Minggu, 07 Oktober 2018

Makalah Met. Pengajaran Al-Qur'an


PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Manusia diciptakan oleh penciptanya dengan keadaan sebaik-baik ciptaan (Ahsani Taqwim), dia dilahirkan ke bumi ini dengan membawa potensi-potensi alamiyyah yang akan membawanya kepada derajat yang lebih mulia apabila di asahnya. Diantara potensi yang dibawa sejak lahir itu adalah pendengaran, penglihatan dan rasa / hati (QS.16.78).
Dengan adanya potensi alamiyyah tersebut maka kita diharuskan untuk menumbuh kembangkannya dengan cara apapun, salah satunya dengan belajar. Karena dari pross belajar inilah manusia akan mengetahui apa yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya di dunia ini. Oleh sebab itu pula maka nabi mengajarkan “ajarkanlah kepada anak-anakmu dengan tiga hal: mencintai nabinya, mencintai keluarganya dan membaca Al-Qur’an (Hadist)” dan masih banyak dawuh-dawuh Nabi yang lain yang senada dengan itu.
Dalam kaitannya dengan ummat islam maka ada hal yang harus ditanamkan sejak anak-anak adalah mempelajari Al-Qur’an, karena Al-Qur’an adalah kitab suci ummat islam kitab petunjuk dalam hal keagamaan sekaligus kitab petunjuk dalam ilmu pengetahuan.
2.      Rumusan Masalah
a.       Definisi Pengajaran Al-Qur’an
b.      Keutamaan Belajar dan Mengajar Al-Qur’an
c.       Cara-Cara Mengajar Al-Qur’an

PEMBAHASAN
1.      Definisi Pengajaran Al-Qur’an
Sebelum membahas tentang pembelajaran Al-Qur’an, terlebih dahulu diuraikan tentang pengertian dari istilah tersebut. Pembelajaran Al-Qur’an terdiri dari dua kata yakni “kata pembelajaran”dan “kata Al-Qur’an”. Kata pembelajaran yang kami analisa adalah pembelajaran dalam arti membimbing dan melatih anak untuk membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar serta dapat mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Kata pembelajaran, sebelumnya dikenal dengan istilah pengajaran. Dalam bahasa arab di istilahkan “ta’lim” dalam kamus inggris elias dan Elias (1982) diartikan “to teach; to educated; to intruct; to train” yaitu mengajar, mendidik, atau melatih. Pengertian tersebut sejalan dengan ungkapan yang dikemukakan Syah (1996), yaitu “allamal ilma”. Yang berarti to teach atau to intruct (mengajar atau membelajarkan).
Untuk memahami definisi dari pengajaran Al-Qur’an maka perlu kita carikan arti kata dari pengajaran dan Al-Qur’an itu sendiri. Banyak sekali definisi pengajaran menurut banyak ahli, diantaranya: Menurut KBBI Pengajaran merupakan kegiatan yang dilakukan guru dalam menyampaikan pengetahuan kepada siswa. Pengajar juga diartikan sebagai interaksi belajar dan mengajar, pengajaran berlangsung sebagai suatu proses yang saling mempengaruhi antara guru dan murid.
Sedang menurut Mahanni Rajali Pengajaran ialah aktivitas-aktivitas yang bertujuan dan memiliki tujuan dimana guru berbagi informasi dengan mahasiswa untuk memungkinkan mereka menyelesaikan sesuatu tugas yang tidak bisa diselesaikan sendiri sebelumnya.
Menurut Komaruddin, Pengajaran merupakan suatu proses penanganan urusan untuk memungkinkan siswa mengetahui atau menyelesaikan sesuatu yang mereka tidak dapat lakukan sendiri sebelum itu.[1] Sedang menurut hemat penulis pengajaran merupakan interaksi antara seorang pengajar dan orang yang diajar untuk berbagi informasi yang mungkin belum diketahui sebelumnya.
Adapun pengertian mengenai Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada nabinya (Muhammad) yang lafadznya mengandung mukjizat, membacanya merupakan ibadah yang diturunkan secara mutawatir, yang ditulis pada mushaf yang diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri an-Naas.[2]
Dengan demikian maka pengajaran atau pembelajaran Al-Qur’an adalah interaksi antara guru dan murid dalam mempelajari AL-Qur’an. Dalam mengajar Al-Qur’an, ada beberapa aspek yang mungkin bisa dipelajari diantaranya yaitu: Membaca, menulis, menghafal, menerjemah, tafsir, perbedaan cara baca dan mungkin masih banyak hal yang bisa digali darinya.
Tidaklah keliu bahwa Al-Qur’an dinyatakan dengan ktab pendidikan. Hampir semua unsur yang berkaitan dengan kependidikan disinggung dengan tersurat maupun tersirat oleh Al-Qur’an. Rasul Saw yang menerima dan bertugas untuk menyampaikan dan mengajarkannya, menamai dirinya Guru “Bu’istu Mualliman” demikian sabda beliau.[3]
sejak dini al-Qur’an telah mengisyaratkan dalam wahyu pertama (Iqra’) bahwa ilmu yang diperoleh manusia diraih dengan dua cara. Pertama upaya belajar mengajar, dan kedua anugerah langsung dari Allah berupa ilham dan intuisi.[4]
Ada dua ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan pendidikan yang penulis ingin coba angkat, pertama QS. 01. 151. Dan QS. 62. 02.
                                     
                                                           

“Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepada kamu) Kami telah mengutus kepada kamu Rasul dari kalangan kamu. Dia membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan menyucikan kamu dan mengajarkan kepada kamu al-Kitâb dan al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. Karena itu, ingatlah kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepada kamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.”

“Dia-lah yang telah mengutus pada al-Ummiyyîn seorang Rasul dari mereka; membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, dan menyucikan mereka serta mengajarkan kepada mereka kitâb dan hikmah padahal sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”

Dari kedua ayat diatas terlihat sepintas ada perbedaan dari ayat satu dengan yang lain, diayat Al-Baqarah Allah menerangkan Tilawah, Tazkiyah, Ta’lim. Sedang dalam ayat yang lain Tilawah, Ta’lim, Tazkiyah. Ini mengisyaratkan bahwa awal pertama kali dalam belajar Al-Qur’an adalah Tilawah atau membaca, sedang yang selanjutnya Tazkiyah dan Ta’lim harus berjalan dengan beriringan. Pada saat belajar atau Ta’lim, harus juga disertai dengan Tazkiyah atau pembersihan diri.
Karena sebagaimana kita tahu bahwa ilmu adalah cahaya  seperti diungkapkan imam waki’ kepada muridnya yaitu Imam Syafi’i “sesungguhnya ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah tidak akan menunjukkan untuk orang yang bermaksiat (tidak bertazkiyah)
2.      Keutamaan Belajar Mengajar Al-Qur’an
Setiap ummat mempunyai kitab suci; injil, taurat, zabur dll. Tetapi ummat islam meyakini bahwa kitab-kitab tersebut sudahlah tidak berlaku hukumnya. Sedang ummat islam mempunyai kitab sucinya yang abadi sepanjang zaman. Maka wajib bagi ummat islam mempelajarinya. Diantara keutamaan belajar dan mengajar Al-Qur’an sangat banyak sekali dalil yang dapat kita jumpai. Diantaranya yang sangat masyhur Hadist Nabi yang diriwayatkan melalui sahabat Ustman Ra.:
عن عثمان رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه و سلم قال : ( خيركم من تعلم القرآن وعلمه )[5]

“Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.”
Dalam hadist tersebut mengandung makna bahwa belajar Al-Qur’an saja belum cukup, tetapi juga harus mengajarkan kepada orang lain.
قال رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول الرب عز و جل من شغله القرآن وذكري عن مسألتي أعطيته أفضل ما أعطي السائلين وفضل كلام الله على سائر الكلام كفضل الله على خلقه[6]

Rasulullah saw bersabda, Allah berfirman: “Barangsiapa disibukkan dengan mengkaji Al-Qur’an dan menyebut nama-Ku, sehingga tidak sempat meminta kepada-KU, maka Aku berikan kepadanya sebaik-baik pemberian yang Aku berikan kepada orang-orang yang meminta. Dan keutamaan kalam Allah atas perkataan lainnya adalah seperti, keutamaan Allah atas makhluk-Nya”. (Riwayat Tirmidzi)
Dari hadist tersebut, dapat kita fahami bahwa belajar dan mengajar Al-Qr’an, hingga hidup kita tersibukkan hal tersebut maka Allahlah yang akan menjadi jaminan hidup kita. Dan masih banyak lagi keutamaan-keutamaan belajar dan mengajar Al-Qur’an yang dapat kita gali dari riwayat-riwayat yang lain.
3.      Cara-Cara Mengajar Al-Qur’an
Pada setiap fan ilmu, tentu ada cara yang pas bagaimana cara dan strategi mengajar ilmu tersebut, begitu juga dalam mengajarkan Al-Qur’an. Ada cara-cara yang tepat untuk belajar dan mengajar Al-Qur’an supaya efektif. Memang untuk masa saat ini banyak sekali cara yang berkembang dalam belajar mengajar Al-Qur’an, baik metode-metode yang ditawarkan, misalkan Qira’ati, Tilawati, Yanbu’a, Iqro’, dan lain sebagainya.
Kita tentu banyak mengetahui banyak sekali metode yang ditawarkan saat ini untuk belajar Al-Qur’an, mulai bagaimana cara membaca hingga bagaimana menghafal, yang mana telah ditawarkan mushaf Tikrar yang disana difasilitasi tanda pengulangan dan lain sebagainya. Tetapi pernahkah kita bayangkan bagaimana cara para sahabat Nabi belajar Al-Qur’an dizamannya? Yang mana belum ada mushaf yang utuh seperti saat ini.
Namun disini penulis ingin menyajikan metode-metode yang digunakan para sahabat yang notabenenya dapat legalitas dari Nabi sendiri. Diantara metode belajar Al-Qur’an sahabat kepada Nabi adalah dengan belajar sepuluh ayat dan tidak lebih,
قال أبو عبد الرحمن السلمي : حدثنا الذي كانوا يقرئوننا القرآن كعثمان بن عفان وعبد الله بن مسعود وغيرهما ، أنهم كانوا إذا تعلموا من النبي صلى الله عليه وسلم عشر آيات ، لم يجاوزوها ، حتى يتعلموا ما فيها من العلم والعمل ، قالوا : فتعلمنا القرآن والعلم والعمل جميعا[7] 

         Dari Abi Abdurrahman as-Sulami, ia berkata, “Para pembaca Al-Qur’an semisal Utsman bin Affan, Abdullah bin Mas’ud, dll, bercerita kepada kami bahwa mereka belajar dari Rasulullah 10 ayat. Mereka tidak menambahnya sampai memahami makna kandungannya dan mengamalkannya. Mereka berkata, ‘Kami mempelajari Al-Qur’an, memahaminya, sekaligus.
Dari sini kita tahu meski para sahabat adalah orang-orang istimewa yang mendapatkan pelajaran langsung dari nabi, namun mereka tidak ngebut-ngebutan ingin cepat selesai, namun mengikuti dengan sabar dan ulet belajar Al-Qur’an. Mereka tidak akan melanjutkan ayat ke-11 sebelum mereka memahami betul dan mengamalkannya. Berbeda halnya dengan kita saat ini yang justru bangga dengan singkatnya waktu yang kita tempuh untuk mempelajari Al-Qur’an, karena kita belum mampu merasakan nikmatnya bersama Al-Qur’an tetapi merasa nikmat setelah belajar Al-Qur’an yang otomatis sudah berlalu dari Al-Qur’an itu sendiri.
Cara belajar sahabat Nabi yang ke-dua adalah dengan menghafalkannya dan memahami makna yang diajarkan oleh Nabi. Tentu kita tahu bahwa mereka adalah orang arab, namun kita juga tahu bahwa tidak semua bahasa Al-Qur’an ter-cover dengan bahasa arab pada masa mereka hidup, justru bisa saja Al-Qur’an menggunakan bahasa sebelum mereka, maka mereka perlu mempelajarinya pula. Atau ada kata-kata yang perlu mendapat penjelasan khusus dari nabi, maka mereka akan bertanya sesuatu yang tidak mereka tahu kepada Nabi.
Al-Qur’an benar-benar turun dalam masa 20 tahun lebih. Terkadang turun satu ayat, dan terkadang turun sampai beberapa ayat (10 ayat). Dan saat turun ayat maka dihafal dalam akal dan dijaga dalam hati. Umat arab dahulu tekenal dengan karakteristik daya nalar yang kuat. Karena pada umumunya buta huruf sehingga penulisan kabar, syair syair mereka catat dalam hati.
Imam al-Bukhari mengemukakan dalam kitab shahih-ya bahwa ada tiga riwayat yang menyebutkan tujuh hafizh. Mereka adalah Abdullah bin Mas’ud, Salim bin Ma’qal (pernah jadi budak Abu Hudzaifah), Mu’adz bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid bin Sakan dan Abu Darda. Tiga riwayat itu yaitu:

a.       Dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash berkata

سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : خذوا القران من اربعة : من عبد الله بن مسعود و سالم و معاد
و ابي نب كعبوهؤلاء الاربعة : اثنان من المها جرين هما : عبد الله بن مسعود و سالمواثنان من الانصار هما : معاذ و ابي.
b.      Dari Qatadah berkata:

سالت انس بن مالك : من جمع القران على عهد رسول الله؟ فقال : اربعة , كلهم من الانصار : ابي بن كعب ومعاد بن جبل و زيد بن ثابت و ابو زيدقلت : من ابو زيد ؟ قال : احد عمومتي.
c.       Diriwayatkan dari jalan Tsabit dari Anas berkata:

مات النبي صلى الله عليه وسلم ولم يجمع القران غير اربعة : ابو الدرداءومعاذ بن جبل وزيد بن ثابت وابوزيد.

Abu Zaid yang disebutkan dalam beberapa hadis diatas, penjelasannya terdapat dalam sebuah riwayat yang dinukil oleh Ibn Hajar dengan isnad yang sesuai dengan persyaratan Imam Bukhari. Menurut Anas, Abu Zaid yang hafal al-Qur’an itu nama aslinya Qais bin Sakan. Kata beliau: Ia adalah seorang laki-laki dari suku Bani ‘Adi Ibn an-Najar dan termasuk salah satu dari paman kami. Ia meninggal dunia tanpa memiliki anak sehingga kamilah yang mewarisinya.[8]
Imam Adz-Dzahabi dalam Thabaqat al-Qurra-nya (pada bagian muqaddimah) mengatakan: “ jumlah penghafal yang disebutkan adalah sejumlah mereka yang telah menguji ketetapan hafalannya dihadapan Rasulullah dan kami mengenal mereka dari riwayat yang sampai pada kami. Adapun para penghafal al-Qur’an selain mereka yang riwayatnya tidak sampai ke tangan kami banyak sekali”.[9]
Seiring berkembangnya zaman, berkembang pula cara dan metoda dalam mempelajari Al-Qur’an. Dahulu dikenal juga dengan cara-cara klasik dalam mengajarkan Al-Qur’an:
1.      Seorang guru membacakan dan murid mendengarkan.
2.      Seorang guru membacakan dan murid menirukan bacaan guru.
3.      Murid membaca dan seorang syaikh menyimak bacaan murid.


PENUTUP
1.      Kesimpulan
a.       pengajaran atau pembelajaran Al-Qur’an adalah interaksi antara guru dan murid dalam mempelajari AL-Qur’an. Dalam mengajar Al-Qur’an, ada beberapa aspek yang mungkin bisa dipelajari diantaranya yaitu: Membaca, menulis, menghafal, menerjemah, tafsir, perbedaan cara baca dan mungkin masih banyak hal yang bisa digali darinya.
b.      Terdapat banyak sekali keutamaan belajar dan mengajarkan Al-Qur’an.
c.       Metode pembelajaran sahabat bisa kita tumbuh kembangkan sehingga bisa relevan untuk saat ini.
2.      Penutup
Demikian makalah ini kami susun. Penulis sadar betul bahwa keberadaan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dalam segi isi maupun penulisan. Dari sini penulis berharap adanya kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini dan penyusunan makalah-makalah berikutnya.


DAFTAR PUSTAKA


abu syahbah, Muhammad bin Muhammad. al-madkhol li dirosat al-quran al-karim, (kairo, maktabah as-sunnah, 1992)
Al-Qaththan, Manna Khalil. Mabahis fi ‘Ulum Al-Qur’an,
al-Shalih, Subhi. Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an,
Maktabah Syamella, Shahih Bukhari, Bab Khoirukum man ta’allamal Qur’an, Juz 04
Maktabah Syamella, Sunan Tirmidzi, Juz 05.
Quraish Sihab, Muhammad. Secercah Cahaya Ilahi, (Bandung: Mizan, 2007)
Quraish Sihab, Muhammad. Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, )








[2] Muhammad bin Muhammad abu syahbah, al-madkhol li dirosat al-quran al-karim, (kairo, maktabah as-sunnah, 1992) hal. 20
[3] M. Quraish Sihab, Secercah Cahaya Ilahi, (Bandung: Mizan, 2007) hal. 93
[4] M. Quraish Sihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, ) vol. 01 hal. 432
[5] Maktabah Syamella, Shahih Bukhari, Bab Khoirukum man ta’allamal Qur’an, Juz 04, hal. 1919
[6] Maktabah Syamella, Sunan Tirmidzi, Juz 05. Hal. 184
[7] Manna Khalil Al-Qaththan, Mabahis fi Ulum Al-Quran, hal. 06
[8] Manna Khalil Al-Qaththan, Mabahis fi Ulum Al-Quran, hal. 115.
[9] Subhi al-Shalih, Mabahits fi Ulum Al-Quran, hal. 84.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar