BAB I
PENDAHULUAN
1.
LATAR
BELAKANG
Al-qur’an
adalah firman Allah yang diturunkan
kepada nabi Muhammad Saw melalui malaikat Jibril yang berfungsi sebagai
petunjuk bagi sekalian Manusia, pembeda antara yang haq dan yang bathil,
membacanya merupakan ibadah, yang di awali surat al-fatihah dan di akhiri surat
an-nas.
Oleh
karena itu, membaca al-qur’an tidak boleh asal bunyi tetapi harus bersandar
pada riwayat yang mutawatir, yang di ajarkan kepada kita oleh guru-guru kita,
yang sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah Saw.
Al-qur’an
yang di baca oleh umat islam di Indonesia dan umat islam di dunia pada umunya
itu baru sebagian wajah atau qiro’at saja, akan tetapi di balik wajah-wajah
tersebut masih banyak qiro’at-qiro’at yang lain; ada tujuh bahkan sampai empat
belas.[1]
Sebagian
Ulama’ mempersamakan antara al-qur’an dengan qiro’at, karena qiro’at yang telah
di terima adalah al-qur’an juga. Namun,
sebagian yang lain mengatakan bahwa antara al-qur’an dan qiro’at ada perbedaan.
Al-qur’an adalah wahyu allah yang di turunkan kepada nabi Muhammad Saw sebagai
petunjuk dan menjadi mukjizat. Sementara al-qiro’at adalah perbedaan redaksi
dan cara membacanya dari wahyu tersebut.[2]
2.
RUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah
yang telah kami paparkan di atas kami akan merumuskan beberapa masalah untuk
acuan pembuatan makalah ini:
1)
Apakah definisi
ilmu qiro’ah
2)
Bagaimana
sejarah dan perkembangan ilmu qiro’ah
3)
Adakah
perbedaan-perbedaan qiro’ah yang berdampak pada perbedaan makna
BAB II
PEMBAHASAN
A.
DEFINISI
ILMU QIRO’AH
Ilmu Qiro’at sebagaimana yang di definiskan oleh al-jazari
adalah:
Ilmu yang mempelajari tata cara pengucapan redaksi
al-qur’an dan perbedaannya dengan menyandarkan bacaan tersebut pada
perawi-perawinya.
Dari pengertian ini bisa di ambil beberapa pengertian:
a)
Fokus ilmu
dan obyek ilmu ini adalah al-qur’an bukan maknanya. Berbeda dengan ilmu tafsir
yang menitik beratkan kepada cara memahami makna atau maksud dari al-qur’an.
b)
Ilmu ini
adalah ilmu riwayat atau ilmu yang berdasarkan pada penukilan dari para ahli
qiro’at secara bersambung sampai kepada nabi Muhammad Saw. Tidak ada unsur
ijtihad dalam ilmu ini, karena semua bacaan berdasarkan pengucapan dari lisan orang-orang
yang ahli qiro’at secara berkesinambungan.[3]
B.
SEJARAH DAN
PERKEMBANGAN ILMU QIRO’AH
1)
SEJARAH ILMU
QIRO’AH
Jauh sebelum al-qur’an di turunkan bangsa arab terdiri dari
beberapa kabilah. Secara garis besar mereka tergolong menjadi dua kelompok.
Pertama, mereka yang berada di kawasan pedesaan atau badui. Kedua, mereka yang berada
di perkotaan (hadari). Dua kelompok ini mempunyai dialek yang berbeda walaupun
bahasa nasional mereka sama, yaitu bahasa arab yang akhirnya di gunakan untuk bahasa
al-qur’an. Ulama’ gramatika bahasa arab telah berhasil mengklasifikasikan dialek
yang sering digunakan oleh suku-suku badui dan mana dialek-dialek yang sering
di gunakan oleh hadari (perkotaan). Sebagai contoh, kabilah badui sering
menggunakan imalah sementara kelompok
yang lainnya jarang menggunakannya, tetapi sering menggunakan fathah. Kelompok pertama sering
menggunakan idgom, sedangkan kelompok
kedua tidak. Kelompok pertama sering membaca kalimah yang ada hamzahnya dengan tahqiq, sedangkan kelompok yang satu
cenderung melunakkannya dengan berbagai macam cara, dan lain sebagainya.
Dalam keadaan itulah al-qur’an di turunkan kepada nabi Muhammad
menghadapi kenyataan ini dan lainya. nabi telah meminta keringanan dari Allah, supaya
Allah meringankan cara membaca al-quran. Lalu turunlah hadist “al-Ahruf
as-Sab’ah” yang terkenal itu:
ان هذا القران انزل على سبعة احرف
،فاقرءوا ما تيسر منه
Sesungguhnya Al-qur’an ini di turunkan atas tujuh
huruf,maka bacalah apa yang mudah darinya.
Pada riwayat lain di sebutkan bahwa Jibril atas perintah Allah
memerintahkan kepada nabi Muhammad Saw agar membacakan al-qur’an kepada umatnya
dengan satu huruf. Lalu nabi meminta hal itu di tinjau kembali. Allah
memberinya keringanan menjadi dua huruf. Nabi masih meminta hal itu ditinjau
kembali sampai akhirnya Nabi di beri keringanan sampai tujuh huruf.
Hadist ini dikemukakan oleh Imam as-Suyuti dalam kitab al-itqon
diriwayatkan oleh 21 sahabat dan hadits ini menjadi sangat terkenal.
Dalam beberapa riwayat dan hadits-hadits tentang al-ahruf
as-sab’ah Nabi mengemukakan kepada allah tentang sebabnya beliau meminta
keringanan,yaitu bahwa umatnya terdiri dari berbagai macam lapisan masyarakat
dan umur. Ada yang tidak bidsa membaca dan menulis,ada yang sudah tua dan ada
pula yang masih kecil. Semuanya adalah pembaca al-qur’an. Jika mereka di
haruskan mebaca al-qur’an dengan satu variasi bacaan saja akan mengalami
kesukaran. Padahal al-qur’an perlu di sosialisasikan kepada masyarakat. Dalam
riwayat at-Tirmizi Nabi berkata pada jibril:
يا
جبريل،انى بعثت الى امة اميين،منهم العجوز والشيخ الكبير والغلام والجارية والرجل
الذى لم يقرا كتابا قط
Wahai jibril ,aku di utus kepada umat ummi, di antara
mereka ada yang tua renta, anak kecil dan orang yang sama sekali tidak bisa
membaca.
Dengan berbekal peringanan ini nabi mengajarkan al-qur’an
kepada para sahabatnnya dengan berbagai macam cara tersebut. Ada beberapa
kejadian yang menyangkut para sahabat yang saling menyalahkan bacaan yang lain.
Akan tetapi, setelah di jelaskan oleh nabi bahwa semua perbedaan itu berasal
dari Allah mereka memahaminya.
2)
PERKEMBANGAN
ILMU QIRO’AH
Pada masa itu perkembangan ilmu qiraat dan pengajaran
bacaan al-qur’an terus dilakukan oleh kaum Muslimin. Hal ini menjadikan bacaan al-qur’an
yang beragam versi tersebar ke masyarakat. Lalu munculah nama-nama ahli qiraat
ada setiap negeri. Di Madainah ada Muaz bin al-Qori’ (w. 63 H), urwah bin
zubair (w. 95 H), Abdurrohman bin Hurmuz al-A’raj (w. 117 H) dan lain-lain. Di Makkah
ada Ubaid bin Umair (w. 74 H), Mujahid bin Jabr (w. 103 H). Di Kufah ada al-Qomah
bin Qais (w. 62 H), Zir bin Hubbaisy (w. 82 H). Di Basrah ada Yahya bin Ya’mur (w.
90 H), Amir bin Qais (w. 55 H). Di Syam ada al-Mughiroh bin Abi Syihab al-Makhzumi
(w. 70 H).
Dari sekian banyak ulama’ qiro’ah yang ada di negeri-negeri
tersebut muncul lah nama-nama yang paling berpengaruh dalam ilmu qiro’ah antara
lain : di madinah ada Nafi’ bin Abi Nuaim (w. 169 h). di Makkah ada Abdullah
bin Kastir (w. 120 H). Di Kufah ada ‘Ashim bin Abi Najud (w. 129 H), Hamzah bin
Habib (w. 156 H), al-Kisa’i (w. 189 H). Di Basrah ada Abu Amr bin Abi al-A’la (w.
154 H). Di Syam ada Abdullah bin Amir (w. 118 H). dan masih banyak lagi yang
lainnya. Mereka itulah yang karena ketekunannya menggeluti ilmu ini dan lamanya
mengajar, akhirnya menjadi orang-orang yang bisa di peertanggung jawabkan
keilmuaanya. Merekalah yang akhirnya di pilih ssebagai ahli qiro’at yang bacaan
mereka terabadikan hingga saat ini melalui apa yang di sebut qiroat as-sab’ah
dan qiro’at ‘asyr.
Pada abad kedua hijriyah, sejalan dengan perkembangan ilmu-ilmu
keislaman, qiro’at yang bermacam-macam tersebut mendapat perhatiian dari
ulama’. Mereka menghimpun bacaan-bacaan tersebut dalam kitab merreka. Para
ulama’ tersebut menghimpun qiro’at yang mereka dapatkan dari guru-guru mereka.
Oleh karena itu, jjumlah qiro’at tidak
ada yang sama dari satu kitab dengan
kitab yang lain. Sebagai cantoh ‘Abu Ubaid bin Salah (w. 224 H)
menghimpun bacaannya sebanyak 25 imam qiro’at. Ahmad bin Jubair al-Intaqi (w.
258 H) menghimpun bacaannya sebanyak 5 imam qiro’at. Lalu al-Qodi Ismail bin
Ishaq al-Maliki (w. 282 H) menghimpun bacaannya sebanyak 20 imam qiro’ah. Dan
masiuh banyak lagi yang lainnya. hal tersebut menunjukkan bahwa penulisan ilu
qiro’at pada masa itu belum menemukan persamaan antara satu penulis dengan penuls
yang lainnya.
3)
PEMBAGIAN
QIRO’AT
a)
Qiro’ah
Tujuh (al-Qiro’ah As-Sab’)
Ibnu al-jazari dalam kitabnya an-nasyr
menggambarkan situasi pada abad kedua dan ketiga dalam hal qiro’ah yang
beeredar di masyarakat, bahwa keadaannya sudah mulaitidak kondusif. Hamper saja
kebenaran bercampur dengan kebathilan. Pada sisi lain, adanya mushaf ustmanni
yang di tulis pada masa sahabat ustman tidak terdapat tanda baca, bisa menjadi
pintu gerbang yang mulusbagi ahli bid’ah untuk membaaca apa saja yang ia
kehendaki tanpa bersandar pada riwayat yang shahih. Muhammad al-jaawwad
al-a’mili menambahkan bahwa minat masyarakat untuk mempelajari qiro’ah dengan
banyak riwayat semakin menurun. Melihat situasi ini ulama’ qiro’ah mulai
tanggap lalu memilih dan memilah bacaan yang di anggap bacaan yang benar-benar
sah. Mereka lalu menetapkan standar tentang bacaan yang bisa di terima yaitu:
-
Bacaan
tersebut benar-benar mutawatir dan masyhu di kalangan ulama’ qiro’ah
-
Sesuai denga
rosm ustmani, jika ada bacaan yang menyelisihi rosm ustmani maka bacaan
tersebut tidak di terima
-
Sesuai
dengan kaidah-kaidah bahasa arab, karena al-qur’an adalah berbahasa arab
Pada permulaan abad ke empat hijriyah,
ulama’ qiro’ah memilih orang-orang yang di pandang mupuni dalam hal qiro’at,
terpercya, masyhur, mempunyai pengalaman cukup lama dalam pengajaran ilmu
qiro’ah. Mereka memilih ulama’ ahli qiro’ah dari setiap negeri di mana mushaf
rosm ustmani di kirim kepada negeri tersebut. Mereka adalah:
Imam
Nafi’ ibn Abi Nu’aim al-Ashfahani (w. 169 H)
Imam
Abdullah ibn Katsir (w. 120 H)
Imam
Abu Amr al-Bashri (w. 154 H)
Imam
Abdullah ibn Amir (w. 118 H)
Imam
Ashim ibn Abi Najud (w. 129 H)
Imam
Hamzah bin Habib az-Zayyad (w. 156 H)
Imam
al-Kisa’i Ali bin Hamzah (w. 189 H)
Orang yang pertama mempunyai prakarsa
untuk memilih imam tujuh ini atau penggagas qiro’ah a-sab’ adalah imam Abu
Bakar bin Mujahid al-Baghdadi (w. 324 H). kitab as-Sab’ah yang di tulisnya
akhirnya menjadi rujukan banyak kalangan.
Setelah kemunculan kitab as-sab’ah
ini, terjadi perubahan positif yang mengarah pada penyusunan kitab qiro’ah.
Para ulama’ qiro’at mulai meneliti riwayat yang akhirnya bermuara pada imam
tujuh tersebut. Ternyata para perawi dari ilmu tersebut sangat banyak sekali,
belum lagi jika di tambah perawi-perawi yang di bawahnya. Jika semuanya di
jumlahkan bisa mencapai puluhan bahkan ratusan rawi. Sebagai contoh imam abu
amr ad-dani (w. 444 H) dalam kitabnya jami’atul bayan fi qiro’at as;sab’
mencantumkan rawi-rawi dari imam tujuh dan jumlahnya sampai lima ratus lebih
sebagaimana di utarakan oleh Imam ibnu al-Jazari dalam kitabnya an-nasyr fil
qiro’ah al-asyr.
Dengan keadaan ini bisa menyusahkan
bagi para peminat ilmu qiro’ah, sehingga Imam Abu Amr ad-Dani (w. 444 H)
menyederhanakan jumlah perawi dari setiap imam menjadi dua rawi saja. Dalam
kitabnnya yang lain yaitu at-taysir fil qiro’ah as-sab’, ad-Dani hanya
mencantumkan dua rawi saja dari setiap imam. Alasannya agar para peminat ilmu
qiro’ah lebih mudah dalam menguasai ilmu ini. Dua perawi yang ada pada setiap
imam adalah perawi yang sangat masyhur. Mereka adalah:
a.
Imam Nafi’:
rawinya Qolun dan Warsy
b.
Imam Ibnu
Katsir: rawinya al-Bazzi dan Qunbul
c.
Imam Abu Amr:
rawinya ad-Duri dan as-Susi
d.
Imam Ibnu
Amir: rawinya Hisyam dan Ibnu Dakwan
e.
Imam Ashim:
rawinya Syu’bah dan Hafsh
f.
Imam Hamzah:
rawinya Khollaf dan Khollad
g.
Imam al-Kisa’i:
rawinya Abu al-Harist dan ad-Duri al-Kisa’i
Dengan penyederhanaan ini, lebih mudah
mengenal qiro’ah imam tujuh tersebut. Selanjutnya agar mudah memudahkan
menghafal materi imam tujuh, datanglah seorang yang bernama imam asy-syatibi
(w. 591 H) pengarang kitab “hirzul amaniy a wajhut-tahani” yaitu kitab
yang berisi syair (nadzom) yang memuat 1071 bait syair yang berisi qiro’atnya
imam tujuh.
b)
Qiro’ah
Sepuluh (al-Qiro’ah al-Asyr)
Di samping imam tujuh, masih ada lagi
qiro’ah yang juga masyhur di kalangan para ulama’ yaitu qiro’ah sepuluh (al-Qiro’ah
al-Asyr). Mereka adalah imam tujuh tersebut di tambah:
a.
Imam Abu
Ja’far Yazid bin al-Qa’qa (w. 130 H) guru imam Nafi’, denga dua rawinya yang Masyhur
yaitu Ibnu Wardan dan Ibnu Jammaz
b.
Imam Ya’qub al-Hadromi
(w. 205 H) dengan rawinya yaitu Ruwais dan Rouh
c.
Imam Khollaf
bin Hisyam al-Bazzar (w. 229 H) dengn rawinya Ishaq dan Idris
Bacaan mereka dari segi kualitas bisa
disamakan dengan qiro’at tujuh karena bacaan mereka memenuhi tiga persyaratan
diterimannya dan shahihnya sebuah qiro’ah sebagaimana di sebutkan standarnya di
atas.
Bacaan imam sepuluh di himpun sangat
baik dan sangat teliti oleh imam ibnu al-jazari (w. 833 H) dalam kitabnya
an-nasyr fil qiro’at al-asyr.
c)
Qiro’at
Empat Belas (al-Qiro’ah al-Arba’ah ‘Asyr)
Para ulama’ masih terus berupaya
menghimpun qiro’at imam lainnya.lalu muncul empat imam yang lain. Hanya saja
bacaan mereka di bawah kualitas imam sepuluh oleh karena itu ulama’ qiro’at
sepakat bahwa qiro’atnya empat imam ini syadz. Artinya, tidak boleh di baca
sebagai al-qur’an karena tidak memenuhi tiga standar yang telah di tetapkan
oleh para ulama’. Mereka adalah:
a.
Ibnu Muhaisin
(w. 122 H) dengan dua rawinya yaitu al-Bazzi dan Ibnu Syannabuz.
b.
Al-Yazidi rawinya
Sulaiman bin al-Hakam dan Ahmad bin Farah.
c.
Al-A’masy (w.
147 H) rawinya yaitu al-Muttawi’i dan asy-Syanabuzi.
d.
Al-Hasan al-Basri
dengan rawinya Syuja’ al-Balkhi dan ad-Duri.
Adapun qiro’at yang masih sering di
baca hingga saat ini antara lain, qiro’at Nafi’ riwayat Warsy. Riwayat ini
masih banyak di baca oleh kaum muslimin di wilayah Afrika Utara seperti al-Jazair
dan selainnya. Qiro’at Nafi’ riwayat Qolun riwayat ini juga masih banyak di
baca di wilayah Libya. Qiro’at abu Amr riwayat ad-Duri, masih banyak di baca di
sudan. Qiro’at Ashim riwayat Hafsh. Riwayat ini yang paling masyhur dan palinh
banyak beredar di seluruh penjuru dunia.
[1] Drs. H muhassyim abd. Majid, tarikhu wa manhaj al-qurro’ al-asyroh,
[2] Departemen Agama RI, mukadimah al-qur’an dan tafsirnya, Jakarta,
juni, 2008, hal 316.
[3] Departemen Agama RI, mukadimah al-qur’an dan tafsirnya, hal 316.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar