Resume Kajian Tafsir di Masjid Bayt
al-Qur’an
Suratul Fatihah – ayat 5
Hadist tentang pembagian shalat :
904 - وَحَدَّثَنَاهُ
إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْحَنْظَلِىُّ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ بْنُ
عُيَيْنَةَ عَنِ الْعَلاَءِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ
-صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَنْ صَلَّى صَلاَةً لَمْ يَقْرَأْ فِيهَا بِأُمِّ
الْقُرْآنِ فَهْىَ خِدَاجٌ - ثَلاَثًا - غَيْرُ تَمَامٍ ». فَقِيلَ لأَبِى
هُرَيْرَةَ إِنَّا نَكُونُ وَرَاءَ الإِمَامِ. فَقَالَ اقْرَأْ بِهَا فِى نَفْسِكَ
فَإِنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « قَالَ اللَّهُ
تَعَالَى قَسَمْتُ الصَّلاَةَ بَيْنِى وَبَيْنَ عَبْدِى نِصْفَيْنِ وَلِعَبْدِى
مَا سَأَلَ فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ ( الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ).
قَالَ اللَّهُ تَعَالَى حَمِدَنِى عَبْدِى وَإِذَا قَالَ (الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
). قَالَ اللَّهُ تَعَالَى أَثْنَى عَلَىَّ عَبْدِى. وَإِذَا قَالَ (مَالِكِ
يَوْمِ الدِّينِ). قَالَ مَجَّدَنِى عَبْدِى - وَقَالَ مَرَّةً فَوَّضَ إِلَىَّ
عَبْدِى - فَإِذَا قَالَ (إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ ). قَالَ هَذَا بَيْنِى وَبَيْنَ عَبْدِى وَلِعَبْدِى مَا سَأَلَ. فَإِذَا قَالَ (اهْدِنَا الصِّرَاطَ
الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ
عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ ). قَالَ هَذَا لِعَبْدِى وَلِعَبْدِى مَا سَأَلَ
». قَالَ سُفْيَانُ حَدَّثَنِى بِهِ الْعَلاَءُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ
يَعْقُوبَ دَخَلْتُ عَلَيْهِ وَهُوَ مَرِيضٌ فِى بَيْتِهِ فَسَأَلْتُهُ أَنَا
عَنْهُ.
Ada pula riwayat lain yang menyebutkan basmalah dalam
riwata itu. Diriwayatkan dari Sayyidinâ ‘Ali Ibn Abî Thâlib berkata: Sesungguhnya
aku telah mendengar Rasululullah saw. bersabda bahwa Allah swt. berfirman: “Aku
membagi surah al-Fâtihah menjadi dua bagian, setengahnya untuk-Ku dan
setengahnya buat hamba-Ku, apa yang dimintanya akan Ku-perkenankan. Apabila ia
membaca (i i) Bismillâh ar-Rahmân
ar-Rahîm, Allah berfirman: “Hamba-Ku memulai pekerjaannya dengan menyebut
nama-Ku maka menjadi kewajiban-Ku untuk menyempurnakan seluruh pekerjaannya
serta memberkati seluruh keadaannya.” Apabila ia membaca (i i) al-hamdu lillâhi Rabb al-‘âlamîn, Allah
menyambutnya dengan berfirman: “Hamba-Ku mengetahui bahwa seluruh nikmat yang
dirasakannya bersumber dari-Ku, dan bahwa ia telah terhindar dari malapetaka
karena kekuasaan Ku, Aku mempersaksikan kamu (hai para malaikat) bahwa Aku akan
menganugerahkan kepadanya nikmat-nikmat di akhirat, di samping nikmat-nikmat
duniawi dan akan Ku-hindarkan pula ia dari malapetaka ukhrawi dan duniawi.”
Apabila ia membaca (i i) ar-rahmân ar-rahîm,
Allah menyambutnya dengan berfirman: “Aku diakui oleh hamba-Ku sebagai Pemberi
rahmat dan sumber segala rahmat. Ku-persaksikan kamu (hai para malaikat) bahwa
akan Kucurahkan rahmat-Ku kepadanya sampai sempurna dan akan Ku-perbanyak pula
anugerah-Ku untuknya.” Apabila ia membaca (i i) mâliki yaum ad-dîn, Allah menyambutnya dengan
berfirman: “Ku-persaksikan kamu (wahai para malaikat—sebagaimana diakui oleh
hamba-Ku) bahwa Akulah Raja, Pemilik hari Kemudian, maka pasti akan Ku-permudah
baginya perhitungan pada hari itu, akan Ku-terima kebajikan-kebajikannya dan
Kuampuni dosa-dosanya.” Apabila ia membaca (i i) iyyâka na‘budu, Allah menyambut dengan berfirman: “Benar
apa yang diucapkan hamba-Ku, hanya Aku yang disembahnya. Ku-persaksikan kamu
semua, akan Ku-beri ganjaran atas pengabdiannya, ganjaran yang menjadikan semua
yang berbeda ibadah dengannya akan merasa iri dengan ganjaran itu.” Apabila ia
membaca (i i) wa iyyâka nasta‘în,
Allah berfirman: “Kepada-Ku hamba-Ku meminta pertolongan dan perlindungan. Ku-persaksikan
kamu, pasti akan Ku-bantu ia dalam segala urusannya, akan Ku-tolong ia dalam
segala kesulitannya, saat akan Ku-bimbing ia dalam saat-saat krisisnya.”
Apabila ia membaca (i i) ihdinâ ash-shirâth
al-mustaqîm hingga akhir ayat, Allah menyambutnya dengan berfirman: “Inilah
permintaan hamba-Ku dan bagi hamba-Ku apa yang dimintanya. Telah Ku-perkenankan
bagi hamba-Ku permintaannya, Ku-beri harapannya, dan Ku-tenteramkan jiwanya dari
segala yang mengkhawatirkannya.”[1]
إياك
نعبد al-Ayah. Maksud ayat tersebut adalah
pengkhususan dalam beribadah baik ibadah yang
berhubungan dengan tauhid (seperti shalat) maupun ibadah yang
berhubungan dengan sesama manusia. Dan juga meminta pertolongan hanya kepada
Allah dalam beribadah dan dalam segala hal yang baik. “Iyyaaka Nasta’in”
menunjukkan arti bahwa dalam keadaan apapun kita harus meminta pertolongan
hanya kepada Allah, tak terkecuali dalam hal ibadahpun kita harus meminta
pertolongan kepada Allah. Maka ada riwayat do’a Nabi “اللهم
أعنّي على ذكرك وشكرك وحسن عبادتك”
(3)- وعن معاذ - رضي الله عنه - : أن رسول الله - صلى الله عليه وسلم
- أخذ بيده ، وقال : (( يا معاذ ، والله ، إني لأحبك ، ثم أوصيك يا معاذ لا تدعُنِ
في دبر كل صلاة تقول : اللهم أعني
على ذكرك ، وشكرك ، وحسن
عبادتك )) حديث صحيح ، رواه أبو داود والنسائي بإسناد صحيح .
Biasanya dalam
susunan jumlah fi’liyyah terdiri dari fi’il, fa’il dan maf’ul (أفمن شرح الله صدره) namun dalam ayat ini di dahulukan maf’ulnya
dulu baru fi’il fa’il (إيّاك نعبد) ini mempunyai arti “Littakhsis”
(pengkhususan) hanyalah kepada-MU ya Allah kami beribadah bukan kepada yang
lain.
اهدنا الصراط المستقيم tunjukkanlah kami kejalan yang lurus. Dalam kata
“Na’budu” dan juga “ihdina” menggunakan dhomir (نحن) kita bukan (أنا)
saya, ada yang berpendapat itu menunjukkan arti kerendahan kita kepada Rabb
kita, maka kita menggunakan kata “kita/نحن”.
Ada juga yang berpendapat bahwa kata kita dalam ayat tersebut menunjukkan
bahwa secara esensial kita adalah gabungan dari segala tubuh dan organ kita,
yaitu hati, akal, nafsu, dll. Dalam kandungan dhomir jama’ juga itu adalah kita
melibatkan Allah, bahwa dengan hidayat dan taufiq Allahlah kita mampu
beribadah.
Dalam istilah
hidayah paling tidak ada dua istilah besar yaitu : Hidayatut Taufiq dan
Hidayatul irsyad. Hidayat Taufiq posisinya diatas hidayah irsyad.
Irsyad : أَرشد الخلق إلى مصالحهم :
Taufiq :
Dan juga ada
hidayah : istito’ah dan masyi’ah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar