Resume Kajian “Tafsir Sya’rawi” Oleh KH. Dr. Ahmad Husnul Hakim, MA
Sabtu, 11-08-2018
Part @1
Syaikh Sya’rawi menjelaskan dalam tafsirnya bahwa Allah menshifati
Al-Qur’an dengan Al-Kitab itu tercermin pada ayat ke-dua surah Al-Baqarah. Kata
Al-Qur’an berarti yang dibaca, sedangkan Al-Kitab tidak hanya dibaca dan dihafal
melainkan juga tertulis. Al-Kitab secara bahasa Al-Dhommu wal Al-Jam’u yang
berarti menghimpun dan mengumpulkan.
Mengapa menggunakan kata al pada al-Kitab, bukan hanya sebagai pembeda dari kitab-kitab yang lain tetapi juga pembeda dari
kitab samawi yang lain. Memang pernah ada kitab samawi sebelum Al-Qur’an tetapi
kitab itu sifatnya terbatas baik dari segi waktu maupun segi peruntukkan. Kitab
Nabi Nuh misalnya, itu diperntukkan hanya untuk Qaummu Nuh dan juga Ibrahim,
Luth, Syu’aib, Shalih. Semua kitab sebelum Al-Qur’an itu terbatas waktunya.
Didalam Kitab-kitab samawi terdahulu, terdapat Busyro (Kabar
Gembira), bahwa akan diutus seorang Rasul yang membawa Risalah dari langit dan
tentunya orang-orang pengikut kitab terdahulu akan mengikuti karena dia yang
menerima kabar tersebut. Sedang kenyataannya ada sebagian yang tidak mengikuti.
Dalam pengutusan ini sebagaimana Firman Allah SWT dalam QS. Al-A’raf 157:
ﭧ ﭨﭴﭵﭶﭷﭸﭹﭺﭻﭼﭽﭾﭿ الأعراف: ١٥٧
Yaitu Orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi
Yang Ummi. Mereka dapat dalam kitab Taurat dan Injil.
Al-Qur’an adalah Al-Kitab, Yang tidak pernah
mengalami perubahan maupun pergantian dan juga tidak akan mengalami pengurangan
maupun penambahan. Kitab-kitab samawi terdahulu penjagaannya dipercayakan
kepada manusia, maka bisa jadi dilupakan sebagian, dan yang tidak dilupakan ada
yang diganti, sedangkan mereka menisbahkan itu semua atas nama Allah, padahal
itu kebohongan mereka.
Akan tetapi Al-Qur’an dijaga sendiri Oleh Tuhan
Yang Maha Pencipta dan Maha Luhur yaitu Allah SWT. Sebagaimana dalam Firmannya
QS. Al-Hijr 09 :
ﭧ ﭨ ﭽ ﮗﮘﮙﮚﮛﮜﮝﮞﭼ الحجر: ٩
Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Az-Zikr (Al-Qur’an)
dan kami pulalah yang menjaganya.
Memang dalam hal Rububiyyah atau pemeliharaan,
Allah menggunakan kata (Innaa) yaitu untuk mengagungkan sifat-sifat
Allah dan memberikan perhargaan orang-orang yang terlibat didalamnya. Misalnya dalam
penjagaan Al-Qur’an Allah menggunakan kata Innaa yaitu untuk memberikan
penghargaan kepada siapapun yang terlibat dalam penjagaannya, bisa para malaikat,
Hafidz, dan lain sebagainya. Sedangkan dalam hal Uluhiyyah (Tauhid), Allah hanya
menggunakan kata (Ana).
Kemukjiazatan Al-Qur’an bisa dilihat dari sisi
Ushlub atau gaya bahasanya, kandungan kisah-kisah tedahulu, pembenaran kitab
taurat dan injil dan rahasia ilmu pengetahuan yang belum diketahui manusia mungkin
hingga saat ini. Semua itu merupakan bukti tiada keraguan didalam Al-Qur’an (Laa
Raiba Fiih).
Mungkin ada sebagian kita yang mempertanyakan
mengapa gaya bahasa menjadi satu mukjizat? Itu karena dalam masa Al-Qur’an
diturunkan Latar belakang teritorialnya diturunkan kepada ummat yang
mengagungkan sastra arab, maka itu menjadi satu kemukjizatan tersendiri. Sebagaimana
Musa yang diberi kemukjizatan Tongkat Ajaibnya karena Kaumnya mendewa-dewakan
Sihir.
Kurang lebihnya Mohon maaf.....
Cak Mun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar