Nama saya Ahmad
Munthaha dari Pati Jawa Tengah. Sebelum menuju pada “NU yang saya tahu”, saya
akan bercerita mengalir saja perkenalan saya dengan NU (Nahdlatul Ulama’) ya.
Ahmad dilahirkan dilereng gunung muria, kota yang sejuk nan asri, dari kedua
orang tua yang alhamdulillah beragam islam meski bukan dari keluarga kiyai,
ahmad kecil sekolah dimadrasah hingga pendidikan menengahnya pun tetap di
madrasah -meski belum dipesantren.- walau banyak pendidikan umum
disekitar sebenarnya.
Dari keseharian
desa itulah sebenarnya saya bersinggungan intens dengan tradisi-tradisi NU,
memang sih mungkin belum tahu apa itu NU secara detail dan jlimet sebagaimana
orang akademisi atau anak pesantren. Tapi jujur disana saya kenal tradisi itu,
mulai dari ziarah setiap kamis sore, membaca maulid malam jum’at dan senin, lailatul
ijtima’ malam jum’at yaitu berkumpul untuk tahlil dan membaca burdah,
membaca manaqib setiap tanggal 11 bulan hijriyyah, serta mungkin masih banyak
kegiatan lainnya.
Kisah menarik
yang bersinggungan dengan pesantren terjadi saat mungkin berkisar usia kelas
tiga MI, selain sekolah formal pagi anak-anak desa saya juga sekolah TPQ disore
harinya termasuk juga saya. Saat akhir kelas tiga saya ikut tes khataman Qira’ati
di koordinator TPQ kecamatan waktu itu, memang khataman terkecil untuk usia
segitu, tapi saya ingat betul penyebabnya adalah saya ikut dua kelas setiap
sorenya (baca jilid satu dan pindah kelas jilid dua setelahnya). Disana saya
diminta oleh KH. Ahmad Jaelani al-Hafidz agar belajar dipesantrennya setelah
lulus MI, saya iya saja wong masih bocah.
Tapi takdir
berkata lain, lulus MI minta kepesanten tidak diijinkan orang tua dan juga
lulus MA pun belum boleh, hikmahnya adalah mesantrennya setelah lulus aliyah
itu diberangkatkanlah saya ke kudus untuk Ngangsu Kaweruh, meskipun
awalnya bingung apa yang mau dipelajari, ternyata dipesantren Tahfidz. Disana saya
lebih dekat lagi dengan tradisi NU karena pesantrennya dekat dengan masjid
menara kudus yang otomatis dekat pula dengan makam Syaikh Ahmad Asnawi, salah
satu pendidir NU pula.
Selain
kenal dari pelajaran formal disekolah dulu tentang NU, NU juga saya kenal lewat
forum ilmiyyah “Bahtsul Masa’il” yang diadakan di masjid menara
menjalang haul sunan kudus, juga lewat pengajian tafsir dimasjid tersebut
setiap jum’at pagi yang diampu oleh kiyai sepuh kudus sebagai Mastasyar NU KH.
Sya’roni Amadi (yang setelah semakin tahu pengajian tersebut adalah rasa
NU-nya sangat kental), serta pengajian dalam rangka haul Syaikh Ahmad
Asnawi.
Ditahun-tahun
setelahnya, semakin berkembang islam dengan berbagai sektenya. Bertepatan juga
dengan lamanya dipesantren kudus membuat diri semakin manja dengan kemewahan
kudus dan membutuhkan suasana baru untuk memacu kembali semangat belajar,
hingga memutuskan untuk mengikuti pendidikan yang diadakan oleh pesantren Bayt
Al-Qur’an dibawah asuhan Habib Quraish Sihab. Awalnya banyak yang menentang
dikalangan teman-teman santri sendiri, karena anggapan mereka habib quraish
adalah syiah sebagaimana isu yang berkembang saat itu.
Setelah berhasil
meyakinkan kedua orang tua, ketemulah ahmad dengan habib quraish yang sangat
saya kagumi. Selama enam bulan belajar di pesantren tersebut tidak ada
tanda-tanda syiah yang saya temui baik dalam segi amaliyah maupun perkataan
beliau, justru NU sekali saya rasa, kembali dengan rutinitas yang sudah
dijalani dulu dikudus.
Singkat cerita
berlabuhlah sekarang di PTIQ atas saran dari Mudabbir pesantren Bayt Al-Qur’an
dan semakin mengenal NU dalam berbagai perspektif. NU yang sekarang sedang
banyak cobaan, makian dan lain sebagainya, tidak akan membuat warganya membenci
justru semakin mencintai tidak ketinggalan juga saya. Ditambah lagi suatu ketika
berkunjung ke PBNU, mencuri pengajian yang di asuh oleh pak Sa’id waktu itu,
kenapa mencuri? Karena itu pengajian untuk IPPNU yang otomatis putri semua,
saking inginnya mendengar beliau secara langsung tetap saja sembunyi di ruang
samping dan alhamdulillah bisa mendengarkan pengajian beliau. tidak hanya itu,
bisa bersalaman juga saat beliau keluar, meski tidak kepikiran untuk
selfi...haahaa
Sekian
perkenalannya dengan NU, jika mau ditulis lagi khawatir terlalu panjang. Perkenalan
dengan gusdur, gusmus, caknun gus Nadhirsyah, dan masih banyak lagi tokoh NU
yang menginspirasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar