlindungan kepadanya. Dengan alasan bahwa dia bersekutu
dengan kaum Quraisy, sehingga tidak dapat memberikan perlindungan kepada
Beliau. Maka Rasulullah mengirim surat kepada Suhail bin Amru, namun Suhail
juga menolak untuk memberi perlindungan. Ia beralasan bahwa Bani Amru tida
boleh memberikan perlindungan kepada Bani Ka’ab. Akhirnya Rasulullah minta
perlindungan kepada Muth’im ibnu Adi. Ternyata ia menyanggupinya, bahkan
mengarahkan seluruh anak dan kerabatnya untuk bersama-sama melindungi
Rasulullah.[32]
Dia kemudian mengutus seseorang untuk memberitahu Rasulullah agar
memasuki kota Makkah, lalu beliau pun memasukinya bersama Zaidbin Haritsah
hingga sampai ke Masjidil Haram. Disana AL-Muth’im bin Adi sedang berada di
atas tunggangannya berseru. “wahai kaum Quraisy! Sesungguhnya aku telah
memberikan perlindungan kepada Muhammad, maka janganlah ada seorangpun diantara
kalian yang mengejeknya.”
Ada riwayat yang menyebutkan bahwa Abu Jahal waktu itu menanyai
Muth’im, “Engkau pemberi perlindungan atau seorang pengikut?” Dia menjawab,
“tidak, aku hanya pemberi perlindungan.” “Kalau begitu, kami memberi
perlindungan kepada orang yang engkau beri perlindungan”. Jawab Abu Jahal.[33]
Muth’im juga adalah salah satu pelopor dari pembatalan pemboikotan.
Apa yang dilakukan oleh Muth’im[34]
di ingat oleh Rasulullah. Sampai-sampai ketika usai perang badar dan sekian
banyak tokoh musyrik tertawan, Nabi bersabda: “Seandainya Muth’im masih
hidup dan membicarakan nasib tawanan itu, niscaya akan aku serahkan kepadanya.”[35]
E.
Peristiwa Menakjubkan “Isra’ Mi’raj”
Isra’ adalah perjalanan Nabi satu malam dari masjid al-Haram di
Makkah ke masjid al-Aqsha di palestina. Sedangkan Mi’raj adalah perjalanan
Beliau dari masjid al-Aqsha menuju ke Sidhrah al-Mutaha, satu tempat yang tidak
terjangkau hakikatnya oleh akal manusia. Pada kesempatan tersebut Rasulullah “bertatap
muka” langsung dengan Allah.[36]
Cerita Al-Qur’an mengenai Isra’ terdapat dalam QS. Al-Isra’: 1. Dan
tentang Mi’raj diceritakan dalam QS. An-Najm. Hikmah mengenai peristiwa Isra’
ini diceritakan melalui ayat: “Agar kami mempelihatkan ayat-ayat kebesaran
kami,” dan peristiwa Mi’raj melalui ayat: “Sesungguhnya dia telah melihat
sebagian tanda-tanda (kekuasaan) tuhannya yang paling besar.”[37]
Banyak yang berkata bahwa Isra’ Mi’raj terjadi berurutan waktu.
Isra’ dan Mi’raj terjadi sebelum hijrah, tetapi mereka diperselisihkan tahun
dan tanggal kejadiannya. Yang populer dan terkuat adalah tanggal 27 Rajab tahun
ke-sepuluh kenabian.[38]
Rasulullah di-Isra’-kan (diperjalankan) Allah dari rumah Ummu
Hani’. Dari situ Beliau diajak keluar menuju Masjid al-Haram dan sampai di
tempat antara Hijr Ismail dan Hathim. Disana terlebih dahulu di lakukan
pembedahan dada beliau hati beliau di keluarkan dan di cuci bersih dengan air
zam-zam. Setelah itu hati beliau di kembalikan seperti semula.[39]
Hendaknya di ingat bahwa cerita mengenai Isra’ Mi’raj terdapat
riwayat yang beraneka ragam bercampur baur antara shahih dan tidak shahih.
Menyangkut Isra’ imam Bukhari meriwayatkan bahwa Nabi bersabda:
لمّا كذّبني
قريش قمت في الحجر, فجلا الله لي بيت المقدس فطفقت أخبرهم عن أيته وأنا أنظر إليه
Ketika aku di dustakan oleh masyarakat Quraisy aku berdiri
didepan Hijr (Ka’bah), lalu Allah menampakkan kepadaku Bait al-Maqdis, maka aku
menyampaikan kepada mereka (keadaanya) sebagaimana kulihat.
Menyangkut Isra’ dan Mi’raj Bukhari dan Muslim meriwayatkan sebagaimana
dikutip Quraish Shihab dalam Sirahnya bahwa:
a.
Sebelum
berangkat nabi saw. Di bedah dan di cuci hati beliau agar dipenuhi dengan iman.
b.
Disiapkan
untuk perjalanan beliau satu kendaraan yang lebih kecil daripada kuda dan ebih
besar daripada bighal yang dinamai buraq. Yang kecepatannya sejauh mata
memandang.
c.
Beliau
di antar oleh Malaikat Jibril dengan kendaraan itu dari langit pertama hingga
langit ketujuh. Disetiap langit beliau bertemu dengan Nabi/utusan Allah,
bermula dari Adam as, lalu Yahya dan Isa as, lalu dilangit ke-tiga Nabi Yusuf
as, dan dilangit ke-empat Nabi Idris as, dilangit ke-lima Nabi Harun, di langit
ke-enam Nabi Musa as, dan dilangit ke-tujuh Nabi Ibrahim as. Dari sana Beliau
di antar malaika Jibril ke as-Sidhrah al-Muntaha. Disana terdapat empat sungai,
dua diantaranya adala sungai Nil dan sungai Eufrat dan dua lainnya adalah
sungai surgawi, lalu beliau menuju bayt al-Ma’mur. Setelah itu, masih menurut
Nabi Muhammad: “Aku diberi tiga gelas berisi Khamr (Minuman keras), susu dan
madu. Maka kupilih susu.” Jibril menyatakan: “inilah Fithrah yang diwajibkan
kepadamu dan ummatmu.” Lalu diwajibkan kepadaku shalat lima puluh waktu dalam
sehari semalam. Dalam perjalanan pulang, beliau bertemu lagi dengan Nabi Musa
as. Yang bertanya tentang apa yang Nabi peroleh. Ketika Nabi menyampaikan bahwa
ada kewajiban shalat lima puluh waktu dalam sehari semalam, Nabi Musa as
meminta agar Nabi Muhammad saw meminta keringanan. Beliaupun kembali dan
diringankan lima kali, tetapi ketika bertemu lagi dengan Nabi Musa as, di minta
agar meminta keringanan kembali. Demikianlah, diringankan lagi lima kali.
Berulang-ulang Nabi Muhammad bertemu dengan Nabi Musa dan berulang-ulang pula
Nabi Musa meminta agar Nabi meminta keringanan hingga menjadi lima waktu dan
itupun masih di minta untuk meminta keringanan kembali. Tetapi beliau berkata:
“Aku telah meminta berkali-kali kepada Allah dan aku malu. Aku rela dan
menerima itu.” Ketika aku dalam perjalanan pulang kudengar suara
menyatakan: “Telah Kutetapkan kewajiban yang Kubebankan dan telah Kuringankan
buat hamba-hamba-Ku.”[40]
Berkat perjalanan
itu, semua kesedihan dan kegundahan hati beliau sirna. Beliau kembali tenang
dengan penuh percaya diri. Inilah perjalanan yang penuh berkah ke Malakut
al-A’la tersebut. Dengan perjalanan ini beliau melihat sendiri apa yang telah
di kabarkan oleh Allah kepada beliau. Beliau menerima wahyu lansung langsung
dari Tuhannya.
Setibanya di masjid al-Haram beliau duduk disana tanpa menyadari
sikap dan tanggapan orang Quraisy terhadap peristiwa ini. Beliau tetap duduk
disana hingga Abu Jahal lewat di sisi Beliau dan bertanya sambil mengolok-olok,
“Apakah Engkau mendapatt sesuatu malam ini?” Rasul menjawab, “ya, aku di isra’
kan ke Bayt al-Muqaddas malam ini.” Abu Jahal memotong, “dan engkau telah tiba
di depan kita saat ini?” Nabi menjawab “ya.”
“Apa kaummu harus ku beritahu tentang ini?” beliau menjawab, “ya.”
Ketika sudah berkumpul, kabar ini begitu besar implikasinya. Hingga ada yang
murtad kembali setelah keimanan mereka. Lalu Abu Bakar pun di beritahu tentang
ini oleh beberapa orang musyrikin. “temanmu mengaku telah di-Isra’-kan ke Bayt
al-Muqaddas.” Beliau menjawab “Jika Beliau mengatakan demikian maka itu adalah
benar.” Sejak itulah beliau mendapat gelar Abu Bakar as-Shiddiq.[41]
Beberapa Ibrah yang dapat kita ambil dari peristiwa Isra’ dan
Mi’raj ini diantaranya adalah:
a.
Mukjizat
bukanlah sesuatu yang bisa menjamin keimanan seseorang. Orang-orang kafir telah
melihat bukti nyata tetapi mereka tidak beriman.[42]
b.
Hikmah
dari kesabaran beliau berdakwah, -meski di siksa dimaki dan lain sebagainya-
maka beliau mendapat hadiah dari Allah berupa peristiwa Isra’ dan Mi’raj
tersebut atau dikenal dengan Tabsyir.[43]
c.
Jatuhnya
pilihan Rasulullah pada minuman susu bukan Khamer saat Jibril menyampaikan
pilihan tersebut adalah melambangkan bahwa agama islam adalah agama fithrah.[44]
3.
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1.
Salah
satu hikmah kewafatan Abu Thalib adalah agar tidak ada anggapan bahwa tanpa Abu
Thalib islam tidak akan jaya.
2.
Saat
dakwah di suatu tempat telah mengalami ke-beku-an maka saat itu yang paling
baik adalah mencoba untuk menawarkan dakwah ke luar daerah tersebut. Inilah
yang di lakukan Nabi.
3.
Pilihan
Rasulullah untuk mendakwahi tiga pemuka kaum Tsaqif adalah jika ketiganya
beriman maka semua kaumnya akan berbondong-bondong ikut beriman, itulah Ijtihad
Nabi.
4.
Dalam
keadaan ketaatan yang sulit namun kita tetap sabar, maka disitulah Allah akan
menurunkan Tabsyir-nya sebagaimana peristiwa Isra’ dan Mi’raj.
5.
Shalat
adalah suatu ibadah yang sangat urgen, di lihat bahwa shakat adalah di berikan
Allah langsung tanpa melalui perantara.
B.
PENUTUP
Demikian
makalah ini kami susun. Penulis sadar betul bahwa keberadaan makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan baik dalam segi isi maupun penulisan. Dari sini penulis
berharap adanya kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini dan
penyusunan makalah-makalah berikutnya.
[1] M. Quraish
Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW Dalam Sorotan Al-Qur’an Dan
Hadist-Hadist Shahih, (Jakarta: Lentera Hati, 2011) hal. 419
[2] M. Quraish
berpendapat wafatnya Abu Thalib di bulan Syawwal.
[3] Syaikh
Shafiyurrahman al-Mubarokfuri, Ar-Rakhiq Al-Makhtum, (Jakarta: CV. Mulia
Sarana Press, 2001) terj. Hanif Yahya hal. 161
[4] M. Quraish
Shihab, Membaca Sirah, hal. 422
[5] Syaikh
Shafiyurrahman al-Mubarokfuri, Ar-Rakhiq Al-Makhtum, hal. 161
[6] Muhammad Ali
Ash-Shalabi, As-Sirah An-Nabawiyyah, Sejarah lengkap Rasulallah,
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2012) terj. Faesal Saleh hal. 219
[7] Martin Lings, Muhammad:
His Life Based On the Earliest Source, Muhammad: Kisah Hidup Nabi
Berdasarkan Sumber Klasik, (Jakarta: PT Srambi Ilmu Semesta, 2010) cet. IX
terj. Qomaruddin hal. 148
[8] Syaikh Abu
Bakar Jabir al-Jazairi, My Beloved Prophet Teladan Sepanjang Zaman,
(Jakarta: Qishti Press, 2007) hal. 160
[9] Syaikh
Shafiyurrahman al-Mubarokfuri, Ar-Rakhiq Al-Makhtum, hal. 162
[10] Lihat misalnya
dalam Sirah yang ditulis prof. Quraish hal. 424
[11] Mahdi
Rizqullah Ahmad, As-Sirah an-Nabawiyyah fi Dhau’i al-Mashdaril al-Ashliyyah,
Biografi Rasulullah sebuah studi analisis berdasar sumber-sumber yang otentik.
(Jakarta: Qishti Press, 2014) terj. Yessi HM Basyaruddin, hal. 270
[12] Syaikh
Shafiyurrahman al-Mubarokfuri, Ar-Rakhiq Al-Makhtum, hal. 162
[13] M. Quraish
Shihab, Membaca Sirah, hal. 427
[14] M. Quraish
Shihab, Membaca Sirah, hal. 428
[15] Syaikh
Shafiyurrahman al-Mubarokfuri, Ar-Rakhiq Al-Makhtum, hal. 163
[16] Syaikh
Shafiyurrahman al-Mubarokfuri, Ar-Rakhiq Al-Makhtum, hal. 163
[17] Syaikh
Shafiyurrahman al-Mubarokfuri, Ar-Rakhiq Al-Makhtum, hal. 164
[18] Martin Lings, Muhammad:
His Life, hal. 150
[19] Lihat Mahdi
Rizqullah Ahmad, As-Sirah, hal. 271; M. Quraish Shihab, Membaca Sirah, hal.
428; Muhammad Ali Ash-Shalabi, As-Sirah, hal. 220
[20] Muhammad Ali
Ash-Shalabi, As-Sirah, hal. 221
[21] Syaikh Abu
Bakar Jabir al-Jazairi, My Beloved Prophet, hal. 161
[22] M. Quraish
Shihab, Membaca Sirah, hal. 432
[23] Syaikh
Shafiyurrahman al-Mubarokfuri, Ar-Rakhiq Al-Makhtum, hal. 178
[24] Martin Lings, Muhammad:
His Life, hal. 151
[25] Bahkan ada
yang melemparinya dengan bebatuan hingga membuat Beliau terluka, kendati Zaid
Bin Haritsah telah memasang badan untuk melindungi Nabi dari lemparan-lemparan
para budak tersebut, bahkan Zaid pun menderita beberapa luka di kepalanya.
[26] Mahdi
Rizqullah Ahmad, As-Sirah, hal. 273
[27] M. Quraish
Shihab, Membaca Sirah, hal. 436
[28] Syaikh
Shafiyurrahman al-Mubarokfuri, Ar-Rakhiq Al-Makhtum, hal. 180
[29] Muhammad Ali
Ash-Shalabi, As-Sirah, hal. 224
[30] Syaikh Abu
Bakar Jabir al-Jazairi, My Beloved Prophet, hal. 164
[31] M. Quraish
Shihab, Membaca Sirah, hal. 439
[32] Mahdi
Rizqullah Ahmad, As-Sirah, hal. 276
[33] Syaikh
Shafiyurrahman al-Mubarokfuri, Ar-Rakhiq Al-Makhtum, hal. 184
[34] Muth’im wafat
beberapa waktu setelah Nabi hijrah ke madinah
[35] M. Quraish
Shihab, Membaca Sirah, hal. 441
[36] M. Quraish
Shihab, Membaca Sirah, hal. 443
[37] Muhammad Ali
Ash-Shalabi, As-Sirah, hal. 232
[38] M. Quraish
Shihab, Membaca Sirah, hal. 443
[39] Syaikh Abu
Bakar Jabir al-Jazairi, My Beloved Prophet, hal. 165
[40] M. Quraish
Shihab, Membaca Sirah, hal. 446
[41] Syaikh Abu
Bakar Jabir al-Jazairi, My Beloved Prophet, hal. 168
[42] Syaikh Abu
Bakar Jabir al-Jazairi, My Beloved Prophet, hal. 169
[43] Muhammad Ali
Ash-Shalabi, As-Sirah, hal. 236
[44] Mahdi
Rizqullah Ahmad, As-Sirah, hal. 293
Tidak ada komentar:
Posting Komentar