Sekelumit tentang cinta orang tua terhadap anak
Cinta
pada hakikatnya adalah “dialog antara dua Aku”. Karena itu, cinta orang
tua kepada anaknya bukanlah upaya orang tua menjadikan anaknnya seperti sang
ayah/ibu, tetapi ia adalah upaya menjadikan anak memiliki kepribadian
tersendiri sehingga pada akhirnya wujud “Aku” yang lain yang berdialog dengan
“Aku” sang ayah atau ibu. Desakan dari orang tua untuk menjadikan anaknya
sebagai kelanjutan dari kepribadian orang tua atau duplikatnya, desakan itu,
bukan cerminan dari kuat dan sempurnanya cinta tapi lebih wajardi nilai “lemah
dan kekanak-kanakannya cinta”, karena yang bersangkutan tidak dapat
mencitai kecuali dirinya sendiri, dan ini adalah cerminan dari anak-anak yang
enggan berbagi. Itu sebabnya agama –sejak dini- menganjurkan agar orang
tua mewujudkan kepribadian anak. Sehingga sang anak merasa sebagai salah
seorang anggota keluarga yang mempunyai peranan dan tanggung jawab.
Berkaitan
dengan pendidikan anak pula sayyidina Ali ra berkata. “didiklah anak-anakmu,
(dengan pendidikan yang sesuai) karena mereka itu diciptakan untuk masa yang
berbeda dengan masamu”.
Karena
itu pula Nabi Saw mengingatkan bahwa: “Allah merahmati orang tua yang
membantu anaknya agar berbakti kepadanya”. Beliau ditanyai oleh para
sahabatnya: “bagaimana orang tua membantunya ya Rasul?”. Rasul Saw
menjawab: “dia menerima dengan baik yang mudah bagi anaknya, tidak
memberatkannya, dan tidak juga memaki atau menghinanya”.
Orang
bijak berpesan: jika anakmu durhaka, jangan maki atau do’akan dia dengan
kebinasaan, tapi do’akan semoga allah memberinya petunjuk.
Dan juga
jangan pernah mengecilkan nyali seorang anak, dengan mengatakan “hallah,
kamu itu bisa apa?”, atau hal-hal yang senada dengan itu, karena disamping
omongan orang tua terhadap anaknya adalah do’a, hal itu dapat juga mempengaruhi
psikologi seorang anak, anak akan berkecil hati jika ada orang yang meragukan
dirinya, apalagi jika yang meragukan itu orang tuanya sendiri. Justru baiknya
orang tua itu selalu memotivasi sang anak dan berhusnuzzan padanya, selalu
memuji dengan pujian yang sekiranya dengan pujian itu sang anak akan lebih
percaya diri (meskipun sang anak tidak mengharapkan pujian itu), dan
kemudian sang anak akan bangkit karena merasa diberi kepercayaan oleh orang
tuanya.
“Bakti
kepada orang tua yang diperintahkan dalam agama islam adalah bersifat sopan santun
terhadap keduanya dalam ucapa dan perbuatan sesuai dengan adat kebiasaan
masyarakat, sehingga mereka merasa senang terhadap kita(sebagai anak, serta
mencukupi kebutuhan-kebutuhan mereka yang sah dan wajar sesuai kemampuan kita
(sebagai anak). Tidak termasuk kewajiban berbakti kepadanya sampai mencabut
kemerdekaan dan kebebasan pribadi atau rumah tangga atau jenis-jenis pekerjaan
yang bersangkut paut pribadi sang anak, agama atau negaranya. Jadi apabila
orang tua memaksakan pendapatnya menyangkut kegiatan-kegiatan anak, maka
bukanlah bagian dari perbuatan baik atau bakti menurut agama meninggalkan apa
yang anak nilai kemaslahatan yang umum atau khusus dengan mengikuti pendapat
mereka, begitu pula sebaliknya. Karena kebaktian dan kebajikan, tidak mewajibkan
tercabutnya hak-hak pribadi.“
Demikianlah
kurang lebih Muhammad rasyid ridha pakar tafsir ternama dari mesir menyimpulkan
tafsiran birrul walidain dalam Q.S An-Nisa’ 36 yang di tulis dalam bukunya M.
Quraish Shihab yang berjudul “Birrul walidain”.
Orang tua harus ingat bahwa kewajiban anak
berbakti kepadanya tidak berarti tercabutnya kebebasan dan hak-hak pribadi sang
anak. Sungguh indah dan tepat nasehat puitis Kahlil Gibran ketika menasehati
sang ibu, antara lain:
Anakmu
bukan anakmu
Mereka
putra sang hidup yang rindu dirinya
Lewat
engkau mereka lahir,
Bukan
dari engkau
Mereka
ada padamu,
Tapi
bukan milikmu
Beri
mereka kasih sayang,
Tapi
jangan suapi pikiranmu
Kau
boleh menyerupai mereka
Tapi
jangan paksa mereka menyerupaimu.
Engkau dapat berusaha menyerupai mereka, tapi
jangan membuat mereka menyerupaimu, karena kehidupan tidak pernah berjalan
mundur, tidak juga tenggelam di masa lampau.
Ini tidak berarti sang anak tidak boleh di
arahkan untuk mengikuti leluhurnya, sama sekali tidak! Apa lagi leluhurnya itu
orang-orang yang mulia. Tapi caranya yang berbeda, cara di zaman dahulu ketika orang
tuanya masih muda dengan zaman sekarang itu berbeda. Bukankah kita ketahui,
bahwa perubahan adalah “Sunnah Kehidupan“, jadi cara orang tua zaman
sekarang harus mengetahui
keadaan dan juga bagaimana karakter dan sifat sang anak. Yang itu aku yakin Umi
lebih faham karena itu anak-anak Umi, daripada aku yang orang lain.
Sungguh indah kata prof. Quraish dalam
pengantar salah satu bukunya untuk menasehati salah satu anaknya:
“setiap detik yang berlalu, setiap nafas yang
engkau hembuskan, engkau selalu menjadi perhatian Kami, dan setiap pelukan pada
jasadmu yang mungil, Kami –Beliau dan Istri- merasa bahwa Engkau adalah milik
Kami; milik Kami saja. Tetapi ketika Engkau pandai menggelengkan kepala atau
pandai mengatakan “Tidak!”Kami sadar bahwa Engkau bukanlah milik Kami.Tetapi
engkau milik Allah yang diamanatkan kepada Kami, diamanatkan agar Engkau datang
bersimpuh kepada-Nya”.
Masih kata beliau, “anakku, tidak ada hak Kami
memaksamu mengabdi kepada Kami, lebih-lebih jika –pengabdian itu– bertentangan
dengan kehendak Pemilikmu.Bahkan, tidak hak Kami untuk memaksakan keinginan
Kami jika itu berbeda dengan keinginanmu yang tidak bertentangan dengan
tuntunan-Nya.Kami sadar bahwa Engkau mempunyai kecenderungan sesuai
kepribadianmu dan Kami sebagai orang tua hanya berkewajiban menemukan, lalu
mengarahkannya, agar tumbuh kembang menuju Tuhan yang memilikimu.”
Semua orang tua mendambakan anaknya untuk
sukses, tetapi tidak semua orang tua mampu mengantar anaknya menuju tangga
sukses, semua orang tua mencintai anaknya, tapi tidak semua orang tua berhasil
menyalurkan cintanya dengan benar.
Memang
orang tua tidak harus mengetahui teori-teori pendidikan agar sukses dalam
mendidik. Apalagi menerapkan teori-teori itu pada anak yang dicintainya tidak
semudah menerapkannya pada anak orang lain, oleh sebab itu menurut hemat saya
(yang posisinya sebagai seorang anak), komunikasi antara anak dan orang tua
haruslah terjalin dengan baik, sehingga dari situ dapat diharapkan untuk saling
mengerti dan tidak mementingkan egonya masing-masing.
Dengan demikian anak
dapat memperoleh apa yang di inginkannya yang tidak berlawanan dengan kehendak
pemilik-Nya, dan orang tua juga bisa mengarahkan dengan baik karena jalan
diskusi tadi. Tidak akan diperoleh banyak kesepakatan atau sedikit sekali
kesepakatan di dapat dengan tanpa diskusi atau jalan paksaan. Apalagi di era
zaman sekarang.
Semoga apa yang dicoretkan bermanfaat bagi penulis dan pembaca seluruhnya. kurang lebihnya mohon maaf yang banyak... Wallaahu A'lam.......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar