Kamis, 29 Maret 2018

Makalah Qira'at


BAB I
PENDAHULUAN
1.      LATAR BELAKANG

Al-qur’an adalah firman Allah  yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw melalui malaikat Jibril yang berfungsi sebagai petunjuk bagi sekalian Manusia, pembeda antara yang haq dan yang bathil, membacanya merupakan ibadah, yang di awali surat al-fatihah dan di akhiri surat an-nas.
Oleh karena itu, membaca al-qur’an tidak boleh asal bunyi tetapi harus bersandar pada riwayat yang mutawatir, yang di ajarkan kepada kita oleh guru-guru kita, yang sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah Saw.
Al-qur’an yang di baca oleh umat islam di Indonesia dan umat islam di dunia pada umunya itu baru sebagian wajah atau qiro’at saja, akan tetapi di balik wajah-wajah tersebut masih banyak qiro’at-qiro’at yang lain; ada tujuh bahkan sampai empat belas.[1]
Sebagian Ulama’ mempersamakan antara al-qur’an dengan qiro’at, karena qiro’at yang telah di terima  adalah al-qur’an juga. Namun, sebagian yang lain mengatakan bahwa antara al-qur’an dan qiro’at ada perbedaan. Al-qur’an adalah wahyu allah yang di turunkan kepada nabi Muhammad Saw sebagai petunjuk dan menjadi mukjizat. Sementara al-qiro’at adalah perbedaan redaksi dan cara membacanya dari wahyu tersebut.[2]

2.      RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah kami paparkan di atas kami akan merumuskan beberapa masalah untuk acuan pembuatan makalah ini:
1)      Apakah definisi ilmu qiro’ah
2)      Bagaimana sejarah dan perkembangan ilmu qiro’ah
3)      Adakah perbedaan-perbedaan qiro’ah yang berdampak pada perbedaan makna


BAB II
PEMBAHASAN
A.    DEFINISI ILMU QIRO’AH


Ilmu Qiro’at sebagaimana yang di definiskan oleh al-jazari adalah:
Ilmu yang mempelajari tata cara pengucapan redaksi al-qur’an dan perbedaannya dengan menyandarkan bacaan tersebut pada perawi-perawinya.
Dari pengertian ini bisa di ambil beberapa pengertian:
a)      Fokus ilmu dan obyek ilmu ini adalah al-qur’an bukan maknanya. Berbeda dengan ilmu tafsir yang menitik beratkan kepada cara memahami makna atau maksud dari al-qur’an.
b)      Ilmu ini adalah ilmu riwayat atau ilmu yang berdasarkan pada penukilan dari para ahli qiro’at secara bersambung sampai kepada nabi Muhammad Saw. Tidak ada unsur ijtihad dalam ilmu ini, karena semua bacaan berdasarkan pengucapan dari lisan orang-orang yang ahli qiro’at secara berkesinambungan.[3]

B.     SEJARAH DAN PERKEMBANGAN ILMU QIRO’AH
1)    SEJARAH ILMU QIRO’AH
Jauh sebelum al-qur’an di turunkan bangsa arab terdiri dari beberapa kabilah. Secara garis besar mereka tergolong menjadi dua kelompok. Pertama, mereka yang berada di kawasan pedesaan atau badui. Kedua, mereka yang berada di perkotaan (hadari). Dua kelompok ini mempunyai dialek yang berbeda walaupun bahasa nasional mereka sama, yaitu bahasa arab yang akhirnya di gunakan untuk bahasa al-qur’an. Ulama’ gramatika bahasa arab telah berhasil mengklasifikasikan dialek yang sering digunakan oleh suku-suku badui dan mana dialek-dialek yang sering di gunakan oleh hadari (perkotaan). Sebagai contoh, kabilah badui sering menggunakan imalah sementara kelompok yang lainnya jarang menggunakannya, tetapi sering menggunakan fathah. Kelompok pertama sering menggunakan idgom, sedangkan kelompok kedua tidak. Kelompok pertama sering membaca kalimah yang ada hamzahnya dengan tahqiq, sedangkan kelompok yang satu cenderung melunakkannya dengan berbagai macam cara, dan lain sebagainya.
Dalam keadaan itulah al-qur’an di turunkan kepada nabi Muhammad menghadapi kenyataan ini dan lainya. nabi telah meminta keringanan dari Allah, supaya Allah meringankan cara membaca al-quran. Lalu turunlah hadist “al-Ahruf as-Sab’ah” yang terkenal itu:

ان هذا القران انزل على سبعة احرف ،فاقرءوا ما تيسر منه                    
Sesungguhnya Al-qur’an ini di turunkan atas tujuh huruf,maka bacalah apa yang mudah darinya.

Pada riwayat lain di sebutkan bahwa Jibril atas perintah Allah memerintahkan kepada nabi Muhammad Saw agar membacakan al-qur’an kepada umatnya dengan satu huruf. Lalu nabi meminta hal itu di tinjau kembali. Allah memberinya keringanan menjadi dua huruf. Nabi masih meminta hal itu ditinjau kembali sampai akhirnya Nabi di beri keringanan sampai tujuh huruf.
Hadist ini dikemukakan oleh Imam as-Suyuti dalam kitab al-itqon diriwayatkan oleh 21 sahabat dan hadits ini menjadi sangat terkenal.
Dalam beberapa riwayat dan hadits-hadits tentang al-ahruf as-sab’ah Nabi mengemukakan kepada allah tentang sebabnya beliau meminta keringanan,yaitu bahwa umatnya terdiri dari berbagai macam lapisan masyarakat dan umur. Ada yang tidak bidsa membaca dan menulis,ada yang sudah tua dan ada pula yang masih kecil. Semuanya adalah pembaca al-qur’an. Jika mereka di haruskan mebaca al-qur’an dengan satu variasi bacaan saja akan mengalami kesukaran. Padahal al-qur’an perlu di sosialisasikan kepada masyarakat. Dalam riwayat at-Tirmizi Nabi berkata pada jibril:

يا جبريل،انى بعثت الى امة اميين،منهم العجوز والشيخ الكبير والغلام والجارية والرجل الذى لم يقرا كتابا قط
Wahai jibril ,aku di utus kepada umat ummi, di antara mereka ada yang tua renta, anak kecil dan orang yang sama sekali tidak bisa membaca.
Dengan berbekal peringanan ini nabi mengajarkan al-qur’an kepada para sahabatnnya dengan berbagai macam cara tersebut. Ada beberapa kejadian yang menyangkut para sahabat yang saling menyalahkan bacaan yang lain. Akan tetapi, setelah di jelaskan oleh nabi bahwa semua perbedaan itu berasal dari Allah mereka memahaminya.


2)    PERKEMBANGAN ILMU QIRO’AH
Pada masa itu perkembangan ilmu qiraat dan pengajaran bacaan al-qur’an terus dilakukan oleh kaum Muslimin. Hal ini menjadikan bacaan al-qur’an yang beragam versi tersebar ke masyarakat. Lalu munculah nama-nama ahli qiraat ada setiap negeri. Di Madainah ada Muaz bin al-Qori’ (w. 63 H), urwah bin zubair (w. 95 H), Abdurrohman bin Hurmuz al-A’raj (w. 117 H) dan lain-lain. Di Makkah ada Ubaid bin Umair (w. 74 H), Mujahid bin Jabr (w. 103 H). Di Kufah ada al-Qomah bin Qais (w. 62 H), Zir bin Hubbaisy (w. 82 H). Di Basrah ada Yahya bin Ya’mur (w. 90 H), Amir bin Qais (w. 55 H). Di Syam ada al-Mughiroh bin Abi Syihab al-Makhzumi (w. 70 H).
Dari sekian banyak ulama’ qiro’ah yang ada di negeri-negeri tersebut muncul lah nama-nama yang paling berpengaruh dalam ilmu qiro’ah antara lain : di madinah ada Nafi’ bin Abi Nuaim (w. 169 h). di Makkah ada Abdullah bin Kastir (w. 120 H). Di Kufah ada ‘Ashim bin Abi Najud (w. 129 H), Hamzah bin Habib (w. 156 H), al-Kisa’i (w. 189 H). Di Basrah ada Abu Amr bin Abi al-A’la (w. 154 H). Di Syam ada Abdullah bin Amir (w. 118 H). dan masih banyak lagi yang lainnya. Mereka itulah yang karena ketekunannya menggeluti ilmu ini dan lamanya mengajar, akhirnya menjadi orang-orang yang bisa di peertanggung jawabkan keilmuaanya. Merekalah yang akhirnya di pilih ssebagai ahli qiro’at yang bacaan mereka terabadikan hingga saat ini melalui apa yang di sebut qiroat as-sab’ah dan qiro’at ‘asyr.
Pada abad kedua hijriyah, sejalan dengan perkembangan ilmu-ilmu keislaman, qiro’at yang bermacam-macam tersebut mendapat perhatiian dari ulama’. Mereka menghimpun bacaan-bacaan tersebut dalam kitab merreka. Para ulama’ tersebut menghimpun qiro’at yang mereka dapatkan dari guru-guru mereka. Oleh karena  itu, jjumlah qiro’at tidak ada yang sama dari satu kitab dengan  kitab yang lain. Sebagai cantoh ‘Abu Ubaid bin Salah (w. 224 H) menghimpun bacaannya sebanyak 25 imam qiro’at. Ahmad bin Jubair al-Intaqi (w. 258 H) menghimpun bacaannya sebanyak 5 imam qiro’at. Lalu al-Qodi Ismail bin Ishaq al-Maliki (w. 282 H) menghimpun bacaannya sebanyak 20 imam qiro’ah. Dan masiuh banyak lagi yang lainnya. hal tersebut menunjukkan bahwa penulisan ilu qiro’at pada masa itu belum menemukan persamaan antara satu penulis dengan penuls yang lainnya.
3)    PEMBAGIAN QIRO’AT
a)              Qiro’ah Tujuh (al-Qiro’ah As-Sab’)
Ibnu al-jazari dalam kitabnya an-nasyr menggambarkan situasi pada abad kedua dan ketiga dalam hal qiro’ah yang beeredar di masyarakat, bahwa keadaannya sudah mulaitidak kondusif. Hamper saja kebenaran bercampur dengan kebathilan. Pada sisi lain, adanya mushaf ustmanni yang di tulis pada masa sahabat ustman tidak terdapat tanda baca, bisa menjadi pintu gerbang yang mulusbagi ahli bid’ah untuk membaaca apa saja yang ia kehendaki tanpa bersandar pada riwayat yang shahih. Muhammad al-jaawwad al-a’mili menambahkan bahwa minat masyarakat untuk mempelajari qiro’ah dengan banyak riwayat semakin menurun. Melihat situasi ini ulama’ qiro’ah mulai tanggap lalu memilih dan memilah bacaan yang di anggap bacaan yang benar-benar sah. Mereka lalu menetapkan standar tentang bacaan yang bisa di terima yaitu:
-       Bacaan tersebut benar-benar mutawatir dan masyhu di kalangan ulama’ qiro’ah
-       Sesuai denga rosm ustmani, jika ada bacaan yang menyelisihi rosm ustmani maka bacaan tersebut tidak di terima
-       Sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa arab, karena al-qur’an adalah berbahasa arab
Pada permulaan abad ke empat hijriyah, ulama’ qiro’ah memilih orang-orang yang di pandang mupuni dalam hal qiro’at, terpercya, masyhur, mempunyai pengalaman cukup lama dalam pengajaran ilmu qiro’ah. Mereka memilih ulama’ ahli qiro’ah dari setiap negeri di mana mushaf rosm ustmani di kirim kepada negeri tersebut. Mereka adalah:
Imam Nafi’ ibn Abi Nu’aim al-Ashfahani (w. 169 H)
Imam Abdullah ibn Katsir (w. 120 H)
Imam Abu Amr al-Bashri (w. 154 H)
Imam Abdullah ibn Amir (w. 118 H)
Imam Ashim ibn Abi Najud (w. 129 H)
Imam Hamzah bin Habib az-Zayyad (w. 156 H)
Imam al-Kisa’i Ali bin Hamzah (w. 189 H)
Orang yang pertama mempunyai prakarsa untuk memilih imam tujuh ini atau penggagas qiro’ah a-sab’ adalah imam Abu Bakar bin Mujahid al-Baghdadi (w. 324 H). kitab as-Sab’ah yang di tulisnya akhirnya menjadi rujukan banyak kalangan.
Setelah kemunculan kitab as-sab’ah ini, terjadi perubahan positif yang mengarah pada penyusunan kitab qiro’ah. Para ulama’ qiro’at mulai meneliti riwayat yang akhirnya bermuara pada imam tujuh tersebut. Ternyata para perawi dari ilmu tersebut sangat banyak sekali, belum lagi jika di tambah perawi-perawi yang di bawahnya. Jika semuanya di jumlahkan bisa mencapai puluhan bahkan ratusan rawi. Sebagai contoh imam abu amr ad-dani (w. 444 H) dalam kitabnya jami’atul bayan fi qiro’at as;sab’ mencantumkan rawi-rawi dari imam tujuh dan jumlahnya sampai lima ratus lebih sebagaimana di utarakan oleh Imam ibnu al-Jazari dalam kitabnya an-nasyr fil qiro’ah al-asyr.
Dengan keadaan ini bisa menyusahkan bagi para peminat ilmu qiro’ah, sehingga Imam Abu Amr ad-Dani (w. 444 H) menyederhanakan jumlah perawi dari setiap imam menjadi dua rawi saja. Dalam kitabnnya yang lain yaitu at-taysir fil qiro’ah as-sab’, ad-Dani hanya mencantumkan dua rawi saja dari setiap imam. Alasannya agar para peminat ilmu qiro’ah lebih mudah dalam menguasai ilmu ini. Dua perawi yang ada pada setiap imam adalah perawi yang sangat masyhur. Mereka adalah:
a.         Imam Nafi’: rawinya Qolun dan Warsy
b.        Imam Ibnu Katsir: rawinya al-Bazzi dan Qunbul
c.         Imam Abu Amr: rawinya ad-Duri dan as-Susi
d.        Imam Ibnu Amir: rawinya Hisyam dan Ibnu Dakwan
e.         Imam Ashim: rawinya Syu’bah dan Hafsh
f.         Imam Hamzah: rawinya Khollaf dan Khollad
g.        Imam al-Kisa’i: rawinya Abu al-Harist dan ad-Duri al-Kisa’i
Dengan penyederhanaan ini, lebih mudah mengenal qiro’ah imam tujuh tersebut. Selanjutnya agar mudah memudahkan menghafal materi imam tujuh, datanglah seorang yang bernama imam asy-syatibi (w. 591 H) pengarang kitab “hirzul amaniy a wajhut-tahani” yaitu kitab yang berisi syair (nadzom) yang memuat 1071 bait syair yang berisi qiro’atnya imam tujuh.

b)              Qiro’ah Sepuluh (al-Qiro’ah al-Asyr)
Di samping imam tujuh, masih ada lagi qiro’ah yang juga masyhur di kalangan para ulama’ yaitu qiro’ah sepuluh (al-Qiro’ah al-Asyr). Mereka adalah imam tujuh tersebut di tambah:
a.         Imam Abu Ja’far Yazid bin al-Qa’qa (w. 130 H) guru imam Nafi’, denga dua rawinya yang Masyhur yaitu Ibnu Wardan dan Ibnu Jammaz
b.        Imam Ya’qub al-Hadromi (w. 205 H) dengan rawinya yaitu Ruwais dan Rouh
c.         Imam Khollaf bin Hisyam al-Bazzar (w. 229 H) dengn rawinya Ishaq dan Idris
Bacaan mereka dari segi kualitas bisa disamakan dengan qiro’at tujuh karena bacaan mereka memenuhi tiga persyaratan diterimannya dan shahihnya sebuah qiro’ah sebagaimana di sebutkan standarnya di atas.
Bacaan imam sepuluh di himpun sangat baik dan sangat teliti oleh imam ibnu al-jazari (w. 833 H) dalam kitabnya an-nasyr fil qiro’at al-asyr.
c)              Qiro’at Empat Belas (al-Qiro’ah al-Arba’ah ‘Asyr)
Para ulama’ masih terus berupaya menghimpun qiro’at imam lainnya.lalu muncul empat imam yang lain. Hanya saja bacaan mereka di bawah kualitas imam sepuluh oleh karena itu ulama’ qiro’at sepakat bahwa qiro’atnya empat imam ini syadz. Artinya, tidak boleh di baca sebagai al-qur’an karena tidak memenuhi tiga standar yang telah di tetapkan oleh para ulama’. Mereka adalah:
a.       Ibnu Muhaisin (w. 122 H) dengan dua rawinya yaitu al-Bazzi dan Ibnu Syannabuz.
b.      Al-Yazidi rawinya Sulaiman bin al-Hakam dan Ahmad bin Farah.
c.       Al-A’masy (w. 147 H) rawinya yaitu al-Muttawi’i dan asy-Syanabuzi.
d.      Al-Hasan al-Basri dengan rawinya Syuja’ al-Balkhi dan ad-Duri.
Adapun qiro’at yang masih sering di baca hingga saat ini antara lain, qiro’at Nafi’ riwayat Warsy. Riwayat ini masih banyak di baca oleh kaum muslimin di wilayah Afrika Utara seperti al-Jazair dan selainnya. Qiro’at Nafi’ riwayat Qolun riwayat ini juga masih banyak di baca di wilayah Libya. Qiro’at abu Amr riwayat ad-Duri, masih banyak di baca di sudan. Qiro’at Ashim riwayat Hafsh. Riwayat ini yang paling masyhur dan palinh banyak beredar di seluruh penjuru dunia.


[1] Drs. H muhassyim abd. Majid, tarikhu wa manhaj al-qurro’ al-asyroh,
[2] Departemen Agama RI, mukadimah al-qur’an dan tafsirnya, Jakarta, juni, 2008, hal 316.
[3] Departemen Agama RI, mukadimah al-qur’an dan tafsirnya, hal 316.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar