Secara bahasa Nikah
berasal dari kata na-ka-ha yang berarti indamma (bergabung) jama’a,
wata’un ( Hubungan Kelamin) dan aqdun (perjanjian).[1]
Menurut Quraish Shihab,
Al-Qur’an
menggunakan kata النكاح untuk makna “nikah” dan
“perkawinan”. Di samping secara majazi diartikannya dengan "hubungan
seks". Kata ini dalam berbagai bentuknya ditemukan sebanyak 23 kali.
Secara bahasa pada mulanya kata nikah digunakan dalam arti "berhimpun".
Al-Qur’an juga menggunakan kata zawwaja dan kata zauwj yang
berarti "pasangan" untuk makna di atas. Ini karena pernikahan
menjadikan seseorang memiliki pasangan. Kata tersebut dalam berbagai bentuk dan
maknanya terulang tidak kurang dari 80 kali.[2]
Dalam
Al-Quran ada dua kata kunci yang menunjukkan konsep pernikahan, yaitu zawwaja
dan kata derivasinya berjumlah lebih kurang dalam 20 ayat dan kata nakaha derivasinya
sebanyak lebih kurang dalam 17 ayat.[3]
.Yang dimaksud dengan nikah dalam konteks pembahasan ini adalah ikatan (aqad) perkawinan.
Perlu pula dikemukakan bahwa Ibnu Jini pernah bertanya kepada Ali mengenai arti
ucapan mereka nakaha al-mar’ah, Dia
menjawab : “orang-orang Arab menggunakan kata nakaha dalam konteks yang
berbeda, sehingga maknanya dapat dipisahkan secara halus, agar tidak
menyebabkan kesimpangsiuran. Kalau mereka mengatakan nakaha fulan fulanah, yang
dimaksud adalah ia menjalin ikatan perkawinan dengan seorang wanita. Akan
tetapi apabila mereka mengatakan nakaha imraatahu, yang mereka maksudkan tidak
lain adalah persetubuhan.[4]
Lebih jauh lagi al-Karkhi berkata bahwa yang dimaksud dengan nikah adalah
ikatan perkawinan, bukan persetubuhan. Dengan demikian bahwa sama sekali tidak
pernah disebutkan dalam Al-Quran kata nikah dengan arti wati’, karena Al-Quran
menggunakan kinayah. Penggunaan kinayah tersebut termasuk gaya bahasa yang
halus.[5]
Sedangkan
menurut KBBI nikah berarti ikatan
(akad) perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran
agama. Dalam KBBI Harmonis bersangkut paut dengan (mengenai) harmoni;
seia sekata dan keharmonisan berarti keserasian dan keselarasan.
Tujuan Utaman
Pernikahan adalah kumpulnya. itulah sebabnya perintah nikah menggunakan kata
Na-Ka-Ha. Maka menjalani hubungan setelah pernikahan dengan jarak jauh sangat
rentan merenggangkan hubungan. Selain hanya karena permasalahan hubungan badan,
lebih dari itu kecenderungan manusia dewasa adalah hidup berdampingan dengan
lawan jenisnya, dalam hal ini istri.
Disisi lain banyak yang
menggemborkan bahkan memperbolehkan pernikahan sejenis, Pernikahan sejenis ini
tentunya dipatahkan oleh Al-Qur’an kata : Za-Wa-Ja. Za-Wa-Ja artinya
berpasangan dan sejenis tentu bukan berpasangan. Pernikahan sejenis selain ke
Mudharatannya untuk dirinya sendiri, itu juga akan berdampak terhadap
lingkungannya. Rujuklah ke kisah kaum Nabi Luth.
Secara umum Al-Qur’an
hanya menggunakan dua kata ini untuk menggambarkan terjalinnya hubungan suami
istri secara sah. Memang ada juga kata wahabat (yang berarti "memberi")
digunakan oleh Al-Qur’an untuk melukiskan kedatangan seorang wanita kepada Nabi
saw. dan menyerahkan dirinya untuk dijadikan istri. Tetapi agaknya kata ini
hanya berlaku bagi Nabi saw. Sebagaimana firman Allah swt. dalam QS
Al-Ahzab/33: 50.
Artinya: “Dan
perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada nabi kalau nabi ingin
menikahinya, sebagai kekhususan bagimu”[6]
“Hanya
Khusus bagimu, bukan untuk semua orang mukmin”. Merupakan penegasan bahwa hal tersebut khusus untuk nabi Muhammad
Saw. Bahkan, melakukan akad nikah dengan menggunakan kata “Hibah” pun tidak didenarkan oleh ulama’-ulama’ kecuali ulama
bermadzhab Abu Hanifah, tetapi apabila perempuan menawarkan diri agar dinikahi,
bukanlah hal yang terlarang asalkan Syarat dan Rukun terpenuhi.[7]
[1] Al-Ahsfahani, Mufradat
Fi Gharib Al-Qur’an, (ttp) Juz II, Hal. 653
[2] M. Quraish
Shihab, Wawasan Al- Qur’anTafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Cet.
XII; Bandung: Mizan, 2001), h. 191
[3] Fuad Abdul
Baqi, Mu’jam Mufahras 1987, hal 332 dan
718
[4] al-Fakhr al- Razi.Tanpa Tahun. Al-Tafsir
al-Kabir. Teheran :Dar al-Kutub alIlmiyat.
[5] Muhammad Ali
as-.Sabuni. Rawai’ al Bayan :Tafsir Ayat al-Ahkam min Alquran. Kuwait : Dar
Alquran al-Karim. 1972 Hal 258
[6] Al-Qur’an dan
Terjemah, Mushaf Fami Bisyauqin. Forum Pelayanan Ummat, Cet ke 5, Hal.
424
[7] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta:
Lentera Hati 2009) Volume. 10 Hal. 515
Tidak ada komentar:
Posting Komentar