Kamis, 14 Juni 2018


Sekelumit tentang cinta orang tua terhadap anak

@Irkham, cak mun, ibu, adek, ayah, Ubay....
Fhoto ini diambil ketika kami silaturrahim kerumah teman kami "Anas Munaji" dalam rangkaian acara Touring JHQ-16...heehee

Cinta pada hakikatnya adalah “dialog antara dua Aku”. Karena itu, cinta orang tua kepada anaknya bukanlah upaya orang tua menjadikan anaknnya seperti sang ayah/ibu, tetapi ia adalah upaya menjadikan anak memiliki kepribadian tersendiri sehingga pada akhirnya wujud “Aku” yang lain yang berdialog dengan “Aku” sang ayah atau ibu. Desakan dari orang tua untuk menjadikan anaknya sebagai kelanjutan dari kepribadian orang tua atau duplikatnya, desakan itu, bukan cerminan dari kuat dan sempurnanya cinta tapi lebih wajardi nilai “lemah dan kekanak-kanakannya cinta”, karena yang bersangkutan tidak dapat mencitai kecuali dirinya sendiri, dan ini adalah cerminan dari anak-anak yang enggan berbagi. Itu sebabnya agama –sejak dini- menganjurkan agar orang tua mewujudkan kepribadian anak. Sehingga sang anak merasa sebagai salah seorang anggota keluarga yang mempunyai peranan dan tanggung jawab.

Berkaitan dengan pendidikan anak pula sayyidina Ali ra berkata. “didiklah anak-anakmu, (dengan pendidikan yang sesuai) karena mereka itu diciptakan untuk masa yang berbeda dengan masamu”.

Karena itu pula Nabi Saw mengingatkan bahwa: “Allah merahmati orang tua yang membantu anaknya agar berbakti kepadanya”. Beliau ditanyai oleh para sahabatnya: “bagaimana orang tua membantunya ya Rasul?”. Rasul Saw menjawab: “dia menerima dengan baik yang mudah bagi anaknya, tidak memberatkannya, dan tidak juga memaki atau menghinanya”.

Orang bijak berpesan: jika anakmu durhaka, jangan maki atau do’akan dia dengan kebinasaan, tapi do’akan semoga allah memberinya petunjuk.

Dan juga jangan pernah mengecilkan nyali seorang anak, dengan mengatakan “hallah, kamu itu bisa apa?”, atau hal-hal yang senada dengan itu, karena disamping omongan orang tua terhadap anaknya adalah do’a, hal itu dapat juga mempengaruhi psikologi seorang anak, anak akan berkecil hati jika ada orang yang meragukan dirinya, apalagi jika yang meragukan itu orang tuanya sendiri. Justru baiknya orang tua itu selalu memotivasi sang anak dan berhusnuzzan padanya, selalu memuji dengan pujian yang sekiranya dengan pujian itu sang anak akan lebih percaya diri (meskipun sang anak tidak mengharapkan pujian itu), dan kemudian sang anak akan bangkit karena merasa diberi kepercayaan oleh orang tuanya.

“Bakti kepada orang tua yang diperintahkan dalam agama islam adalah bersifat sopan santun terhadap keduanya dalam ucapa dan perbuatan sesuai dengan adat kebiasaan masyarakat, sehingga mereka merasa senang terhadap kita(sebagai anak, serta mencukupi kebutuhan-kebutuhan mereka yang sah dan wajar sesuai kemampuan kita (sebagai anak). Tidak termasuk kewajiban berbakti kepadanya sampai mencabut kemerdekaan dan kebebasan pribadi atau rumah tangga atau jenis-jenis pekerjaan yang bersangkut paut pribadi sang anak, agama atau negaranya. Jadi apabila orang tua memaksakan pendapatnya menyangkut kegiatan-kegiatan anak, maka bukanlah bagian dari perbuatan baik atau bakti menurut agama meninggalkan apa yang anak nilai kemaslahatan yang umum atau khusus dengan mengikuti pendapat mereka, begitu pula sebaliknya. Karena kebaktian dan kebajikan, tidak mewajibkan tercabutnya hak-hak pribadi.“

Demikianlah kurang lebih Muhammad rasyid ridha pakar tafsir ternama dari mesir menyimpulkan tafsiran birrul walidain dalam Q.S An-Nisa’ 36 yang di tulis dalam bukunya M. Quraish Shihab yang berjudul “Birrul walidain”.

Orang tua harus ingat bahwa kewajiban anak berbakti kepadanya tidak berarti tercabutnya kebebasan dan hak-hak pribadi sang anak. Sungguh indah dan tepat nasehat puitis Kahlil Gibran ketika menasehati sang ibu, antara lain:

Anakmu bukan anakmu
Mereka putra sang hidup yang rindu dirinya
Lewat engkau mereka lahir,
Bukan dari engkau
Mereka ada padamu,
Tapi bukan milikmu
Beri mereka kasih sayang,
Tapi jangan suapi pikiranmu
Kau boleh menyerupai mereka
Tapi jangan paksa mereka menyerupaimu.

Engkau dapat berusaha menyerupai mereka, tapi jangan membuat mereka menyerupaimu, karena kehidupan tidak pernah berjalan mundur, tidak juga tenggelam di masa lampau.

Ini tidak berarti sang anak tidak boleh di arahkan untuk mengikuti leluhurnya, sama sekali tidak! Apa lagi leluhurnya itu orang-orang yang mulia. Tapi caranya yang berbeda, cara di zaman dahulu ketika orang tuanya masih muda dengan zaman sekarang itu berbeda. Bukankah kita ketahui, bahwa perubahan adalah “Sunnah Kehidupan“, jadi cara orang tua zaman sekarang harus mengetahui keadaan dan juga bagaimana karakter dan sifat sang anak. Yang itu aku yakin Umi lebih faham karena itu anak-anak Umi, daripada aku yang orang lain.

Sungguh indah kata prof. Quraish dalam pengantar salah satu bukunya untuk menasehati salah satu anaknya:

“setiap detik yang berlalu, setiap nafas yang engkau hembuskan, engkau selalu menjadi perhatian Kami, dan setiap pelukan pada jasadmu yang mungil, Kami –Beliau dan Istri- merasa bahwa Engkau adalah milik Kami; milik Kami saja. Tetapi ketika Engkau pandai menggelengkan kepala atau pandai mengatakan “Tidak!”Kami sadar bahwa Engkau bukanlah milik Kami.Tetapi engkau milik Allah yang diamanatkan kepada Kami, diamanatkan agar Engkau datang bersimpuh kepada-Nya”.

Masih kata beliau, “anakku, tidak ada hak Kami memaksamu mengabdi kepada Kami, lebih-lebih jika –pengabdian itu– bertentangan dengan kehendak Pemilikmu.Bahkan, tidak hak Kami untuk memaksakan keinginan Kami jika itu berbeda dengan keinginanmu yang tidak bertentangan dengan tuntunan-Nya.Kami sadar bahwa Engkau mempunyai kecenderungan sesuai kepribadianmu dan Kami sebagai orang tua hanya berkewajiban menemukan, lalu mengarahkannya, agar tumbuh kembang menuju Tuhan yang memilikimu.”

Semua orang tua mendambakan anaknya untuk sukses, tetapi tidak semua orang tua mampu mengantar anaknya menuju tangga sukses, semua orang tua mencintai anaknya, tapi tidak semua orang tua berhasil menyalurkan cintanya dengan benar.

Memang orang tua tidak harus mengetahui teori-teori pendidikan agar sukses dalam mendidik. Apalagi menerapkan teori-teori itu pada anak yang dicintainya tidak semudah menerapkannya pada anak orang lain, oleh sebab itu menurut hemat saya (yang posisinya sebagai seorang anak), komunikasi antara anak dan orang tua haruslah terjalin dengan baik, sehingga dari situ dapat diharapkan untuk saling mengerti dan tidak mementingkan egonya masing-masing. 

Dengan demikian anak dapat memperoleh apa yang di inginkannya yang tidak berlawanan dengan kehendak pemilik-Nya, dan orang tua juga bisa mengarahkan dengan baik karena jalan diskusi tadi. Tidak akan diperoleh banyak kesepakatan atau sedikit sekali kesepakatan di dapat dengan tanpa diskusi atau jalan paksaan. Apalagi di era zaman sekarang.



Semoga apa yang dicoretkan bermanfaat bagi penulis dan pembaca seluruhnya. kurang lebihnya mohon maaf yang banyak... Wallaahu A'lam.......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar