Selasa, 20 Februari 2018

resume kuliah, Senin, 19/02/2018


Resume kuliah “Kaidah Tafsir” yang diampu oleh KH. Dr. Ahmad Husnul Hakim, IMZi, MA.

Oleh: Ahmad Munthaha Al-Fathi

Dihari senin, biasa kami mahasiswa IAT PTIQ semester IV biasa digabung antara kelas A & B. Hari ini –Senin, 19/02/18- kami mempelajari kaidah athaf waw (و) yang kedua, yaitu huruf athaf yang berfungsi “li al-Tafriq” (pembeda). Dan huruf athaf waw yang ke-tiga, yaitu huruf athaf waw yang berfungsi sebagai “Lil Awwaliyyat” (skala prioritas). Sedangkan pekan kemarin kami mempelajari kaidah athaf waw “Li Muthlaqil Jam’i” (penggabungan sesuatu yang sama-sama kuatnya).
Dalam kaidah athaf yang ke-dua ini kami disuguhi dengan contoh yang menarik yaitu: QS. Al-Bayyinah ayat pertama; dalam ayat tersebut terdapat kalimat من أهل الكتاب والمشركين  waw athaf tersebut mempunyai fungsi “li al-Tafriq” (pembeda), karena meskipun sama-sama Non Muslim tetapi berbeda konskuensi hukumnya.
Ahli kitab dengan Musyrik itu berbeda, kalau ahli kitab adalah orang non muslim tetapi mempunyai agama, Yahudi atau kristiani misalkan. Sedangkan Musyrik, adalah orang yang non muslim namun tidak memiliki agama –penyembah pagan-. Setiap kata musyrik dalam al-qur’an, kebanyakan –kalau enggan menyebut semua- itu memiliki makna Muysrikin makkah.
Dalam masalah pernikahan beda agama misalkan, maka orang muslim boleh menikahi ahli kitab tetapi tidak ada atau belum ditemukan pendapat yang mengatakan boleh menikahi orang musyrik. Meskipun terdapat catatan kebolehannya: yaitu lelaki muslim boleh menikahi perempuan ahli kitab, namun tidak untuk sebaliknya.
Maka waw tersebut lebih tepat dipahami sebagai “li al-Tafriq” (pembeda). Yaitu pembeda antara term “Ahli Kitab” dengan term “Musyrik”.
Kebolehan nikah dengan ahli kitab bisa kita lihat QS. Al-Maidah 05, dan larangan menikahi serta menikahkan dengan orang musyrik bisa kita lihat di QS. Al-Baqoroh 121. Dengan seperti itu maka kita bisa membedakan antara ahli kitab dan musyrik. Meskipun keduanya adalah non islam.
Adapun masalah kebolehannya pasti banyak perdebatan dan perbedaan pendapat didalamnya. Namun abah –begitulah kami biasa memanggil dosen kami yang satu ini.- membuka wawasan kami dengan memberi beberapa pandangan yang akan coba kami paparkan.
Kenapa hanya boleh mempunyai agama? Itu dikarenakan semua agama mempunyai ajaran universal tentang kebaikan. Dan mengapa hanya boleh lelaki muslim menikahi perempuan ahli kitab bukan sebaliknya? Disini abah memberikan gambaran pada waktu dahulu ulama’ menetapkan hal itu karena garis keturunan dizaman itu adalah patriarkhi (garis kebapakan lebih kuat). Maka dikhawatirkan jika yang ahli ktab adalah bapaknya maka keturunannya ikut agama bapaknya semua. Dan juga karena tanggung awab adalah dipundak suami serta yang mempunyai akad atau yang melaksanakan akad adalah suami.
Dan juga ada salah satu mahasiswa yang mengutip pendapatnya Syaikh Sya’rawi rahimahullah saat ditanya pemuda tentang pernikahan beda agama, mengapa hanya boleh lelaki muslim menikahi ahli kitab dan bukan sebaliknya? Karena lelaki kami mengimani nabi kalian dan kalian tidak mengimani nabi kami “jawab syaikh sya’rawi”. Jika lelaki kalian mau menkahi perempuan kami maka harus mengimani nabi kami terlebih dahulu (otomatis harus bersyahadat). Disinilah kecerdikan dan kecerdasan ulama’ kita.
Demikian curhatan kuliah kami, jika ada kebenaran itu murni karena taufiq dan hidayah dari Allah Swt. Jika ditemukan esalahan sudilah kiranya pembaca meluruskannya demi kabaikan bersama.
Wallahu a’lam...


2 komentar:

  1. referensinya dari mana min?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ada buku beliau sendiri, Kaidah-kaidah Penafsiran.
      Coba search Ahmad Husnul Hakim, IMZI

      Hapus