Senin, 10 Desember 2018

NU Yang Saya Tahu




Nama saya Ahmad Munthaha dari Pati Jawa Tengah. Sebelum menuju pada “NU yang saya tahu”, saya akan bercerita mengalir saja perkenalan saya dengan NU (Nahdlatul Ulama’) ya. Ahmad dilahirkan dilereng gunung muria, kota yang sejuk nan asri, dari kedua orang tua yang alhamdulillah beragam islam meski bukan dari keluarga kiyai, ahmad kecil sekolah dimadrasah hingga pendidikan menengahnya pun tetap di madrasah -meski belum dipesantren.- walau banyak pendidikan umum disekitar sebenarnya.

Dari keseharian desa itulah sebenarnya saya bersinggungan intens dengan tradisi-tradisi NU, memang sih mungkin belum tahu apa itu NU secara detail dan jlimet sebagaimana orang akademisi atau anak pesantren. Tapi jujur disana saya kenal tradisi itu, mulai dari ziarah setiap kamis sore, membaca maulid malam jum’at dan senin, lailatul ijtima’ malam jum’at yaitu berkumpul untuk tahlil dan membaca burdah, membaca manaqib setiap tanggal 11 bulan hijriyyah, serta mungkin masih banyak kegiatan lainnya.

Kisah menarik yang bersinggungan dengan pesantren terjadi saat mungkin berkisar usia kelas tiga MI, selain sekolah formal pagi anak-anak desa saya juga sekolah TPQ disore harinya termasuk juga saya. Saat akhir kelas tiga saya ikut tes khataman Qira’ati di koordinator TPQ kecamatan waktu itu, memang khataman terkecil untuk usia segitu, tapi saya ingat betul penyebabnya adalah saya ikut dua kelas setiap sorenya (baca jilid satu dan pindah kelas jilid dua setelahnya). Disana saya diminta oleh KH. Ahmad Jaelani al-Hafidz agar belajar dipesantrennya setelah lulus MI, saya iya saja wong masih bocah.

Tapi takdir berkata lain, lulus MI minta kepesanten tidak diijinkan orang tua dan juga lulus MA pun belum boleh, hikmahnya adalah mesantrennya setelah lulus aliyah itu diberangkatkanlah saya ke kudus untuk Ngangsu Kaweruh, meskipun awalnya bingung apa yang mau dipelajari, ternyata dipesantren Tahfidz. Disana saya lebih dekat lagi dengan tradisi NU karena pesantrennya dekat dengan masjid menara kudus yang otomatis dekat pula dengan makam Syaikh Ahmad Asnawi, salah satu pendidir NU pula.
Selain kenal dari pelajaran formal disekolah dulu tentang NU, NU juga saya kenal lewat forum ilmiyyah “Bahtsul Masa’il” yang diadakan di masjid menara menjalang haul sunan kudus, juga lewat pengajian tafsir dimasjid tersebut setiap jum’at pagi yang diampu oleh kiyai sepuh kudus sebagai Mastasyar NU KH. Sya’roni Amadi (yang setelah semakin tahu pengajian tersebut adalah rasa NU-nya sangat kental), serta pengajian dalam rangka haul Syaikh Ahmad Asnawi.

Ditahun-tahun setelahnya, semakin berkembang islam dengan berbagai sektenya. Bertepatan juga dengan lamanya dipesantren kudus membuat diri semakin manja dengan kemewahan kudus dan membutuhkan suasana baru untuk memacu kembali semangat belajar, hingga memutuskan untuk mengikuti pendidikan yang diadakan oleh pesantren Bayt Al-Qur’an dibawah asuhan Habib Quraish Sihab. Awalnya banyak yang menentang dikalangan teman-teman santri sendiri, karena anggapan mereka habib quraish adalah syiah sebagaimana isu yang berkembang saat itu.

Setelah berhasil meyakinkan kedua orang tua, ketemulah ahmad dengan habib quraish yang sangat saya kagumi. Selama enam bulan belajar di pesantren tersebut tidak ada tanda-tanda syiah yang saya temui baik dalam segi amaliyah maupun perkataan beliau, justru NU sekali saya rasa, kembali dengan rutinitas yang sudah dijalani dulu dikudus.

Singkat cerita berlabuhlah sekarang di PTIQ atas saran dari Mudabbir pesantren Bayt Al-Qur’an dan semakin mengenal NU dalam berbagai perspektif. NU yang sekarang sedang banyak cobaan, makian dan lain sebagainya, tidak akan membuat warganya membenci justru semakin mencintai tidak ketinggalan juga saya. Ditambah lagi suatu ketika berkunjung ke PBNU, mencuri pengajian yang di asuh oleh pak Sa’id waktu itu, kenapa mencuri? Karena itu pengajian untuk IPPNU yang otomatis putri semua, saking inginnya mendengar beliau secara langsung tetap saja sembunyi di ruang samping dan alhamdulillah bisa mendengarkan pengajian beliau. tidak hanya itu, bisa bersalaman juga saat beliau keluar, meski tidak kepikiran untuk selfi...haahaa

Sekian perkenalannya dengan NU, jika mau ditulis lagi khawatir terlalu panjang. Perkenalan dengan gusdur, gusmus, caknun gus Nadhirsyah, dan masih banyak lagi tokoh NU yang menginspirasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar