Kamis, 29 Maret 2018

Makalah Ilmu Kalam


1.       PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG MASALAH
Wafatnya nabi Muhammad Saw membuat umat islam kehilangan pemimpin yang dapat menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi mereka. Nabi sendiri tidak pernah menunjuk siapa yang akan menjadi penggantinya. Hal ini menimbulkan timbulnya dua teka-teki besar yang akan mengantar islam ke dalam rentangan sejarah yang dibicarakan seakan tak berujung, yaitu: pertama, golongan mana yang akan melanjutkan kepemimpinan nabi. Kedua, bagaimana cara pemilihan pimpinan itu dilangsungkan? Al-Qur’an pun secara tegas tidak mencantumkan siapa yang akan memimpin.
Meski penuh pertentangan akhirnya disepakati yang menjadi pemimpin setelah Rasulullah Saw wafat adalah Abu Bakar, kemudian Umar Bin Khattab, lalu di susul Ustman bin Affan. Di tahun ke tujuh pemerintahan Ustman ini dirasa ada semacam tindakan nepotisme dan koruptif  yang menyebabkan pemberontakan oleh ummat islam hingga berujung wafatnnya Sayyidina Ustman. Lalu kepemimpinan dilanjutkan oleh Sayyidina Ali dan di tengah-tengah pemerintahan Ali inilah nanti akan muncul beberapa aliran, diantaranya Khawarij dan Murji’ah.
B.     RUMUSAN MASALAH
Dari gambaran latar belakang diatas penulis akan membuat rumusan masalah agar lebih menfokuskan pembahasan dan tidak melebar kemana-mana. Diantara rumusan masalah itu adalah sebagai berikut:

a.       Pengertian Khawarij
b.      Pokok-Pokok Ajaran Khawarij
c.       Sekte-Sekte Dalam Khawarij
d.      Identifkasi Ajaran Khawarij Di Indonesia
e.       Pengertian Murji'ah
f.       Pokok-Pokok Ajaran Murji’ah
g.      Sekte-Sekte Dalam Murji’ah
h.      Identifikasi Ajaran Murji’ah Di Indonesia



C.     TUJUAN PEMBAHASAN
Adapun tujuan pembahasan dari makalah ini adalah supaya kita memahami latar belakang berdirinya sekte-sekte atau aliran-aliran kalam dalam islam serta memahami pokok-pokok ajarannya dan mencoba mengidentifikasikan ajaran tersebut khususnya di Indonesia.



2.       PEMBAHASAN
A.    Pengertian Khawarij


Wafatnya nabi Muhammad Saw membuat umat islam kehilangan pemimpin yang dapat menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi mereka. Nabi sendiri tidak pernah menunjuk siapa yang akan menjadi penggantinya. Hal ini menimbulkan timbulnya dua teka-teki besar yang akan mengantar islam ke dalam rentangan sejarah yang dibicarakan seakan tak berujung. yaitu: pertama, golongan mana yang akan melanjutkan kepemimpinan nabi. Kedua, bagaimana cara pemilihan pimpinan itu dilangsungkan? Al-Qur’an pun secara tegas tidak mencantumkan siapa yang akan memimpin.[1]
Nama khawarij berasal dari kata kharaja yang berarti keluar. Nama itu diberikan kepada mereka, karena mereka keluar dari barisan Sayyidana Ali RA. Tetapi ada pula pendapat yang mengatakan bahwa pemberian nama itu didasarkan atas ayat 100 surat an-Nisa’, yang di dalamnya disebutkan: “keluar dari rumah lari kepada allah dan rasul-Nya”. Dengan demikian kaum khawarij memandang sebagai orang yang meninggalkan rumah keluar dari kampung halamannya untuk mengabdikan diri kepada Allah dan Rasul-Nya.[2]
Kaum khawarij kadang-kadang menamakan dirinya syurah. Artinya “orang-orang yang mengorbankan dirinya” untuk kepentingan keridhaan Allah Swt. Mereka mendasarkan ayat : QS. Al-Baqarah 207.[3] Nama lain dari khawarij yang sering diberikan juga adalah haruriah dari kata harura. Satu desa yang terletak di dekat kota Kufah di Irak. Di tempat inilah mereka yang pada waktu itu berjumlah dua belas ribu orang berkumpul setelah memisahkan diri dari Ali. Di sini mereka memilih Abdullah Ibn Abi Wahb ar-Rasidi menjadi imam mereka sebagai ganti Ali.[4]
Adapun yang dimaksud khawarij dalam terminologi ilmu kalam adalah suatu sekte pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar dari barisan karena tidak sepakat terhadap Ali yang menerima arbitrase/tahkim dalam perang shiffin pada tahun 37 H/648 M dengan kelompok bughot (pemberontak) Muawwiyah bin Abi Sufyan perihal persengketaan khilafah. Kelompok khawarij pada mulanya memandang Ali dan pasukannya berada pada pihak yang benar karena Ali merupakan khalifah yang sah yang telah di bai’at mayoritas umat islam, Muawwiyah berada di pihak yang salah karena memberontak kepada khalifah yang sah. Lagi pula, berdasarkan estimasi khawarij pihak Ali hampir memperoleh kemenangan dalam peperangan itu, tetapi karena Ali menerima tipu daya licik ajakan damai Muawwiyah, kemenangan yang hampir diperoleh itu raib.[5]
Ali sebenarnya sudah mencium kelicikan dibalik ajakan damai kelompok Muawwiyah, sehingga pada mulanya Ali menolak pemintaan itu. Akan tetapi, karena desakan sebagian pengikutnya, terutama ahli qurra’, seperti al-Asy’ats bin Qais, Mas’ud bin Fudaki at-Tamimi, dan Zaid bin Husain ath-Thai, dengan terpaksa Ali memerintahkan al-Asytar (komandan Ali) untuk menghentikan serangan.[6]
Kedua pihak menetapkan daumatul jandal sebagai tempat perdamaian, dengan ketentuan bahwa tahkim tersebut akan dilaksanakan dalam bulan ramadhan pada tahun ke 37 H.[7]
Setelah menerima ajakan damai, Ali bermaksud mengirimkan Abdullah bin Abbas sebagai delegasi juru damai (hakam)-nya, tetapi orang-orang khawarij menolaknya dengan alasan bahwa Abdullah bin Abbas adalah orang yang berasal dari kelompok Ali. Mereka lalu mengusulkan agar Ali mengirimkan Abu Musa al-Asy’ari dengan harapan dapat memutuskan perkara berdasarkan kitab allah. Sedangkan dari pihak Muawwiyah mengajukan Amr bin Ash.[8]
Dalam pertemuan mereka, kelicikan amr bin ash mengalahkan perasaan takwa abu musa al-asy’ari. Sejarah mengatakan bahwa keduanya terdapat pemufakatan untuk menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan. Ali dan Muawwiyah. Tradisi menyebut bahwa Abu Musa al-Asy’ari, sebagai yang tertua, terlebih dahulu berdiri mengumumkan kepada ramai putusan menjatuhkan kedua pemuka yang bertentagan itu. Berlainan dengan apa yang telah di setujui, Amr bin Ash, mengumumkan hanya menyetujui penjatuhan Ali saja tetapi menolak penjatuhan terhadap Muawwiyah.[9]
Bagaimanapun peristiwa ini merugikan bagi Ali dan menguntungkan bagi Muawwiyah. Yang legal menjadi khalifah sebenarnya hanyalah Ali, sedangkan Muawwiyah kedudukannya tak lebih dari gubernur daerah yang tak mau tunduk kepada Ali sebagai khalifah. Dengan adanya arbiterasi ini keduduannya telah naik menjadi khalifah secara tidak resmi. Tidak mengherankan kalau putusan ini ditolak Ali dan tak mau meletakkan jabatannya, sampai ia mati terbunuh di tahun 661 M.[10]
Doktrin teologi khawarij yang radikal pada dasarnya merupakan imbas langsung doktrin sentralnya, yaitu doktrin politik. Radikalitas itu sangat dipengarui oleh sisi budaya yang juga radikal. Hal lain yang juga menyebabkan radikalitas itu adalah asal-usul mereka yang berasal dari masyarakat badui dan pengembara padang pasir tandus. Hal itu telah membentuk watak dan pola pikirnya menjadi keras, berani, tidak tergantung pada orang lain, bebas dan tidak gentar hati. Akan tetapi mereka fanatik dalam menjalankan agama. Sifat fanatik itu mendorong seseorang berfikir sangat simplitis, berpengatahuan sederhana melihat pesan berdasarkan motivasi pribadi, bukan berdasarkan fakta dan data dan konsistensi logis.[11]

B.     Pokok-Pokok Ajaran Khawarij
Adapun pokok-pokok ajaran khawarij diantaranya adalah:
a.       Khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat islam.
b.      Khalifah tidak harus berasal orang quraisy atau keterunan.
c.       Setiap orang muslim berhak menjadi khalifah asal sudah memenuhi syarat.
d.      Khalifah dipilih secara permanen, selama yang bersangkutan bersikap adil dan menjalankan syariat islam. Ia harus di jatuhkan bahkan di bunuh jika melakukan kezaliman.
e.       Khalifah sebelum Ali (Abu Bakar, Umar, dan Ustman) adalah sah, akan tetapi setelah tahun ke tujuh dari pada masa kekhalifahan Ustman dinilai telah menyeleweng.
f.       Khalifah Ali juga sah tetapi setelah terjadi arbitrase dianggap menyeleweng.
g.      Muawwiyah dan amr bin ash serta abu musa al-asy’ari dianggap telah menyeleweng.
h.      Pasukan jamal yang melawan Ali juga dianggap kafir.
i.        Seorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim karenanya harus dibunuh. Dan lain sebaginya.[12]
C.     Sekte-Sekte Dalam Khawarij
Sekte-sekte dalam khawarij ada banyak sekali, al-Baghdadi mengatakan bahwa sekte ini telah pecah menjadi 20 subsekte, harun mengatakan bahwa sekte ini telah pecah menjadi 18 subsekte, adapun al-Asyfarayani mengatakan bahwa sekte ini berpecah menjadi 22 subsekte.[13] Dan dalam perjalanan sejarahya, hanya beberapa subsekte yang diangap besar dan mewakili subsekte yang lebih kecil, antara lain adalah al-Muhakkimah, al-Azariqah, al-Najdat, al-Ajaridah, al-Sufriyah dan al-Ibadiyyah.

1.      Al-Muhakkimah
Al-Muhakkimah diambil dari semboyan mereka لاحكم إلاالله . mereka disebut juga salaf al-khawarij (pengikut khawarij pertama). Mereka berpendapat bahwa al,Muawwiyah, Amr, Abu Musa adalah kafir. Hukum kafir berkembang lagi dengan memasukkan orang yang berdosa besar.[14]
2.      Al-Azariqah
Subsekte ini merupakan subsekte yang paling ekstrim diantara kelompok  yang lainnya. Nama ini diambil dari nama pemimpinnya sendiri yang bernama, Nafi’ bin al-Azraq. Pegikut barisan ini cukup besar dengan barisan kekuatan 20.000 orang.[15]



3.      Al-Najdat
Sebenarnya kelompok ini merupakan persekutuan dari kelompok yang ingin bergabung dan kelompok yang memisahkan dengan al-Azariqah. Pemisahan diri ini disebabkan karena mereka tidak sependapat dengan memusyrikkan orang-orang yang tidak mau berhijrah atau menghalalkan darah anak-anak istri orang islam yang tidak sepaham.[16]
4.      Al-‘Ajaridah
Mereka adalah pengikut dari ‘Abd al-Karim bin ‘Ajrad yang menurut as-Syehrestani merupakan salah satu teman dari Atiyah al-Hanafi. Kaum al-'Ajaridah bersifat lebih lunak karena menurut paham mereka berhijrah bukanlah merupakan kewajiban sebagaimana yang diajarkan oleh Nafi’ ibn al-Azraq dan Najdah, tetapi hanya merupakan kebajikan.[17]
5.      Al-Sufriyyah.
Pemimpin golongan ini adalah Ziyad ibnu Ashfar. Dalam paham, mereka dekat sama dengan golongan al-Azariqah dan oleh karena itu juga merupakan golongan yang ekstrim. Hal-hal yang membuat mereka kurang ekstrim dari yang lain adalah berbagai pendapat berikut: - tidak hijrah tidak dipandang kafir; - mereka tidak berpendapat bahwa anak-anak kaum musyrik boleh dibunuh; - daerah golongan islam yang tidak sepaham dengan mereka bukan dar harb yaitu daerah yang harus diperangi;[18]
6.      Al-Ibadiyyah.
Golongan ini merupakan golongan yang paling moderat dari seluruh golongan khawarij. Namanya diambil dari Abdulah ibnu Ibad, yang pada tahun 686 M, memisahkan diri dari golongan al-Azariqah.[19]
D.    Identifkasi Ajaran Khawarij di Indonesia
Adapun identifikasi ajaran khawarij Indonesia menurut penulis masih tetap adanya pokok–pokok ajaran meski bukan atas nama khawarij tapi dengan nama sekte atau firqoh yang lain. Misalnya dengan adanya tindakan-tindakan kekerasan atas nama agama, ambillah contoh pengeboman JW Mariot Jakarta, pengeboman di Bali (12 Oktober 2002)[20], bom bunuh diri di kampung melayu Jakarta Timur (24 Mei 2017).[21]
Ambillah sebagai contoh gerakan Hizbut Tahrir (HT) yang kemudian di beri imbuhan Indonesia hingga menjadi HTI, jika kita mencermati fatwa-fatwa pemimpinnya kita akan menemukan adanya kesamaan ajaran dengan khawarij. Misalnya gagasan-gagasan utama yang disampaikan Abu Bakar Ba’asyir dalam tadzkirahnya: pertama, penegakan syari’at islam secara kaffah. Kedua, selain islam adalah syirik. Tidak ada alasan untuk menggunakan sistem atau ideologi lain dalam mengatur kehidupan manusia, karena islam adalah agama yang sempurna. Oleh karenanya, penggunaan sistem demokrasi yang dianut Indonesia saat ini, dan pancasila serta UUD 1945 nya adalah upaya pengalihan dari syari’at Allah ke hukum buatan manusia. Hal ini dianggap perbuatan menyukutukan Allah atau syirik oleh mereka. Ketiga, tidak melakukan syari’at islam secara kaffah berarti kafir. Tidak ditegakkannya syariat islam dalam suatu negara maka negara tersebut dinilai kafir, atas dasar itu mereka menganggap NKRI dianggap kafir dan pemimpinnya yang tidak menerapkan syari’at islam secara penuh dianggap thogut, dll.[22]
Dalam buku ilusi negara islam, gusdur mengatakan dalam kata pengantarnya bahwa hawa nafsulah yang menjadi sebab utamanya dan “mereka melakukan kekerasan atas nama agama itu karena mereka tidak mengerti bahwa islam tidaklah terkait dengan kekerasan. Itu yang penting. Ajaran islam yang sebenar-benarnya adalah tidak menyerang orang lain, tidak melakukan kekerasan, kecuali kita diserang atau diusir dari rumah kita. Ini yang pokok. Kalau seseorang sudah diusir dari rumahnya, berarti dia sudah kehilangan kehormatan dirinya. Hanya dengan alasan itu kita boleh melakukan pembelaan”.[23]
Dengan melihat adanya kesamaan ajaran dan keyakinan antara HTI dan mungkin kelompok yang lain maka penulis menyimpulkan bahwa doktrin khawarij hingga sekarang masih ada –jika enggan mengatakan masih menjamur-. Dan sasaran terbanyak mereka adalah kaum urban yang minim pengetahuan atas agama dan juga dunia akademisi yang silau jika melihat simbol-simbol agama digunakan entah adanya unsur politik maupun bukan. Biasanya kelompok seperti ini letterlyk dalam memahami teks agama tanpa dilihat unsur-unsur lain yang berada diluar teks. Dan juga semangatnya melebihi ilmunya, itu yang berbahaya. 
E.     Pengertian Murjiah
Kata al-Murji’ah adalah bentuk isim fa’il yang mendapat tambahan ta’ marbutah (murji’un – murji’atun). Fi’il madi-nya (arja’a – yurji’u – irja’an), artinya bisa bermacam-macam. Diantaranya:
a.       Menunda (menangguhkan)
b.      Memberi harapan
c.       mengesampingkan[24]
Atas dasar itu mereka berkata bahwa “perbuatan maksiat itu tidaklah merusak iman, sebagaimana ketaatan tidak pula bermanfaat jika disertai kekafiran. Apabila seorang meninggal dalam keadaan tauhid, maka dosa dan kemaksiatan tidak memberikan mudharat kepadanya”.[25]
”Ada juga yang mengatakan bahwa murji’ah di ilhami dari ayat QS. At-Taubah ayat 106. Yang artinya; “dan ada pula orang-orang lain yang ditangguhkan sampai ada keputsan Allah; adakalanya Allah akan mengazab mereka dan ada kalanya Allah akan menerima taubat mereka. Dan Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana.”[26]
Seperti halnya lahirnya firqoh khawarij, demikian juga halnya munculnya firqoh murjiah adalah atas dasar latar belakang politik. Sewaktu pemerintahan islam pindah ke Damaskus, maka mulai tampak kurang taatnya beragama kalangan penguasa bani umayyah, berbeda dengan khulafa’ur rasyidin. Perilaku penguasa tampak semakin kejam, sementara umat islam berdiam saja. Timbul persoalan: “bolehkah umat islam diam saja dan wajibkah taat khalifah yang dianggapnya zalim? Orang-orang murji’ah berpendapat bahwa orang muslim boleh saja shalat dibelakang orang yang shaleh dan orang yang fasiq. Sebab penilaian baik dan buruk itu terserah Allah Swt. Soal ini mereka tangguhkan sampai hari kiamat dan karena itu pulalah mereka dinamakan golongan murji’ah. Yang berarti melambatkan atau menangguhkan tentang balasan Allah Swt. Sampai akhirat nanti.”[27]
Murji’ah lahir dengan membawa paham yang sama sekali berbeda dengan dengan paham khawarij. Orang islam yang berbuat dosa besar tetap mukmin, tidak menjadi kafir. Soal dosa besar diserahkan kepada allah kelak di hari perhitungan. Kalau dosa besarnya diampuni oleh tuhan, ia segera di masukkan ke surga. Kalau tidak, ia akan masuk neraka untuk waktu tertentu dan kemudian masuk surga.[28]
Menurut mereka iman adalah pengakuan tentang ke-maha esaan Allah, dan ke-rasulan nabi Muhammad Saw. Yaitu pengakuan dengan hati. Baranag siapa mengakui hal itu berdasarkan kepercayaan, maka dia adalah mukmin, apakah dia menunaikan kewajiban-kewajibannya atau tidak, dan apakah dia menjauhi dosa-dosa besar atau dia justru melakukannya. Salah seorang penyair berkata:
ولا أرى أن ذنبا بالغ أحدا من الناس شركا إذا ما وحد والصمدا
aku tidak berpendapat bahwa sesuatu dosa dapat mengantarkan seseorang kepada syirik, selama dia tetap bertauhid kepada tuhan.
Adapun mengenai orang yang melakukan dosa besar dan lalai dalam melakukan kewajiban sebagian tokoh murji’ah berpendapat tidaklah mungkin menghukumi meeka didunia. Hal itu hendaknya diserahkan kepada tuhan. Dari sinilah timbul istilah murji’ah.[29]
Golongan murji’ah ada yang berpendirian bahwa orang yang berdosa besar itu tidak kekal dalam neraka. Sesungguhnya Allah Swt tidak akan mengingkari janji pahala, sedangkan janji ancamannya boleh jadi tidak dipenuhi. Sebab pahalanya adalah anugerah dan siksaan adalah keadilannya. Tidak melaksanakan ancamannya bukanlah suatu kekurangan. Kata mereka.[30]

F.      Pokok-Pokok Ajaran Murji’ah
Beberapa pokok-pokok ajaran Murji’ah diantaranya adalah:
a.       Penangguhan keputusan terhadap Ali dan Muawwiyah hingga Allah memutuskan di akhirat kelak.
b.      Pemberian harapan terhadap orang yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
c.       Doktrin-doktrin murji’ah menyerupai ajaran madzhab skeptis dan empiris dari kalangan helenis.
d.      Meletakkan pentingnya iman dari pada amal.[31]
Sementara Abu Ya’la al-Maududi menyebutkan dua doktrin ajaran murji’ah yaitu: pertama, iman adalah cukup percaya kepada Allah dan rasulnya tidak dipengaruhi oleh amal. Kedua, dasar keselamatan adalah iman semata. Selama masih ada iman dihati maka setiap maksiat tidak akan mempengaruhi iman.[32]
G.    Sekte-Sekte dalam murji’ah
Muhammad Imarah menyebutkan ada dua belas sekte dalam ajaran murjiah. yaitu:
a.       Al-Jahmiyyah (pengikut Jahm bin Shafwan)
b.      Ash-Shalihiyyah (pengikut Abu Musa ash-Shalahi)
c.       Al-Yunusiyyah (pengikut Yunus as-Samari)
d.      Asy-Syamariayah (pengikut Yunus asy-Syamari)
e.       Dan lain-lain.[33]
Harun Nasution secara garis besar mengelompokkan sekte ini menjadi dua kelompok. Yaitu: Murji’ah moderat dan murji’ah ekstrim.[34] Diantara murjiah yang ekstrim diantaranya adalah: jahmiyyah, shalihiyyah, yunusiyyah dan hasaniyyah.[35]
Sebagai kesimpulan, Harun Nasution mengatakan bahwa aliran murji’ah yang moderat sebagai gologan tersendiri telah hilang dalam sejarah dan ajaran-ajaran mereka mengenai iaman, kufr, dan dosa besar masuk ke dalam ajaran ahlus sunnah dan jama’ah. Dan aliran murji’ah yang ekstrim juga telah hilang sebagai aliran yang berdiri sendiri, tetapi dalam praktek masih terdapat sebagian umat islam yang menjalankan ajaran-ajaran ekstrim itu. Mungkin dengan tidak sadar mereka dalam hal ini sebenarnya mengikuti ajaran murjiah yang ekstrim.[36]
H.    Identifikasi Ajaran Murji’ah Di Indonesia
Adapun identifikasi ajaran murji’ah, lebih-lebih di Indonesia penulis belum menemukan jawabannya.



DAFTAR PUSTAKA


Abdul dan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2016)
Hanafi, Muchlis M. Tafsir Terhadap Dasar-dasar Ideologi Takfir Kelompok Islam Radikal, dalam suhuf vol. 07 no. 02 nov 2014, Jakarta, jurnal kajian al-qur’an.
an-Najjar, Amir. al-Khawarij: Akidah wa Fikratan wa Falsafatan, Terj. Afif Muhammad dkk, (Bandung: Lentera, 1993) cet.I,
Nasir,Sahilun A. Pemikiran Kalam (Teologi Islam), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2016)
Nasution, Harun. Teologi Islam, (Jakarta: UI-press, 2016)
Nurdin,  M. Amin dkk, Sejarah Pemikiran Islam, (Jakarta: AMZAH, 2016)
htps://id.m.wikipedia.org/wiki/bom_bali_2002



3.       PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pemaparan materi diatas penulis mengambil beberapa kesimpulan diantaranya:
1.      Latar belakang berdirinya sekte-sekte dalam islam paling banyak disebabkan oleh perpecahan politik waktu itu.
2.      Nama khawarij berasal dari kata kharaja yang berarti keluar. Nama itu diberikan kepada mereka, karena mereka keluar dari barisan Sayyidana Ali RA. Tetapi ada pula pendapat yang mengatakan bahwa pemberian nama itu didasarkan atas ayat 100 surat an-Nisa’, yang di dalamnya disebutkan: “keluar dari rumah lari kepada allah dan rasul-Nya”. Dengan demikian kaum khawarij memandang sebagai orang yang meninggalkan rumah keluar dari kampung halamannya untuk mengabdikan diri kepada Allah dan Rasul-Nya.
3.      Sekte dalam khawarij yang diangap besar dan mewakili subsekte yang lebih kecil, antara lain adalah al-Muhakkimah, al-Azariqah, al-Najdat, al-Ajaridah, al-Sufriyah dan al-Ibadiyyah.
4.      Kata al-Murji’ah adalah bentuk isim fa’il yang mendapat tambahan ta’ marbutah (murji’un – murji’atun). Fi’il madi-nya (arja’a – yurji’u – irja’an), artinya bisa bermacam-macam. Diantaranya: - Menunda (menangguhkan) - Memberi harapan - Mengesampingkan
B.     Penutup
Demikian makalah ini kami susun. Penulis sadar betul bahwa keberadaan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dalam segi isi maupun penulisan. Dari sini penulis berharap adanya kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini dan penyusunan makalah-makalah berikutnya.



[1] M. Amin Nurdin dkk, Sejarah Pemikiran Islam, (Jakarta: AMZAH, 2016) hal.11
[2] Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta: UI-press, 2016) hal.13
[3] Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2016) hal.124
[4] Harun Nasution, Teologi Islam, hal.13 / Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), hal.125
[5] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2016) hal.64
[6] Amir an-Najjar, al-Khawarij: Akidah wa Fikratan wa Falsafatan, Terj. Afif Muhammad dkk, (Bandung: Lentera, 1993) cet.I, hal. 5
[7] Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), hal.128
[8] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam,  hal.64-65
[9] Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta: UI-press, 2016) hal.7
[10] Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta: UI-press, 2016) hal.7
[11] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, hal.67
[12] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam,  hal.65-66
[13] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, hal.69
[14] M. Amin Nurdin dkk, Sejarah Pemikiran Islam, (Jakarta, AMZAH 2016) hal.15
[15] M. Amin Nurdin dkk, Sejarah Pemikiran Islam, hal.16
[16] Harun Nasution, Teologi Islam, hal.16
[17] Harun Nasution, Teologi Islam, hal.20
[18] Harun Nasution, Teologi Islam, hal.21
[19] Harun Nasution, Teologi Islam, hal.22
[20] htps://id.m.wikipedia.org/wiki/bom_bali_2002 Diunduh 01/10/2017 pukul 11:12
[22] Muchlis M. Hanafi, Tafsir Terhadap Dasar-dasar Ideologi Takfir Kelompok Islam Radikal, dalam suhuf vol. 07 no. 02 nov 2014, Jakarta, jurnal kajian al-qur’an. Hal.173-174
[24] M. Amin Nurdin dkk, Sejarah Pemikiran Islam, hal.24
[25] Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), hal.155
[26] M. Amin Nurdin dkk, Sejarah Pemikiran Islam, hal.225
[27] Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam),  hal.150
[28] M. Amin Nurdin dkk, Sejarah Pemikiran Islam, hal.23
[29] Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam),  hal.154
[30] Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam),  hal.161
[31] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, lmu Kalam, hal.73
[32] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, hal.73
[33] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, hal.74
[34] Harun Nasution, Teologi Islam, hal.28
[35] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, hal.75
[36] Harun Nasution, Teologi Islam, hal.32

Tidak ada komentar:

Posting Komentar