Resume kuliah “Kaidah Tafsir” yang diampu oleh KH. Dr. Ahmad
Husnul Hakim, IMZi, MA.
Oleh: Ahmad Munthaha Al-Fathi
Dihari senin, biasa kami mahasiswa IAT PTIQ semester IV
biasa digabung antara kelas A & B. Hari ini –Senin, 19/02/18- kami
mempelajari kaidah athaf waw (و) yang kedua, yaitu huruf athaf yang berfungsi “li al-Tafriq”
(pembeda). Dan huruf athaf waw yang ke-tiga, yaitu huruf athaf waw yang
berfungsi sebagai “Lil Awwaliyyat” (skala prioritas). Sedangkan pekan
kemarin kami mempelajari kaidah athaf waw “Li Muthlaqil Jam’i”
(penggabungan sesuatu yang sama-sama kuatnya).
Dalam kaidah athaf yang ke-dua ini kami disuguhi dengan
contoh yang menarik yaitu: QS. Al-Bayyinah ayat pertama; dalam ayat tersebut
terdapat kalimat من أهل الكتاب والمشركين waw athaf
tersebut mempunyai fungsi “li al-Tafriq” (pembeda), karena meskipun
sama-sama Non Muslim tetapi berbeda konskuensi hukumnya.
Ahli kitab dengan Musyrik itu berbeda, kalau ahli kitab
adalah orang non muslim tetapi mempunyai agama, Yahudi atau kristiani misalkan.
Sedangkan Musyrik, adalah orang yang non muslim namun tidak memiliki agama
–penyembah pagan-. Setiap kata musyrik dalam al-qur’an, kebanyakan –kalau
enggan menyebut semua- itu memiliki makna Muysrikin makkah.
Dalam masalah pernikahan beda agama misalkan, maka orang
muslim boleh menikahi ahli kitab tetapi tidak ada atau belum ditemukan pendapat
yang mengatakan boleh menikahi orang musyrik. Meskipun terdapat catatan
kebolehannya: yaitu lelaki muslim boleh menikahi perempuan ahli kitab, namun
tidak untuk sebaliknya.
Maka waw tersebut lebih tepat dipahami sebagai “li
al-Tafriq” (pembeda). Yaitu pembeda antara term “Ahli Kitab” dengan term
“Musyrik”.
Kebolehan nikah dengan ahli kitab bisa kita lihat QS.
Al-Maidah 05, dan larangan menikahi serta menikahkan dengan orang musyrik bisa
kita lihat di QS. Al-Baqoroh 121. Dengan seperti itu maka kita bisa membedakan
antara ahli kitab dan musyrik. Meskipun keduanya adalah non islam.
Adapun masalah kebolehannya pasti banyak perdebatan dan
perbedaan pendapat didalamnya. Namun abah –begitulah
kami biasa memanggil dosen kami yang satu ini.- membuka wawasan kami dengan
memberi beberapa pandangan yang akan coba kami paparkan.
Kenapa hanya boleh mempunyai agama? Itu dikarenakan
semua agama mempunyai ajaran universal tentang kebaikan. Dan mengapa hanya
boleh lelaki muslim menikahi perempuan ahli kitab bukan sebaliknya? Disini abah
memberikan gambaran pada waktu dahulu ulama’ menetapkan hal itu karena garis
keturunan dizaman itu adalah patriarkhi (garis kebapakan lebih kuat). Maka
dikhawatirkan jika yang ahli ktab adalah bapaknya maka keturunannya ikut agama
bapaknya semua. Dan juga karena tanggung awab adalah dipundak suami serta yang
mempunyai akad atau yang melaksanakan akad adalah suami.
Dan juga ada salah satu mahasiswa yang mengutip
pendapatnya Syaikh Sya’rawi rahimahullah saat ditanya pemuda tentang pernikahan
beda agama, mengapa hanya boleh lelaki muslim menikahi ahli kitab dan bukan
sebaliknya? Karena lelaki kami mengimani nabi kalian dan kalian tidak mengimani
nabi kami “jawab syaikh sya’rawi”. Jika lelaki kalian mau menkahi perempuan
kami maka harus mengimani nabi kami terlebih dahulu (otomatis harus
bersyahadat). Disinilah kecerdikan dan kecerdasan ulama’ kita.
Demikian curhatan kuliah kami, jika ada kebenaran itu
murni karena taufiq dan hidayah dari Allah Swt. Jika ditemukan esalahan sudilah
kiranya pembaca meluruskannya demi kabaikan bersama.
Wallahu a’lam...
referensinya dari mana min?
BalasHapusAda buku beliau sendiri, Kaidah-kaidah Penafsiran.
HapusCoba search Ahmad Husnul Hakim, IMZI