Minggu, 07 Oktober 2018

Khutbah Jum'at 28/09/18

Amanah adalah kata serapan dari kata bahasa Arab amânah. Dalam bahasa aslinya, kata itu terbentuk dari akar kata yang terdiri atas huruf hamzah, mîm, dan nûn (a-m-n). Dari akar kata yang sama terbentuk kata îmân yang juga telah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi iman. Kata iman itu sendiri mengandung arti percaya atau kepercayaan.
Tentu antara iman dan amanah sejatinya terdapat hubungan yang cukup erat. Kamus  Besar Bahasa Indonesia mengartikan amanah sebagai ‘sesuatu yang dipercayakan (dititipkan) kepada orang lain’ atau ‘dapat dipercaya (boleh dipercaya)’. Seseorang akan mau menitipkan sesuatu kepada orang lain jika dia percaya kepada orang itu, dan jika orang itu dapat dipercaya.
Keterkaitan antara iman dan amanah ini dapat kita baca pada bagian awal surah al-Mu’minun. Pada bagian itu, Allah swt. berfirman (yang maknanya): Sungguh beruntung orang-orang mukmin, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam salatnya, orang yang menjauhkan diri dari (perkataan dan perbuatan) yang tidak berguna, orang yang menunaikan zakat, orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap pasangan mereka atau hamba sahaya mereka, karena sesungguhnya mereka itu tidak tercela. Tetapi, siapa yang mencari jalan selain itu (zina dan sebagainya), mereka adalah orang-orang yang melampaui batas. (Juga sungguh beruntung) orang yang memelihara amanah dan janji mereka, serta orang yang memelihara salatnya. (QS al-Mu’minun [23]: 1-11).
Disebutkan di situ bahwa seorang mukmin setidaknya memiliki enam sifat atau karekter utama, yaitu (a) khusuk dalam menjalankan salat, (b) tidak berkata atau melakukan hal-hal yang tidak berguna, (c) menunaikan zakat, (d) menjaga kehormatan kemaluannya kecuali terhadap pasangan yang sah, (e) memelihara amanah, dan (f) memelihara salat lima waktu. Menjaga amanah merupakan salah satu indikator keimanan seseorang.
Bukan hanya di dalam Al-Qur’an keterkaitan antara keimanan dan amanah itu disebutkan. Dalam hadis Nabi saw. juga. Rasulullah saw., misalnya, pernah bersabda, “Seseorang tidak dikatakan beriman dengan baik jika dia tidak bisa menjaga amanah. Seseorang tidak dianggap beragama dengan baik jika dia tidak dapat menjaga sumpah dan janjinya.” Dalam hadis yang lain beliau menyebutkan ada empat hal yang jika dimiliki oleh seseorang maka ia tidak akan merugi apa-apa walaupun tidak memiliki kenikmatan dunia. Satu dan yang pertama dari empat hal itu adalah menjaga amanah. Yang kedua, menjaga kejujuran dan perkataan yang benar; ketiga, menjaga perangai yang baik; dan keempat, menjaga kehalalan makanan yang ia konsumsi. Menjaga amanah ditempatkan pada urutan pertama yang membuat seseorang tidak akan merugi walaupun tidak memiliki apa-apa di dunia.
Lawan dari sifat amanah adalah khianat atau curang. Dalam beberapa hadis, Rasulullah saw. mengancam orang yang berbuat curang, orang yang tidak menjaga amanah, orang yang berkhianat, orang yang tidak jujur, itu tidak akan masuk surga. Beliau bersabda, “Tidak seorang pun yang apabila diberi amanat oleh Allah untuk memimpin sekelompok orang, lalu ia meninggal dunia dalam keadaan berbuat curang atau khianat terhadap orang-orang yang dipimpinnya itu, kecuali Allah mengharamkan surga baginya. (HR Muslim).
Selain berkaitan dengan tingkat keimanan seseorang, amanah juga berkaitan dengan keamanan dan rasa nyaman. Semua kata itu (iman, keamanan, kenyamanan, amanah) dalam bahasa Arab berasal dari akar kata yang sama. Artinya, menjadi orang yang amanah (dapat dipercaya) adalah juga menjadi orang yang aman bagi orang lain, menjadi orang yang nyaman bagi orang lain. Ketika keberadaan kita pada suatu masyarakat membuat orang lain tidak aman dan tidak nyaman, maka di situ berarti kita tidak bisa menjaga amanah. Itu berarti keimanan kita sedang berkurang.
Terkait hal ini Rasulullah saw bersabda, “Demi Allah, tidak beriman. Demi Allah, tidak beriman. Demi Allah, tidak beriman.” Para sahabat bertanya, “Siapa yang tidak beriman, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang yang tetangganya tidak aman dari bawaiqahu.” Sahabat bertanya lagi, “Apa itu bawaiqahu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Keburukannya.” Hadis bersumber dari Abu Hurairah r.a.
Tentu sangat banyak perbuatan yang membuat tetangga tidak nyaman. Mengintip rumah tangga orang, mengorek-ngorek rumah tangga orang, berkomunikasi dengan tetangga secara tidak wajar, membuang sampah di pekarangan tetangga, membuat gaduh, berisik, dan lain sebagainya.
***
Amanah juga berlaku dalam transaksi jual beli. Sebagai pemimpin yang bertanggung jawab atas umat dan rakyatnya, Rasulullah saw. sering melakukan inspeksi mendadak. Di mana-mana, termasuk di pasar. Beliau pernah turun langsung ke pasar, mengamati dan mengontrol praktik dagang yang dilakukan oleh umatnya. Suatu hari beliau menemukan ada pedagang yang melakukan kecurangan dengan memperlihatkan barang dagangan yang baik di permukaan, tetapi ternyata setelah beliau memasukkan tangannya ke dalam tumpukan barang itu beliau menemukan barang yang tidak baik di bagian dalamnya. Ini penipuan. Ini adalah kecurangan. Ini perilaku tidak jujur. Tidak amanah. Beliau menegur pedagang itu. Beliau pun kemudian mengatakan, “Siapa yang menipu kita, bukan bagian dari umatku.”
Sikap amanah ini sejatinya muncul dari keimanan yang kuat kepada Allah swt. Pada suatu malam, Khalifah Umar r.a. berjalan mengontrol keadaan umatnya. Ia berhenti ketika sampai pada sebuah rumah. Ia mendengar dari dalam rumah seorang ibu di menyuruh anak perempuannya untuk mencampur susu yang akan mereka jual dengan air, agar bisa mendapat keuntungan lebih besar. Sang anak mengingatkan ibunya, “Tindakan itu tidak benar, Bu. Khalifah Umar melarang kita untuk melakukan itu.” Sang ibu rupanya masih bersikeras untuk mencampur susu dengan air, karena alasan ekonomi dan karena ingin mendapat keuntungan lebih besar. Ibu itu beralasan toh Khalifah Umar tidak melihat tindakan mereka. Tetapi ternyata sang anak ketika itu lebih beriman daripada ibunya dengan mengatakan, “Benar bahwa Khalifah Umar tidak melihat kita sekarang, Bu, tapi Tuhannya Umar melihat kita.” Itulah sikap amanah dan kejujuran yang dilandasi oleh keimanan dan rasa takut kepada Allah.
Sifat amanah ini sudah dicontohkan dan dimiliki oleh Rasulullah saw. sejak dini sekali. Bahkan ketika beliau belum ditetapkan sebagai rasul, beliau sudah dikenal oleh masyarakat sebagai orang yang jujur, orang yang menjaga amanah orang lain. Masyarakatnya kemudian memberi gelar al-amîn kepada beliau, yang artinya ‘orang yang dapat dipercaya’, ‘orang yang menjaga amanah’.
Bukan hanya Nabi Muhammad saw. yang memiliki sifat amanah. Nabi-nabi lain sebelum beliau pun adalah orang-orang yang menjaga amanah dengan baik. Nabi Musa a.s., contohnya. Di dalam Al-Qur’an disebutkan, bahwa Nabi Musa adalah seorang yang kuat dan dapat dipercaya (al-qawiyy, al-amîn). Karena memiliki sifat amanah itulah, antara lain, Nabi Musa kemudian ditetapkan oleh Allah sebagai salah seorang nabi utusan-Nya.
Dalam kisah orang-orang saleh, juga kita temukan karakter amanah ini. Abdullah bin Al-Mubarak, misalnya. Dikisahkan bahwa ia berguru kepada seseorang di tempat yang jauh dari tempat tinggalnya. Suatu hari, pada saat belajar, penanya patah. Ia lalu meminjam pena temannya. Setelah pelajaran selesai, ia bergegas pulang. Sampai di tengah jalan, ia teringat belum mengembalikan pena yang ia pinjam dari temannya. Ia pun kembali lagi ke tempat gurunya untuk mengembalikan pena kepada temannya. Itulah sikap amanah. []
---
*) Disarikan dari khutbah Jumat Muhammad Arifin di Masjid Bayt Al-Qur’an, Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 28 September 2018.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar